Kamis, 02 Januari 2014

Terpuruknya Pasar Rakyat: Wujud Ketidakadilan Pemerintah Kota dan Dampak Global Ekonomi Kapitalis
Senin, 28 Mei 2007 07:00

Banyak ritel modern yang berdiri tak jauh dari pasar rakyat. Bahkan ada yang berdampingan atau menempel dengan pasar rakyat. Akibatnya, pasar rakyat semakin terdesak dan sepi pengunjung. Secara rata-rata, pengunjung pasar rakyat tinggal 40 persen. Bahkan di Jakarta, ada sembilan pasar yang hampir punah. Konsumen berbondong-bondong beralih ke pasar moder...n. (Republika. 19/09/2005).

Demikian juga dalam aspek kemitraan, yang seakan menjadi gagasan absurd. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 107/MPP/Kep/2/1998, tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Dalam pasal 5 Kepmendagri itu disebutkan, pasar modern wajib melakukan kerja sama dengan pedagang kecil dan menengah, koperasi, serta pasar tradisional melalui pola kemitraan. Namun, kenyataannya lagi-lagi tidak ditemukan. Keberadaan pasar modern tidak mendukung eksistensi pasar rakyat, bahkan cenderung merugikan. Makin terpuruknya pasar rakyat, tak lepas dari kebijakan pemerintah yang dinilai masih kurang tegas di bidang ritel. Dalam radius kurang dari 10 kilo meter, pasar rakyat tidak mampu bersaing dengan hipermarket dan supermarket yang berdiri megah. Becek, kotor, bau, sampah yang menggunung adalah sederet kata yang membuat masyarakat malas untuk berkunjung ke pasar rakyat. Jadi, sesungguhnya tidak ada yang disebut dengan kemitraan usaha dagang.

Jika ada semacam kerja sama, itu sebatas hanya barang dagangan berupa sayur-mayur dan keperluan dapur lainnya. Pada kondisi ini pun pemasok kelas kecil akan menemui batu ganjalan, karena sistem pembayaran yang diberlakukan oleh pedagang pada pasar modern adalah dengan diutang, baru dibayar setelah sekian bulan. Tentu saja hal ini akan menyulitkan pemasok kelas kecil, karena ia membutuhkan perputaran uang yang cepat. Akhirnya, peluang ini pun akan diambilalih oleh pemasok dengan modal besar


Ali W Razaly mengatakan (facebook) 3januari 2014
nah, ada lagi yg lebih ekstrim pengalaman ambo yg pernah idup di kalangan komunitas/daerah yg tingkat heterogenitasnya cukup tinggi, baik etnis maupun agama. di medan. bagaimana ejekan2 dibuat sedemikian rupa untuk mengejek keminangan atau ke aceh an dan keislaman seseorang sehingga secara perlahan-lahan namun pasti (ambo rasokan dan alami jg amati) di medan itu, bagaimana seorang anak minang atau aceh atau mandailing mengalami degradasi kebanggaanyo terhadap asal muasalnyo yg memiliki suku yg seratus persen islam. mungkin ndak terkait namo, mukasuik ambo... dari hal-kecil seperti itu tanpa disadari sudah terjadi semacam serangan psikologis sosial, terselubung. Ghazwul fikri, perang urat saraf, itu yg ambo pahami. sebuah taktik yg dari sekian banyak varian serangan yg dilakukan. sekali lagi, iko mungkin hanyo kesimpulan atau pemahaman yg belum tepat, tapi itulah nan baru ambo pahami.