Selasa, 25 Februari 2014

Perlawanan Gerakan Islam Terhadap Penjajahan Belanda

B.C. de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1931-1936), mengatakan: “Wij zijn hier al drie honderd jaren en wij zal nog meer dan drie honderd jaren hier blijven,” artinya “Kita sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kita akan masih tiga ratus tahun lagi berada di sini.” Jelaslah bahwa penjajahan Belanda sudah berlangsung tiga abad lamanya adalah pernyataan politis. Dalam buku Indonesia’s History Between the Myths, Essays in Legal History Between the Myths, 1968, sarjana hukum Prof. Dr. G. J. Resink, dengan bukti-bukti hukum dan lain-lainnya yang mengesankan, delapan kajian tentang kekeliruan bahwa “salah satu mitos utama Sejarah Indonesia adalah mitos yang menyatakan selama tiga ratus lima puluh tahun kepulauan Nusantara dikuasai oleh Belanda.” Secara akurat beliau menentang mitos itu dengan memberikan gambaran kepulauan Nusantara terdiri atas beberapa negara merdeka atau setengah merdeka bahkan sampai dasawarsa pertama abad keduapuluh.
Dari kepulauan Nusantara, yang dihuni oleh satu bangsa, satu darah dan satu keturunan, satu budaya dan satu bahasa, jatuh ke dalam kekuasaan empat kerajaan asing, yaitu Portugis (Timor), Sepanyol (Filipina), Inggeris (Malaka, Brunai/Sarawak) , dan Belanda (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat (Papua). Mereka tukar-menukar daerah seperti menukar barang dagangan seperti Nieuw Amsterdam (New York) oleh Belanda ditukar dengan Suriname dan Pulau Run milik Inggeris di kepulauan Banda. Pada tahun 1824 diadakan perjanjian antara Inggeris dan Belanda. Inggeris menyerahkan haknya atas Bengkulu (yang mereka namakan Bencoolen) dan Belitung (yang mereka namakan Billiton) kepada Belanda. Sultan Riau menyerahkan Singapura kepada Inggeris, yang semula dikuasai oleh Belanda, dan pada gilirannya oleh Belanda ditukar dengan Bengkulu.
Demikianlah Indonesia, pada awal abad keduapuluh ditaklukkan dan dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa Barat. Kendatipun begitu, bukan berarti bahwa Indonesia telah jatuh ke tangan penjajah seakan-akan sangat mudah. Sejarah Indonesia pada zaman atau pada masa-masa kegelapan penjajahan, adalah pula berabad-abad perang kemerdekaan untuk melawan penjajahan yang berkecamuk di seluruh pelosok serta penjuru Tanah Air kita yang tercinta, silih berganti.
Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan kemunkaran lainnya.
Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak bisa disebut satu per satu.
Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam, karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam. Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), dan Perang Aceh (1875-1903), menyebabkan kas Hindia Belanda nyaris bangkrut.Ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Setelah berbagai perlawanan rakyat (Umat Islam) dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat……
Sumber :
- http://labbaik.multiply.com/journal/item/162
- mailis komunitas historia indonesia (khi)

Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh Berhati Baja

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Sisingamangaraja XII (1845 – 1907) Pejuang Islam yang Gigih

Sisingamangaraja merupakan nama besar dalam sejarah Batak. Dia tokoh pemersatu. Dinasti Sisingamangaraja dimulai sejak pertengahan tahun 1500-an, saat Raja Sisingamangaraja I yang lahir tahun 1515 mulai memerintah. Dia memang bukan raja pertama di sana. Pemerintahan masa sebelum itu dikenal dengan nama bius. Satu bius merupakan kumpulan sekitar tujuh horja. Sedangkan satu horja terdiri dari 20 huta atau desa yang punya pimpinan sendiri. Ada Bius Toba, Patane Bolon, Silindung dan sebagainya.
Dari 12 orang yang melanjutkan dinasti Sisingamangaraja, Singamangaraja XII merupakan raja paling populer dan diangkat sebagai pahlawan nasional sejak 9 November 1961. Lukisan dirinya yang dibuat Augustin Sibarani yang kemudian tercetak di uang Rp 1.000 yang lama, merupakan satu-satunya “foto” diri Sisingamangaraja. Dia naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon.
Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka). Belanda merasa perlu mengamankan modal asing yang beroperasi di Indonesia yang tidak mau menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian pendek) di Sumatra terutama Aceh dan Tapanuli. Kedua konsultan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Belanda sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua kesultanan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Satu yang masih terus jadi bahan diskusi hingga hari ini, adalah agama yang anutan Sisingamangaraja XII. Sebagian yakin, dia penganut kepercayaan lama yang dianut sebagian besar orang Batak. Mirip dengan dua agama besar dunia Islam dan Kristen, agama Batak hanya mengenal satu Yang Maha Kuasa, Debata Mulajadi Na Bolon atau Ompu Mulajadi Nabolon. Sekarang agama Batak lama sudah ditinggalkan, walau tentu saja kepercayaan tradisional masih dipertahankan.
Daya tempur yang sangat lama ini karena di tunjang oleh ajaran agama islam. Hal ini jarang jarang di kemukakan oleh para sejarawan, karena merasa kurang relevan dengan predikat Pahlawan Nasional. Atau karena alasan-alasan lain merasa kurang perlu membicarakanya. Kalau toh mau membicarakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, mereka lebih cenderung untuk mengakui Si Singamangaraja XII beragama Pelbagu. Pelbagu semacam agama animisme yang mengenal pula pemujaan dewa. Debata Mulajadi sebagai mahadewa. Juga mengaenal ajaran Trimurti: Batara Guru (dewa kejayaan), Debata Ser
Satu hal yang sukar diterima adalah bila Si Singamangaraja XII beragama animisme, karena kalu kita perhatikan Cap Si Singamangaraja XII yang bertuliskan huruf arab berbunyi; Inilah Cap Maharaja di negri Toba kampung Bakara kotanya. Hijrah Nabi 1304. Pada cap tersebut terlihat jelas penggunaan tahun hijriah Nabi. Hal ini memberikan gambaran tentang besarnya pengaruh ajaran Islam yang menjiwai diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf batak yang masih pula di abadikan, adalah sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mengguakan huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula kalau kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam dalam gambar kelewang, matahari dan bulan. Akan lebih jelas bila kita ikuti keterangan beberapa majalah atau koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, antara lain; Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam jizn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op jizn ongeving uit om zich te bekeeren. ( Sukatulis, 1907, hlm, 1)
Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud Titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia meneka supaya orang-orang sekelilingnya menukar agamanya. Berita di atas ini memberikan data kepada kita bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam. Selain itu, di tambahkan pula tentang rakyat yang tidak beragama Islam, dan Si Singamangaraja XII tidak mengadakan paksaan atau penekanan lainnya. Hal ini sekaligus memberikan gambaran pula tentang penguasaan Si Singamangaraja XII terhadap ajaran agama itu sendiri.
Mohammad Said, dalam bukunya Sisingamangaraja XII menyatakan kemungkinan benar bahwa Sisingamangaraja seorang Muslim. Pedomannya berasal dari informasi dalam tulisan Zendeling berkebangsaan Belanda, J.H Meerwaldt, yang pernah menjadi guru di Narumonda dekat Porsea. Meerwaldt mendengar Sisingamangaja sudah memeluk Islam.
Di majalah Rheinische Missionsgessellschaft tahun 1907 yang diterbitkan di Jerman yang menyatakan, bahwa Sisingamangaraja, kendati kekuatan adi-alamiah yang dikatakan ada padanya, dapat jatuh, dan bahwa demikian juga halnya dengan beralihnya dia menjadi orang Islam dan hubungannya kepada orang Aceh.
Hubungan dengan Aceh ini terjadi Belanda menyerang Tanah Batak pada tahun 1877. Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala.
Pertukaran perwira dilakukan. Perwira terlatih Aceh ikut dalam pasukan Sisingamangaraja XII untuk membantu strategi pemenangan perang, sementara perwira Batak terus dilatih di Aceh. Salah satunya Guru Mengambat, salah seorang panglima perang Sisingamangaraja XII. Guru Mengambat mendapat gelar Teungku Aceh.
Informasi itu berdasarkan Kort Verslag Residen L.C Welsink pada 16 Agustus 1906. Dalam catatan itu disebutkan, seorang panglima Sisingamangaraja XII bernama Guru Mengambat dari Salak (Kab. Pakpak Hasundutan sekarang) telah masuk Islam. Informasi ini diperoleh oleh Welsink dari Ompu Onggung dan Pertahan Batu.
Dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog, Belanda, Letnan L. van Vuuren dan Berenshot pada tanggal 19 juli 1907 menyatakan, Dat bet vaststaatdat de oude S .S. M. Met zijn zonns tot den Islam waren over gegaan, al zullen zij wel niet Mohamedan in merg en been geworden zijn/ Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya.
Surat Kabar Belanda Algemcene Handeslsblad pada edisi 3 Juli 1907, sebagaimana dinyatakan Mohammad Said dalam bukunya, menuliskan, “Menurut kabar dari pendudukan, sudahlah benar raja yang sekarang (maksudnya Sisingamangaraja) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam. Tetapi dia bukanlah seorang Islam yang fanatik, demikian pula dia tidak menekan orang-orang di sekelilingnya menukar agamanya”.
Informasi ini semakin menguatkan dugaan Sisingamangaraja XII telah memeluk Islam. Apalagi terlihat pola-pola Islam dalam pola administrasi pemerintahannya, misalnya bendera dan stempel.
Bendera Sisingamangaraja XII yang berwarna merah dan putih., berlambang pedang kembar, bulan dan bintang, mirip dengan bendera Arab Saudi sekarang. Bedanya bulan dalam bendera Sisingamangaraja XII yang terletak di seblah kanan pedang merupakan bulan penuh atau bulan purnama, bukan bulan sabit. Sedangkan bintang yang terletak di sebelah kiri memiliki delapan gerigi, bukan lima seperti yang biasa terlihat di mesjid dalam lambang tradisi Islam lainnya. Namun benda bergerigi delapan itu bisa juga diartikan sebagai matahari.
Bagian luar stempel Sisingamangaraja yang mempunyai 12 gerigi pinggiran juga menggunakan tarikh Hijriah dan huruf Arab. Namun huruf Arab itu untuk menuliskan bahasa Batak, “Inilah cap Maharaja di Negri Toba Kampung Bakara Nama Kotanya, Hijrat Nabi 1304”. Sedangkan aksara bataknya menuliskan Ahu Sahap ni Tuwan Singa Mangaraja mian Bakara, artinya Aku Cap Tuan Singa Mangaraja Bertakhta di Bakara.
“Sebenarnya bendera dan stempel itu sudah mencirikan corak Islam dalam pemerintahan Sisingamangaraja. Dengan demikian kuat kemungkinan dia sudah memeluk Islam, tetapi tidak ada data otentik jadi tidak bisa dipastikan kebenarannya,” kata Ketua Majelis Ulama Sumut H Mahmud Azis Siregar.
Keterangan lebih mendalam disampaikan, Dada Meuraxa dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara. “Sisingamangaraja XII sudah masuk Islam dan disunatkan di Aceh waktu beliau datang ke Banda Aceh meminta bantuan senjata,” kata Meuraxa.
Dalam buku itu Meuraxa menyebutkan, keterangan itu berdasarkan pernyataan seorang sumber, Tuanku Hasyim, yang mengutip pernyataan bibi-nya yang juga istri Panglima Polem yang menyaksikan sendiri upacara tersebut di Aceh.
“Walaupun belum cukup fakta-fakta Sisingamangaraja seorang Islam, tetapi gerak hidupnya sangat terpengaruh cerita Islam. Sampai kepada cap kerajaannya sendiri tulisan Arab. Benderanya yang memakai bulan bintang dan dua pedang Arab ini pun memberikan fakta terang,” tulis Dada Meuraxa.
Singamangaraja XII sendiri bernama Ompu Pulobatu, lahir pada 18 Februari 1845 dan meninggal 7 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya. Menjelang nafas terakhir, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel itu, dia tetap berucap, “Ahuu Sisingamangaraja”.
Ucapan itu identik dengan kegigihannya berjuang.Turut tertembak juga waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sedangkan sisa keluarganya ditawan di Tarutung. Itulah akhir pertempuran melawan penjajahan Belanda di tanah Batak sejak tahun 1877. Sisingamangaraja sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung, Balige seperti sekarang ini sejak 17 Juni 1953.

PERANG PADRI

Gerakan Harimau Nan Salapan

Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Periode 1809 – 1821
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Periode 1821 – 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
(c) Periode 1832 – 1837
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar Belakang

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan.
Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.
Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi ‘imam’ atau pemimpin gerakan ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama ‘Gerakan Padri’.
Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.
Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.
Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.

Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol

Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.

Akhir keberpihakan golongan penghulu terhadap Belanda

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men¬jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali, ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me¬lakukan perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum Padri.
Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol.

Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin oleh Imam Bonjol

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke Bukittinggi.
Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat; disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.
Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me¬nyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.
Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.
Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu tempat yang telah ditetap¬kan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.
Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda. Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.
Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang tentaranya yang di¬lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki bukit per¬tahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.
Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340 orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 ¬orang dari Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk menahan serangan¬-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun me¬ngerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.
Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 ¬September 1833 tentara Belanda melanjutkan serangan¬nya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak me¬ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda.
Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang bersembunyi di hutan lebat.
Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik “serang dengan tiba-tiba dan lenyap secara tiba-tiba”, me¬nimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbu¬an. Hujan yang turun terus-menerus menambah ke¬sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .
Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari mening¬galkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.
Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu pasukan Belanda.
Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di daerah ini saja pasukan Belanda telah men¬dapat perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.
Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik gerilya.
Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri ‘atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun pertempuran frontal dari benteng ke benteng.
Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat per¬lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu. Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.
Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam.
Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat selamat ke pangkalan.
Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per¬setujuan Jenderal Van den Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: “Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus ditaklukkan”.
Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.
Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.
Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan secara total.
Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.
Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir sebagian terbesar mati terbunuh.
Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri, sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh Belanda.
Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang terjal.
Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.
Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras di¬serang oleh pasukan Padri, sehingga banyak pasukan¬nya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar 500 orang.
Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.
Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai front Padang Lawas.
Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.
Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya, sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang. Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya.Di atas bukit ini pasukan Padri mem¬buat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di seberang barat Alahan Panjang.
Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.
Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan ber¬bukit batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini diper¬gunakan oleh pasukan Padri sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.
Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan meriggunakan houwitser, mortir dan meriam besar, menemhaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriam-meriam pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan Padri.
Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandan-komandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan luka-luka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada di belakang pasukan musuh.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh.
Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.
Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.
Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9 September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal, bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor Prager.
Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan, Sirnawang Gadang dan Puar Datar.
Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan ke¬beranian rakyat untuk memberontak terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga men¬datangkan pasukan bantuan dari serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama, yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.
Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti, malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali pemberontak; dan tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri. Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak oleh Imam
Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak..
Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir keluar benteng dengan me¬ninggalkan banyak sekali korban.
Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal ¬Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima ter¬tingginya Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar untuk mem¬boboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda meinulai lagi serangan¬nya ke benteng Bonjol.
Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlu¬kan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak ber¬hasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat meng¬undurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsoli¬dasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur.
Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol me¬nyerukan ke pada pasukannya yang terserak di mana-¬mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-¬masing, untuk memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.
Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan, kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding.
Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang me¬nuju Pelupuh. Sesampainya di pelupuh, bukannya pe¬rundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam Bonjol di bawa ke Bukit¬tinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa pembuangap selama 27 tahun lamanya.
Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan Syari’at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara Islam.
PERANG JAWA
Mengenal Tokoh
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar ‘Perang Jawa’, sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan.eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.
Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.
Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan.
Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama gunung Rasamani, seorang diri.
Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia me¬manggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, “siapa yang memberi kuasa padanya?” Diponegoro harus menjawab, bahwa: “yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur’an”.
Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.
Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin “Perang Jawa” ini senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari’at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya.
Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi “Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pungeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.
Sebelum ‘perang Jawa’ pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang di¬cetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinys bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.
Pada saat ‘perang Jawa’ pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kul¬minasi dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.
Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para ‘ekstremis’ di antara kiai itu untuk menggunakan senjata “Perang Sabil”

Latar Belakang Perang Diponegoro

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang men¬sederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi ke¬kalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.
Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.
Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasa¬an antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan se¬baik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.
Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggai 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).
Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang.
Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk mem¬peroleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.
Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah ‘Dewan Perwalian’ dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk ‘Dewan Perwalian’ yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.
Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.
Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggeris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.
Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah. bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara.
Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.
Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan.

1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat.
Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.
Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto.
Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.
Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.
Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan.
Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda.
Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”.
Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me¬nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah Hindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian pe¬nguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
Perang Banjar
Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidil¬lah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan ter¬hadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-¬pejuang Banjar ….”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?”
Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk meng¬akhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.
“Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-¬pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.
“Itu bukan suatu hal yang aib!” Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidup¬mu ini sebhik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kesediaanmu untuk berjuang ber¬sama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. “Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya kemudian.
“Ada!” Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja, sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang¬-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangku¬bumi!”
“Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”
“Kemudian baru-¬baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan getir.
“Ingatan paman sangat baik,” jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah menjerumuskannya!”
“Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita harus saling membunuh.”
“Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”
Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.
“Saya tidak tahu lagi, Paman,” Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus meng¬harapkan supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah : “Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”
Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.
“Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh orang keper¬cayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”
“Ini suratan jodoh semata-mata,” jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kau jangan menyangsikan lagi”, sahut pengeran Antasari tegas.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”
Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

Pangeran Antasari ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.
“Oo tidak … Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit.”
“Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan Khalifah serta per¬mohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. “Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan kemampuan kepada kami.”
“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus ber¬langsung sepanjang usia umat manusia.
Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap: “Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil.
“Inilah…,” tekannya. “Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan se¬orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”
Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!” katanya bersemangat.
“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah … Menyerah setelah sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”
Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. “Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. “Dan jika itu dinamakan kesalah¬an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini,” katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.
“Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindas¬an dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia.”
Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata.”
“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda.
“Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin, saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.
“Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati berkobar tapi penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama, kesetia¬an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan lainnya”
Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai angkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.
“Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan-kawan seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapat¬kan pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya kepada Tumenggung Surapati.
“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”
Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”
“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun ku¬tolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman.”
“Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M

Perlawanan Gerakan Islam Terhadap Penjajahan Belanda

B.C. de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1931-1936), mengatakan: “Wij zijn hier al drie honderd jaren en wij zal nog meer dan drie honderd jaren hier blijven,” artinya “Kita sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kita akan masih tiga ratus tahun lagi berada di sini.” Jelaslah bahwa penjajahan Belanda sudah berlangsung tiga abad lamanya adalah pernyataan politis. Dalam buku Indonesia’s History Between the Myths, Essays in Legal History Between the Myths, 1968, sarjana hukum Prof. Dr. G. J. Resink, dengan bukti-bukti hukum dan lain-lainnya yang mengesankan, delapan kajian tentang kekeliruan bahwa “salah satu mitos utama Sejarah Indonesia adalah mitos yang menyatakan selama tiga ratus lima puluh tahun kepulauan Nusantara dikuasai oleh Belanda.” Secara akurat beliau menentang mitos itu dengan memberikan gambaran kepulauan Nusantara terdiri atas beberapa negara merdeka atau setengah merdeka bahkan sampai dasawarsa pertama abad keduapuluh.
Dari kepulauan Nusantara, yang dihuni oleh satu bangsa, satu darah dan satu keturunan, satu budaya dan satu bahasa, jatuh ke dalam kekuasaan empat kerajaan asing, yaitu Portugis (Timor), Sepanyol (Filipina), Inggeris (Malaka, Brunai/Sarawak) , dan Belanda (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat (Papua). Mereka tukar-menukar daerah seperti menukar barang dagangan seperti Nieuw Amsterdam (New York) oleh Belanda ditukar dengan Suriname dan Pulau Run milik Inggeris di kepulauan Banda. Pada tahun 1824 diadakan perjanjian antara Inggeris dan Belanda. Inggeris menyerahkan haknya atas Bengkulu (yang mereka namakan Bencoolen) dan Belitung (yang mereka namakan Billiton) kepada Belanda. Sultan Riau menyerahkan Singapura kepada Inggeris, yang semula dikuasai oleh Belanda, dan pada gilirannya oleh Belanda ditukar dengan Bengkulu.
Demikianlah Indonesia, pada awal abad keduapuluh ditaklukkan dan dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa Barat. Kendatipun begitu, bukan berarti bahwa Indonesia telah jatuh ke tangan penjajah seakan-akan sangat mudah. Sejarah Indonesia pada zaman atau pada masa-masa kegelapan penjajahan, adalah pula berabad-abad perang kemerdekaan untuk melawan penjajahan yang berkecamuk di seluruh pelosok serta penjuru Tanah Air kita yang tercinta, silih berganti.
Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan kemunkaran lainnya.
Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak bisa disebut satu per satu.
Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam, karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam. Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), dan Perang Aceh (1875-1903), menyebabkan kas Hindia Belanda nyaris bangkrut.Ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Setelah berbagai perlawanan rakyat (Umat Islam) dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat……
Sumber :
- http://labbaik.multiply.com/journal/item/162
- mailis komunitas historia indonesia (khi)

Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh Berhati Baja

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Sisingamangaraja XII (1845 – 1907) Pejuang Islam yang Gigih

Sisingamangaraja merupakan nama besar dalam sejarah Batak. Dia tokoh pemersatu. Dinasti Sisingamangaraja dimulai sejak pertengahan tahun 1500-an, saat Raja Sisingamangaraja I yang lahir tahun 1515 mulai memerintah. Dia memang bukan raja pertama di sana. Pemerintahan masa sebelum itu dikenal dengan nama bius. Satu bius merupakan kumpulan sekitar tujuh horja. Sedangkan satu horja terdiri dari 20 huta atau desa yang punya pimpinan sendiri. Ada Bius Toba, Patane Bolon, Silindung dan sebagainya.
Dari 12 orang yang melanjutkan dinasti Sisingamangaraja, Singamangaraja XII merupakan raja paling populer dan diangkat sebagai pahlawan nasional sejak 9 November 1961. Lukisan dirinya yang dibuat Augustin Sibarani yang kemudian tercetak di uang Rp 1.000 yang lama, merupakan satu-satunya “foto” diri Sisingamangaraja. Dia naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon.
Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka). Belanda merasa perlu mengamankan modal asing yang beroperasi di Indonesia yang tidak mau menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian pendek) di Sumatra terutama Aceh dan Tapanuli. Kedua konsultan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Belanda sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua kesultanan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Satu yang masih terus jadi bahan diskusi hingga hari ini, adalah agama yang anutan Sisingamangaraja XII. Sebagian yakin, dia penganut kepercayaan lama yang dianut sebagian besar orang Batak. Mirip dengan dua agama besar dunia Islam dan Kristen, agama Batak hanya mengenal satu Yang Maha Kuasa, Debata Mulajadi Na Bolon atau Ompu Mulajadi Nabolon. Sekarang agama Batak lama sudah ditinggalkan, walau tentu saja kepercayaan tradisional masih dipertahankan.
Daya tempur yang sangat lama ini karena di tunjang oleh ajaran agama islam. Hal ini jarang jarang di kemukakan oleh para sejarawan, karena merasa kurang relevan dengan predikat Pahlawan Nasional. Atau karena alasan-alasan lain merasa kurang perlu membicarakanya. Kalau toh mau membicarakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, mereka lebih cenderung untuk mengakui Si Singamangaraja XII beragama Pelbagu. Pelbagu semacam agama animisme yang mengenal pula pemujaan dewa. Debata Mulajadi sebagai mahadewa. Juga mengaenal ajaran Trimurti: Batara Guru (dewa kejayaan), Debata Ser
Satu hal yang sukar diterima adalah bila Si Singamangaraja XII beragama animisme, karena kalu kita perhatikan Cap Si Singamangaraja XII yang bertuliskan huruf arab berbunyi; Inilah Cap Maharaja di negri Toba kampung Bakara kotanya. Hijrah Nabi 1304. Pada cap tersebut terlihat jelas penggunaan tahun hijriah Nabi. Hal ini memberikan gambaran tentang besarnya pengaruh ajaran Islam yang menjiwai diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf batak yang masih pula di abadikan, adalah sama dengan tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mengguakan huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula kalau kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam dalam gambar kelewang, matahari dan bulan. Akan lebih jelas bila kita ikuti keterangan beberapa majalah atau koran Belanda yang memberitakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, antara lain; Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam jizn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op jizn ongeving uit om zich te bekeeren. ( Sukatulis, 1907, hlm, 1)
Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud Titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia meneka supaya orang-orang sekelilingnya menukar agamanya. Berita di atas ini memberikan data kepada kita bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam. Selain itu, di tambahkan pula tentang rakyat yang tidak beragama Islam, dan Si Singamangaraja XII tidak mengadakan paksaan atau penekanan lainnya. Hal ini sekaligus memberikan gambaran pula tentang penguasaan Si Singamangaraja XII terhadap ajaran agama itu sendiri.
Mohammad Said, dalam bukunya Sisingamangaraja XII menyatakan kemungkinan benar bahwa Sisingamangaraja seorang Muslim. Pedomannya berasal dari informasi dalam tulisan Zendeling berkebangsaan Belanda, J.H Meerwaldt, yang pernah menjadi guru di Narumonda dekat Porsea. Meerwaldt mendengar Sisingamangaja sudah memeluk Islam.
Di majalah Rheinische Missionsgessellschaft tahun 1907 yang diterbitkan di Jerman yang menyatakan, bahwa Sisingamangaraja, kendati kekuatan adi-alamiah yang dikatakan ada padanya, dapat jatuh, dan bahwa demikian juga halnya dengan beralihnya dia menjadi orang Islam dan hubungannya kepada orang Aceh.
Hubungan dengan Aceh ini terjadi Belanda menyerang Tanah Batak pada tahun 1877. Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala.
Pertukaran perwira dilakukan. Perwira terlatih Aceh ikut dalam pasukan Sisingamangaraja XII untuk membantu strategi pemenangan perang, sementara perwira Batak terus dilatih di Aceh. Salah satunya Guru Mengambat, salah seorang panglima perang Sisingamangaraja XII. Guru Mengambat mendapat gelar Teungku Aceh.
Informasi itu berdasarkan Kort Verslag Residen L.C Welsink pada 16 Agustus 1906. Dalam catatan itu disebutkan, seorang panglima Sisingamangaraja XII bernama Guru Mengambat dari Salak (Kab. Pakpak Hasundutan sekarang) telah masuk Islam. Informasi ini diperoleh oleh Welsink dari Ompu Onggung dan Pertahan Batu.
Dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog, Belanda, Letnan L. van Vuuren dan Berenshot pada tanggal 19 juli 1907 menyatakan, Dat bet vaststaatdat de oude S .S. M. Met zijn zonns tot den Islam waren over gegaan, al zullen zij wel niet Mohamedan in merg en been geworden zijn/ Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya.
Surat Kabar Belanda Algemcene Handeslsblad pada edisi 3 Juli 1907, sebagaimana dinyatakan Mohammad Said dalam bukunya, menuliskan, “Menurut kabar dari pendudukan, sudahlah benar raja yang sekarang (maksudnya Sisingamangaraja) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam. Tetapi dia bukanlah seorang Islam yang fanatik, demikian pula dia tidak menekan orang-orang di sekelilingnya menukar agamanya”.
Informasi ini semakin menguatkan dugaan Sisingamangaraja XII telah memeluk Islam. Apalagi terlihat pola-pola Islam dalam pola administrasi pemerintahannya, misalnya bendera dan stempel.
Bendera Sisingamangaraja XII yang berwarna merah dan putih., berlambang pedang kembar, bulan dan bintang, mirip dengan bendera Arab Saudi sekarang. Bedanya bulan dalam bendera Sisingamangaraja XII yang terletak di seblah kanan pedang merupakan bulan penuh atau bulan purnama, bukan bulan sabit. Sedangkan bintang yang terletak di sebelah kiri memiliki delapan gerigi, bukan lima seperti yang biasa terlihat di mesjid dalam lambang tradisi Islam lainnya. Namun benda bergerigi delapan itu bisa juga diartikan sebagai matahari.
Bagian luar stempel Sisingamangaraja yang mempunyai 12 gerigi pinggiran juga menggunakan tarikh Hijriah dan huruf Arab. Namun huruf Arab itu untuk menuliskan bahasa Batak, “Inilah cap Maharaja di Negri Toba Kampung Bakara Nama Kotanya, Hijrat Nabi 1304”. Sedangkan aksara bataknya menuliskan Ahu Sahap ni Tuwan Singa Mangaraja mian Bakara, artinya Aku Cap Tuan Singa Mangaraja Bertakhta di Bakara.
“Sebenarnya bendera dan stempel itu sudah mencirikan corak Islam dalam pemerintahan Sisingamangaraja. Dengan demikian kuat kemungkinan dia sudah memeluk Islam, tetapi tidak ada data otentik jadi tidak bisa dipastikan kebenarannya,” kata Ketua Majelis Ulama Sumut H Mahmud Azis Siregar.
Keterangan lebih mendalam disampaikan, Dada Meuraxa dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara. “Sisingamangaraja XII sudah masuk Islam dan disunatkan di Aceh waktu beliau datang ke Banda Aceh meminta bantuan senjata,” kata Meuraxa.
Dalam buku itu Meuraxa menyebutkan, keterangan itu berdasarkan pernyataan seorang sumber, Tuanku Hasyim, yang mengutip pernyataan bibi-nya yang juga istri Panglima Polem yang menyaksikan sendiri upacara tersebut di Aceh.
“Walaupun belum cukup fakta-fakta Sisingamangaraja seorang Islam, tetapi gerak hidupnya sangat terpengaruh cerita Islam. Sampai kepada cap kerajaannya sendiri tulisan Arab. Benderanya yang memakai bulan bintang dan dua pedang Arab ini pun memberikan fakta terang,” tulis Dada Meuraxa.
Singamangaraja XII sendiri bernama Ompu Pulobatu, lahir pada 18 Februari 1845 dan meninggal 7 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya. Menjelang nafas terakhir, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel itu, dia tetap berucap, “Ahuu Sisingamangaraja”.
Ucapan itu identik dengan kegigihannya berjuang.Turut tertembak juga waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sedangkan sisa keluarganya ditawan di Tarutung. Itulah akhir pertempuran melawan penjajahan Belanda di tanah Batak sejak tahun 1877. Sisingamangaraja sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung, Balige seperti sekarang ini sejak 17 Juni 1953.

PERANG PADRI

Gerakan Harimau Nan Salapan

Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Periode 1809 – 1821
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Periode 1821 – 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
(c) Periode 1832 – 1837
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar Belakang

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan tantangan.
Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.
Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi ‘imam’ atau pemimpin gerakan ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama ‘Gerakan Padri’.
Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.
Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.
Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.

Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol

Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.

Akhir keberpihakan golongan penghulu terhadap Belanda

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat mengancam ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men¬jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali, ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me¬lakukan perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum Padri.
Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol.

Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin oleh Imam Bonjol

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke Bukittinggi.
Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat; disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.
Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me¬nyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.
Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.
Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu tempat yang telah ditetap¬kan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.
Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda. Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.
Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang tentaranya yang di¬lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki bukit per¬tahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.
Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340 orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 ¬orang dari Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk menahan serangan¬-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun me¬ngerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.
Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 ¬September 1833 tentara Belanda melanjutkan serangan¬nya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak me¬ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda.
Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang bersembunyi di hutan lebat.
Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik “serang dengan tiba-tiba dan lenyap secara tiba-tiba”, me¬nimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbu¬an. Hujan yang turun terus-menerus menambah ke¬sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .
Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari mening¬galkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.
Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu pasukan Belanda.
Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di daerah ini saja pasukan Belanda telah men¬dapat perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.
Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik gerilya.
Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri ‘atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun pertempuran frontal dari benteng ke benteng.
Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat per¬lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu. Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.
Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam.
Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat selamat ke pangkalan.
Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per¬setujuan Jenderal Van den Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: “Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus ditaklukkan”.
Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.
Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.
Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan secara total.
Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.
Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir sebagian terbesar mati terbunuh.
Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri, sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh Belanda.
Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang terjal.
Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.
Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras di¬serang oleh pasukan Padri, sehingga banyak pasukan¬nya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar 500 orang.
Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.
Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai front Padang Lawas.
Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.
Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya, sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang. Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya.Di atas bukit ini pasukan Padri mem¬buat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di seberang barat Alahan Panjang.
Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.
Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan ber¬bukit batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini diper¬gunakan oleh pasukan Padri sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.
Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan meriggunakan houwitser, mortir dan meriam besar, menemhaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriam-meriam pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan Padri.
Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandan-komandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan luka-luka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada di belakang pasukan musuh.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh.
Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.
Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.
Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9 September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal, bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor Prager.
Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan, Sirnawang Gadang dan Puar Datar.
Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan ke¬beranian rakyat untuk memberontak terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga men¬datangkan pasukan bantuan dari serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama, yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.
Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti, malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali pemberontak; dan tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri. Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak oleh Imam
Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak..
Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir keluar benteng dengan me¬ninggalkan banyak sekali korban.
Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal ¬Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima ter¬tingginya Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar untuk mem¬boboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda meinulai lagi serangan¬nya ke benteng Bonjol.
Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlu¬kan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak ber¬hasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat meng¬undurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsoli¬dasi terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap bertempur.
Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol me¬nyerukan ke pada pasukannya yang terserak di mana-¬mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-¬masing, untuk memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.
Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan, kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding.
Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang me¬nuju Pelupuh. Sesampainya di pelupuh, bukannya pe¬rundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam Bonjol di bawa ke Bukit¬tinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa pembuangap selama 27 tahun lamanya.
Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan Syari’at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara Islam.
PERANG JAWA
Mengenal Tokoh
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar ‘Perang Jawa’, sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan.eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.
Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.
Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan.
Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama gunung Rasamani, seorang diri.
Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia me¬manggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, “siapa yang memberi kuasa padanya?” Diponegoro harus menjawab, bahwa: “yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur’an”.
Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.
Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin “Perang Jawa” ini senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari’at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya.
Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi “Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pungeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.
Sebelum ‘perang Jawa’ pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang di¬cetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinys bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.
Pada saat ‘perang Jawa’ pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kul¬minasi dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.
Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para ‘ekstremis’ di antara kiai itu untuk menggunakan senjata “Perang Sabil”

Latar Belakang Perang Diponegoro

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang men¬sederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi ke¬kalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.
Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.
Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasa¬an antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan se¬baik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.
Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggai 28 Juni 1812.
Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).
Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang.
Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk mem¬peroleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.
Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah ‘Dewan Perwalian’ dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk ‘Dewan Perwalian’ yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.
Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.
Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggeris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.
Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah. bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara.
Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.
Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan.

1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat.
Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.
Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto.
Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.
Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.
Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan.
Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda.
Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”.
Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me¬nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah Hindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian pe¬nguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.
Perang Banjar
Campur Tangan Belanda dalam Kekuasaan Kesultanan Banjar
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidil¬lah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809. Sejak kecil pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan, menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan penindasan ter¬hadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai berikut.
“Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-¬pejuang Banjar ….”
“…Sebentar !” Pangeran Hidayat memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?”
Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk meng¬akhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.
“Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-¬pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.
“Itu bukan suatu hal yang aib!” Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau baktikan hidup¬mu ini sebhik-baiknya”.
“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kesediaanmu untuk berjuang ber¬sama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.
Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini berarti pem¬berontakan besar-besaran, Paman !”
Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah bahasa yang diper¬gunakan oleh Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !”
“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai”.
“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran mereka: me¬rabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan kepadaku, bagaimana caranya kita me¬nunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?”
Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita.”
“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari perjuang¬an ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah!” ucap Pangeran Antasari bersemangat.
Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. “Tidakkah ada jalan lain selain pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya kemudian.
“Ada!” Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja, sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”
Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya. “Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka “.
“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran Antasari balas menyanggah. “Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang¬-pejuang Banjar masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”
“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh Kompeni sebagai Mangku¬bumi!”
“Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat mencegah mala¬petaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”
“Kemudian baru-¬baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah me¬nyanggupi kepada Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran Antasari dengan getir.
“Ingatan paman sangat baik,” jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya malah menjerumuskannya!”
“Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah. Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan tanpa kita harus saling membunuh.”
“Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbah¬mu! Hidayat, apa kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran darah?”
Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang sudah banyak mengaji mengetocui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.
“Saya tidak tahu lagi, Paman,” Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan.”
“Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.
“Mengapa Paman masih terus meng¬harapkan supaya saya memimpinnya?”
“Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini.”
Pangeran Hidayat menyanggah : “Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.
“Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang mengusir Kompeni. Sedangkan saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman. Mengapa tidak Paman sendiri menerus¬kan memimpinnya.”
“Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkit-bangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka, tidak menghapuskan adanya per¬talian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak meng¬harapkan lebih daripada kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada wasiat kakekmu almarhum.”
“Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai Mangkubumi sekarang ini…Namun demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka kau tidsk saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya untukmu.”
Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya. “Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.
“Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin oleh orang keper¬cayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada kita.”
“Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga menjadikannya besan.”
“Ini suratan jodoh semata-mata,” jawab Pangeran Antasari.
Setelah. itu keduanya terdiam merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu mufakat ?” tanya Pangeran Hidayat.
“Kau jangan menyangsikan lagi”, sahut pengeran Antasari tegas.
“Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?”
“Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan ke¬benaran dari peperangan ini,”
Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda yang dipertahankan mati-¬matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859; pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.
Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat, langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

Pangeran Antasari ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.
“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.
“Oo tidak … Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit.”
“Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini kuserahkan kepada mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh Kiai Demang Lehman.
Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir pada saat pelantikan Khalifah serta per¬mohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat sembuh. “Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan kemampuan kepada kami.”
“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam. Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus ber¬langsung sepanjang usia umat manusia.
Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah, dimana antara lain ia berucap: “Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama, bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang sabil.
“Inilah…,” tekannya. “Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan se¬orang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”
Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!” katanya bersemangat.
“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah … Menyerah setelah sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”
Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka. “Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan yang jujur. “Dan jika itu dinamakan kesalah¬an juga, maka kesetiaan itulah saya kira asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam senjata ini,” katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.
“Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindas¬an dan kesengsaraan. Dan di atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia.”
Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut, maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan senjata.”
“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya haram untuk dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda.
“Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin, saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.
“Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati berkobar tapi penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap Agama, kesetia¬an terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaan-kesetiaan lainnya”
Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai angkat bicara: “Yah…, kesalahan semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih lanjut.
“Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawan-kawan seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapat¬kan pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya kepada Tumenggung Surapati.
“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”
Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu, Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya! Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”
“Semua orang-kulit putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderad dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun ku¬tolak dengan tegas. Kami akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting, Lehman.”
“Kita tidak, akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat, orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M