Rabu, 19 Maret 2014

Senin, 31 Agustus 2009

PENJUALAN PULAU DAN HARGA KEDAULATAN

TAJUK.

PENJUALAN pulau kepada pihak asing lagi-lagi terungkap. Tiga pulau di kawasan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dijual melalui sebuah situs yang berbasis di Kanada kepada publik mancanegara.

Informasi itu sungguh mencengangkan karena bagaimana mungkin pulau yang dimiliki Indonesia itu bisa dengan gampang diperjualbelikan.

Adalah situs www.private islandsonline.com yang mengiklankan penjualan tiga pulau itu lewat tajuk Islands for Sale in Indonesia, yaitu Pulau Makaroni yang dihargai 4 juta dolar AS (sekitar Rp40 miliar), Pulau Siloinak (1,6 juta dolar AS), dan Pulau Kandui (8 juta dolar AS).

Setelah penjualan pulau itu diungkap media massa, banyak pihak yang terkaget-kaget. Mereka pun berbondong-bondong membantah bahwa pulau-pulau tersebut tidak dijual. Padahal iklan di situs itu dengan jelas membedakan istilah islands for rent (disewakan) dan islands for sale (dijual).

Iklan penjualan pulau di Indonesia oleh situs www.privateislandsonline.com bukanlah kali pertama. Pada 2005, situs www.varealstate.co.uk juga pernah mengiklankan penjualan pulau dengan judul Tujuh Pulau (Bengkoang, Geleang, Kembar, Kumbang, Katang, Krakal Kecil, dan Krakal Besar) yang merupakan gugusan Kepulauan Karimunjawa ditawarkan kepada publik.

Setahun kemudian kehebohan juga terjadi ketika Pulau Bidadari di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, dijual dan dikuasai warga Inggris. Lalu, giliran situs www.karangasemproperty.com yang mengiklankan penjualan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di wilayah Nusa Tenggara Barat pada 2007.

Kasus penjualan pulau juga pernah terungkap di kawasan Sumenep, Jawa Timur, Natuna, dan Kepulauan Riau.

Siapa pun tahu, kemerdekaan Republik ini direbut dengan susah payah. Setiap jengkal tanah harus ditebus dengan darah anak bangsa. Itu sebabnya memelihara dan menjaga seluruh kedaulatan menjadi harga yang tidak bisa ditawar-tawar. Lepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan ke Malaysia haruslah menjadi pelajaran penting dan tidak boleh terulang.

Lebih dari itu, kasus penjualan pulau sejatinya menjadi momentum untuk mengkaji ulang paradigma bernegara. Indonesia bagaimanapun juga adalah sebuah negara kepulauan dengan sekitar 60 persen berupa lautan.

Dengan demikian, pembangunan di wilayah daratan harus juga diberlakukan sama dengan wilayah di lautan. Bahkan, bila dilihat dari perimbangan kuantitas wilayah, pembangunan kelautan mestinya menjadi prioritas.

Karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kewajiban mengelola pulau-pulau terkecil dan terluar secara benar dan berimbang. Payung hukum pun telah tersedia, antara lain lewat UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dan Pulau Terluar, yang mengatur hak pengelolaan pulau dan wilayah pesisir.

Kedaulatan bagaimanapun juga menjadi harga mati bagi eksistensi negara dan bangsa yang memiliki harkat dan martabat. Penjualan pulau kepada pihak asing, apa pun alasannya, haruslah dipandang sebagai upaya menggadaikan kedaulatan. Itu yang tidak boleh diberi tempat. n

Lampost 30 Agustus 2009