Senin, 03 Februari 2014

Membangun Ukhuwah Islamiyah Dalam Gencaran Ghazwul Fikri


oleh    – K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
- Abu Muas Tardjono
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka turutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), maka kalian ber bercerai berai dari jalan-Nya. Demikianlah yang diperintahkan Allah agar kalian bertaqwa”
(QS. Al An’aam, 6:153).
Betapa sangat pahit jika kita rasakan, krisis “multidimensi” yang dihadapi dan dialami bangsa ini belumlah ada tanda-tanda yang menggembirakan untuk menuju arah perbaikan. Bahkan bila kita mau jujur, jangankan secara perlahan menuju ke arah perbaikan, tapi sebaliknya bangsa ini semakin hari makin terpuruk dalam jurang kenistaan. Hrga dieri sebagai bangsa lambat laun nyaris sirna. Bahkan, kini negara kita sudah termasuk kelompok negara “terkorup” didunia. ironisnya, tragedi ini justru menimpa sebuah bangsa yang “mengklaim” dirinya menjadi sebuah bangsa dan negara yang notabene dihuni sebuah penduduk mayoritas muslim terbesar didunia.
Pertanyaannya, kenapa tragedi ini harus terjadi? jawabannya, ini bisa terjadi karena sangat tidak menutup kemungkinan umat islam yang jumlahnya mayoritas di negeri ini perannya sangat terasa bellum optimal, khususnya dalam membina “azas persatuan dan kesatuan”. padahal, azas ini merupakan salah satu yang ditekankan oleh ajaran islam. tujuan dari azas ini tiada lain agar umat yang jumlahnya mayoritas ini tidak lumpuh karena hilangnya kekuatan dan kewibawaan dan tidak terbinanya persatuan dan kesatuan dalam ukhuwah imaniyah dan islamiyah. kondisi ini membuat “musuh-musuh islam tertawa mengejek”. ibarat kita tinggal disebuah lingkungan rumah dimana tetangga sebelah rumah kita memelihara seekor anjing yang dibiarkan berkeliaran. setiap pagi, anjing milik tetangga kita selalu lewat didepan rumah kita. atas dasar rasa jijik dan najis dari liur binatang kita pun mengambil sebuah batu kerikil dan melemparnya. lemparan batu kerikil tepat mengenai kepala anjing tersebut. namun terkena lemparan kerikil hanya membuat anjing tersebut mengeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik dan tersenyum manis. jika setiap pagi kita melakukan hal yang sama setiap anjing itu lewat kita lempar anjing tersebut dengan sebutir kerikil. dan anjing tersebut ditakdirkan Allah berusia panjang 15 tahun misalnya, “anjing itu akan selalu tersenyum sinis mentertawakan kita”, sama sekali tidak membuat anjing itu takut sedikit pun, maka akan seperti itu seterusnya. namun, jika batu kerikil yang selama 15 tahun itu kita kumpulkan dalam sebuah karung lalu kita lemparkan ke anjing tersebut, maka Insyaallah anjing tersebut tidak akan menggeleng-gellengkan kelapa lagi karena sudah mati.
Demikianlah diakui atau tidak, ternyata kita selama ini “belum” pernah mampu membina persatuan dan kesatuan bagaikan batu kerikil dalam sebuah karung tadi. sebaliknya, kita masih senang terpisah jauh antara batu kerikil yang satu dengan batu kerikil lainnya, hingga akhirnya walaupun jumlah kita mayoritas menjadi lumpuh dan tidak menjadi wibawa. kita masih senang menjadi batu kerikil yang terpisah-pisah dal beberapa kelompok, golongan atau partai. setiap pemilu umat isalam terpecah dalam berbagi kelompok atau partai. kondisi seperti ini sangat rentan terhadap perselisihan karena meyangkut berbagai macam kepentingan. bahkan, yang memprihatinkan tidak jarang antar kelompok atau partai pun saling menghujat ironisnya, kita yang mayoritas malah terkadang mengikuti keinginan kaum minoritas.
Bila kita mau cermati, sebenarnya perselisihan itu dapat menimbulkan kerusakan pada hubungan baik antar sesama yang pada gilirannya akan bisa merusak nama islam dan umatnya. Islam sendiri adalah satu-satunya agama yang mengajak kedlm iktan persaudaraan yng terwujud dalam persatuan dan solidaritas, saling tolong-menolong dan membantu serta mengecam perpecahan dan perselisihan. karena perselisihan itu sendiri pada dasarnya akan bisa menyebabkan kegagalan dalam sebuah perjuangan yang pada gilirannya pula dapat mengakibatkan hilangnya kewibawaan dan rasa disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Padahal, azas persatuan dan kesatuan ini telah ditegaskan melalui seruan-Nya”“Wahai manusia, sesunguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuandan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal” (Al Hujarat, 49:13). disadari atau tidak, dinegeri kita ini saja telah diciptakan berbagai suku, warna kulit, berbagai macam budaya dan berlainan pula status sosialnya. semua ini bukan untuk kita saling membangga-banggakan diri. tetapi, kita diciptakan berbeda-beda tiada lain hanya untuk sekedar untuk memudahkan kita berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Al-qur’an juga telah menegaskan kaum muslimin, kendati pun berbeda jenis, warna kulit, bahasa dan tingkatan sosial adalah tetap satu umat, yaitu menjadi umat yang adil dan pilihan yang dijadikan Allah SWT sebagai saksi atas perbuatan manusia (Al Baqarah,  2:143). menjadi pula umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah (Al Imran, 3:110).
Pertanyaannya akankah kita mau berupaya menjadi umat yang terbaik yang slah satunya dengan mau kembali belajar tentang kehidupan umat-umat terdahulu baik yang mengalami kemajuan maupun kemunduran ? Allah SWT lewat firmannya mengingatkan : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal” (Yusuf, 12:111). diakui atau tidak, betapa tidak sedikit perang umat islam tempo dulu di negeri ini dalam ikut memperuangkan satu tujuan tegaknya NKRI yang merdeka sekaligus menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri. sejarah mencatat, betapa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini bukanlah hadiah dari kaum penjajah dan bukan pula semata-mata kebetulan, tapi anugerah Allah SWT. Bahkan lembaran sejarah itu sendiri tidak mampu menccatat lagi berapa banyak jiwa para syuhada dan pahlawan yang telah gugur. Berapa banyak darah yang telah ditumpahkan dan betapa tidak terkiranya jeritan, pekikkan dan rintihan penderitaan yang sempat menggema di bumi nusantara ini, karena di benak para pejuang kala itu hanya ada satu tekad, “Merdeka atau Mati”.
Kini, sudah selayaknyalah jika ummat Islam di negeri ini kembali menyamakan tujuan dan merapatkan barisan sebagaimana miniatur kesatuan dan persatuan ummat yang kita wujudkan melalui shalat berjamaah. Di mana kita sama-sama menuju “satu” titik tujuan yang sama yakni ridha Allah dengan barisan yang rapat dan lurus. Mampu dan maukah kita mewujudkan makna dan hakikat shalat berjamaah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Mampu dan maukah kita menentukan “satu” titik tujuan yang sama yakni semata-mata bertujuan untuk mencapai ridha Allah dalam memperjuangkan tegaknya syariat Allah dalam kehidupan?
Kita harus merasa malu dan prihatin, Muhammad Rasulullah Saw, mulai menyusun “Shaaf” (barisan) dari “satu orang menjadi banyak”. Sementara kita, mulai dari banyak tapi satu demi satu mengundurkan diri dari barisan dan dari komitmennya kepada Islam. Karena langsung atau tidak langsung, kita keluarkan dari barisan hanya karena berbeda faham, bukan dalam “Ushul ad Dien” (pokok-pokok dan prinsip dasar Agama). Lalu kita bagi-bagi ummat kedalam kotak-kotak “Hizbussiyaasiyyuun” (Partai Politik) atau “Hizbusy-syar’iyyuun” (Golongan Faham Syari’ah Furu’iyyah).
Kita harus segera berhenti dari lagu lama ini. Sehingga tidak perlu terulang lagi ironi, Muslim memusuhi Muslim, Muslim mencurigai Muslim, Muslim yang satu sibuk memukul Muslim lainnya, atau saling memukul satu sama lain. Sehingga setelah masing-masing babak-belur habis energi dan wibawa, akhirnya tidak berdaya di hadapan lawan yang sesungguhnya.
Mari kita sama-sama renungkan firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (Al An’aam, 6:159).
Mari kita jadikan organisasi atau partai “hanya sebagai alat” untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang diajarkan Allah lewat firman-Nya: “Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai” (Ali Imran, 3:103). Hanya bila kita telah berupaya secara optimal dalam melaksanakan hak-hak Allah SWT dalam kehidupan ini, barulah kita bisa berharap akan janji Allah SWT yang lewat firman-Nya: “Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (Muhammad, 47:7).

Ghazwul Fikri

Dalam bukunya, Pengantar Memahami al-Ghazwul-Fikri, Abu Ridha menyatakan, bahwa al-ghazwul-fikri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari uslub qital (metode perang) yang bertujuan menjauhkan ummat Islam dari agamanya. Ia adalah penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan penyerbuan mereka terhadap dunia Islam.
Paling tidak, ada ‘empat’ hal yang termasuk dalam program al-ghazwul-fikri. Pertama, Tasykik yakni gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan akidah kaum Muslimin terhadap agamanya. Misalnya, dengan terus-menerus menyerang (melecehkan) Al-Qur’an dan Hadits, melecehkan Nabi Muhammad Saw atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Kedua, Tasywih yakni gerakan yang berupaya menghilangkan kebanggaaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya, memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di kalangan ummat Islam. Di sini, mereka melakukan pencintraan negatif tentang agama dan ummat Islam lewat media massa dan lain-lain, sehingga Islam terkesan menyeramkan, kejam, sadis, radikal dan lain sebagainya.
Ketiga, Tadzwib yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar dan munafiqin melakukan pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam. Sehingga ummat Islam yang awam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya. Dan, keempat, Taghrib yakni “pembaratan” dunia Islam, mendorong ummat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, pluralisme, nasionalisme dan lain sebagainya.
Keempat hal tersebut di atas, dirasakan atau tidak, kini telah banyak mempengaruhi ucap, sikap dan perilaku kaum Muslimin dalam meniti kehidupannya. Tidak sedikit, di antara saudara seiman kita yang terperdaya oleh program ini.
Kini, di hadapan kita terbentang banyak tantangan. Tidak sedikit muncul berbagai macam aliran pemikiran, paham dan gerakan dari kaum kafirin dan munafiqin yang berupaya keras meracuni jiwa tauhid kita. Bahkan lebih dari itu, kaum kafirin dan munafiqin saling bahu-membahu melakukan aksi pemurtadan dengan berbagai macam cara dari mulai cara yang paling halus dengan iming-iming dan kedok kemanusiaan. Memaksa banyak ummat Islam dengan cara kasar, brutal disertai penganiayaan untuk meninggalkan agama Islam. “Dan tiada henti-hentinya mereka selalu memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu..” (Al Baqarah, 2 : 217).
Seiring dengan itu, gerakan sekularisme berskala global pun sedang berupaya keras mengenyahkan syariat Islam dari kehidupan ummat Islam. Penguasa negara-negara kapitalis yang notabene kaum Salibis dan Zionis, rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam jurang sekularisme yang mereka tawarkan. Allah SWT berfirman: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”(At Taubah, 9 : 32)
Saat ini pula, kaum kuffar tak henti-hentinya memunculkan isu terorisme, sebagai isu utama – main issue - atau isu sentral – central issue. Sasaran kampanye antiterorisme itu sebenarnya sangat mudah dipahami oleh kita, sasarannya tiada lain adalah kekuatan Islam.  Tegasnya, ummat Islam yang berupaya menerapkan syariat Islam dan menyerukan jihad melawan kezaliman kaum kafir bersiap-siaplah mendapat label teroris.
Kampanye antiterorisme hakikatnya merupakan bagian dari Ghazwul fikri, yakni invasi, serangan, atau serbuan pemikiran dengan tujuan mengubah sikap dan pola pikir agar sesuai dengan yang dikehendaki. Dalangnya (Zionis) dan antek-anteknya berupaya secara sistematis untuk menempatkan Islam dan ummatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.
Semakin jelas kiranya, pada era global sekarang, medan perang utama Islam vis a vis kaum kafirin dan munafiqin adalah ghazwul fikri, selain medan perang konvensional seperti yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Kashmir, dan lain-lain. Senjata utama kemenangan dalam perang pemikiran ini adalah media massa, yang terbukti sangat efektif mempengaruhi pola pikir, pemahaman, dan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu, pihak yang lemah dalam bidang penguasaan media massa akan menjadi pihak yang kalah perang. Ringkasnya, siapa yang menguasai media, dialah yang akan menguasai dunia, karena “The new source of power is information in the hand of many”, sumber utama kekuasaan yang baru adalah informasi yang menyebar kepada banyak orang (opini publik). Opini yang terus-menerus melalui media massa bisa menentukan yang “jahat” (batil) menjadi ‘baik” (hak) dalam persepsi masyarakat atau sebaliknya.
Adapun sarana paling efektif Ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dibarengi dengan ghazwuts tsaqofi (perang kebudayaan) adalah media massa termasuk di antaranya radio, televisi, suratkabar, tabloid, majalah, bu-ku, buletin, selebaran dan lain sebagainya.
Dalam dunia komunikasi ada istilah populer, “siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa dunia”. Memang telah menjadi pendapat umum bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa masa depan, bahwa sumber kekuatan baru masyarakat bukanlah uang di tangan segelintir orang, melainkan informasi di tangan banyak orang.
Kaum Zionis Yahudi memang tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mereka dengan sangat lincah menguasai sarana media massa  dalam  ‘perang pemikiran dan perang kebudayaan’ yang serba canggih itu sekaligus merekrut menjadi pemiliknya. Dalam bukunya berjudul, ‘Bahaya Zionisme Terhadap Dunia Islam”, DR, Majid Kailani mengajak kita untuk mau membaca sekaligus mewaspadai strategi mereka dalam menghadapi abad Informasi yang tercantum dalam  Protokolat Zionis XII yang isinya :
“Peran apakah yang dapat dimainkan oleh media massa akhir-akhir ini ? Salah satu di antaranya adalah untuk membangkitkan opini rakyat yang keliru, hal ini dapat membangkitkan emosi rakyat. Kadang juga bermanfaat guna mengobarkan konfrontasi antar partai politik,  tentunya  akan  banyak menguntungkan pihak kita. Apalagi saat mereka sedang bertikai, kesempatan baik bagi kita untuk mengadu domba. Namun dengan media massa, kita juga dapat memakainya sebagai ajang persahabatan semu yang kebanyakan orang tidak mengerti kesemuan itu. Kita akan mengendalikan peran media ini dengan sungguh-sungguh.  Sastra dan pers adalah dua kekuatan yang amat berpengaruh. Oleh karena itu kita akan banyak menerbitkan buku-buku kita dengan oplag yang besar”.
Lebih lanjut DR. Majid Kailani menyatakan, memang Zionis amat suka menyuguhkan berbagai pemberitaan yang menimbulkan umpan emosional di segala bidang. Atau juga banyak menimbulkan kebangkrutan moral pembacanya. Berbagai jenis media massa dalam strategi Zionis dibagi menjadi tiga bagian yang setiap bagiannya berperan sesuai dengan perannya, seperti tercantum dalam Protokolat Zionis XII yang isinya :
Media pertama, kita jadikan sebagai media yang resmi, yakni media yang selalu siap membela kepentingan rakyat. Dengan strategi ini mata rakyat akan terkibuli. Media yang kedua, kita jadikan semi-resmi, yang berkewajiban menetralkan setiap oposisi yang hendak mengobarkan api permusuhan atau pemberontakan. Sedang media yang ketiga, adalah bertugas sebagai media yang berpihak menjadi oposisi semu. Di dalam berita utamanya harus menampakkan sikap konfrontatif. Dengan memasang perangkap semacam itu, akan bermunculanlah orang-orang yang berwatak oposisi menjadi kolomnis yang gigih dan banyak menantang. Maka kerja kita tinggal mencatat mereka ke dalam ‘Daftar Hitam’ kita”.
Sebenarnya, Ghazwul Fikri bukanlah hal baru bagi kalangan gerakan Islam, namun mungkin karena kurangnya persiapan dan minimnya ‘peralatan perang’ masih jauh tertinggal dibanding dengan sarana ghazwul fikri yang dimiliki kaum kuffar dan munafiqin, utamanya televisi. Minimnya dana, kurang profesionalnya pengelola, dan lemahnya manajemen biasanya menjadi penyebab utama lemah dan hancurnya sebuah media massa Islam.
Kini tiba saatnya, kaum aghniya harus lebih disadarkan untuk jihad al mal dan dana Infak (zakat & shadaqoh) pun diberdayakan lebih optimal, khususnya untuk membekali para da’i dan mujahid terjun di medan perang ghazwul fikri. Kaum Muslimin, khususnya kalangan mudanya juga harus terus membekali diri menghadapi ghazwul fikri ini dengan bermodal iman, ilmu, wawasan dan ketrampilan jurnalistik untuk bertempur di medan media massa, demi membela kebenaran Islam dan kaum Muslimin. Sekaligus memerangi kaum penyesat ajaran Islam melalui ketrampilan menulis di media massa.
Betapapun gencarnya Zionis Yahudi dan Salibis setiap hari berupaya mengendalikan pikiran kita melalui gambar dan kata-kata, namun semua itu tidak menjadikan kita lupa untuk mengambil langkah bijak dengan check and recheck, tabayun dalam setiap menerima informasi. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”(Al Hujuraat,49:6).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: http://sinarilahdunia.wordpress.com