Selasa, 24 Desember 2013

SIKAP BUYA HAMKA TERHADAP MERAYAKAN NATAL BERSAMA
Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta

Foto Ahmad Wiyono.

Di hadapan penguasa, Hamka bicara tegas menolak upaya-upaya Kristenisasi. Ia juga tegas melarang umat Islam mengikuti perayaan “Natal Bersama” yang menggunakan kedok toleransi.

Suatu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1969, dua orang perwira Angkatan Darat datang menemui Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari Presiden Soeharto, agar Hamka bersedia memberikan khutbah Ied di Masjid Baiturrahim, komplek Istana Negara, Jakarta. Hamka terkejut, karena disamping permintaan tersebut mendadak, ia heran mengapa istana memilihnya menjadi khatib, padahal pada waktu itu ia dikenal sebagai ulama yang dalam setiap ceramahnya selalu tegas mengeritik upaya-upaya Kristenisasi. Maklum, pada masa-masa awal Orde Baru, gurita Kristenisasi mulai membangun jejaringnya. Baik di tingkat elit kekuasaan, maupun aksi-aksi di lapangan.

Atas saran dan dukungan umat Islam, Buya Hamka akhirnya bersedia memenuhi permintaan istana. Umat ketika itu berharap, ulama asli Minangkabau ini bisa menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada para pejabat, terutama dalam menyikapi maraknya Kristenisasi. Inilah kali pertama Hamka, seorang mantan anggota Partai Masyumi, berkhutbah di Istana. Dari atas mimbar, ulama yang juga sastrawan ini menguraikan tentang bagaimana toleransi dalam pandangan Islam. Islam sangat menghargai agama lain, dan tak akan pernah mengganggu akidah agama lain.

Di hadapan Presiden Soeharto dan para pejabat Orde Baru, Buya Hamka menegaskan secara lantang, “Tapi kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu dengan tuhan yang maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir, atau kepercayaan kita kepada empat kitab suci; Taurat, Zabur, dan Injil dan Al-Qur’an, lalu disuruh berlapang dada dengan mendustakan Al-Qur’an, maaf, seribu kali maaf, dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” tegasnya.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka juga menyampaikan bahaya Kristenisasi ia sampaikan di mimbar-mimbar dakwah dan media massa. Melalui Majalah Panji Masyarakat, Buya Hamka membahas bahaya Kristenisasi, modernisasi dan sekularisasi. Dalam rubrik “Dari Hati ke Hati” yang dikelolanya, Buya Hamka juga menjelaskan soal prinsip toleransi dalam Islam.

Dalam setiap kesempatan khutbah, Buya Hamka yang prihatin dengan gurita kristenisasi yang sedang menggeliat ketika itu, bersuara lantang di hadapan umat agar mewaspadai sepak terjang kelompok Kristen yang berusaha memurtadkan kaum Muslimin. “Modernisasi bukan berarti westernisasi, dan bukan pula Kristenisasi,” demikian ketegasan yang sering diulang-ulang oleh Hamka ketika ditanya para wartawan. Dalam setiap khutbah di Masjid Al-Azhar, Jakarta, Hamka juga menegaskan bahwa misi zending Kristen yang sedang bergeliat pada masa itu telah dirasuki dendam Perang Salib untuk menghabisi umat Islam. “Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujar Hamka.

Ketegasan Buya Hamka terhadap bahaya Kristenisasi kembali ia sampaikan di hadapan penguasa Orde Baru, ketika Buya menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam rapat dengan Presiden Soeharto pada 1975, Buya Hamka menerangkan di hadapan Presiden tentang fakta-fakta Kristenisasi yang bergeliat setiap hari di masyarakat, dengan berbagai bujukan dan iming-iming materi yang menggiurkan. Hamka juga menyampaikan keprihatinannya tentang berdirinya Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi, sebagai upaya terang-terangan dalam mengkristenkan masyarakat minang lewat cara pengobatan. Kepada Presiden Soeharto, Hamka mengusulkan agar rumah sakit itu dibeli dan diambil alih pemerintah agar bisa dikelola dengan semestinya. Soeharto setuju dengan usulan tersebut, bahkan dengan terang-terangan menyatakan tidak sukanya pada Kristenisasi tersebut.

Sikap tegas Buya Hamka yang melegenda adalah ketika ia mengeluarkan fatwa haram perayaan natal bersama. Pada saat itu di lingkungan birokrat yang sudah dikuasai jejaring Kristen memang digagas acara “Natal Bersama”. Buya sebagai Ketua MUI merasa perlu memberikan fatwa agar umat Islam tidak terjebak menggadaikan akidah hanya semata-mata takut dibilang tidak toleran. Saat berkhutbah di Masjid Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya jika mereka mengikuti perayaan natal bersama. “Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah akidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik,” terang Hamka. “Ingat dan katakan pada kawan yang tak hadir di sini, itulah akidah kita!” tegasnya di hadapan massa kaum Muslimin.

Keteguhannya dalam memegang fatwa haramnya natal bersama inilah yang kemudian membuatnya mengundurkan diri dari Ketua Majelis Ulama Indonesia. Tak berapa lama setelah fatwa itu dikeluarkan, pada 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahyarham Mohammad Natsir, teman karib seperjuangan yang menyaksikan detik-detik wafatnya Buya Hamka kemudian memanjatkan doa tulus bagi seorang pejuang dan pengawal akidah umat.

Pesan Buya Hamka pada Pemuda



Buya+Hamka Pesan Buya Hamka pada Pemuda
Oleh: Beggy
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa

Hari ini adalah sejarah untuk masa depan. Tonggak-tonggak perjuangan dan perjalanan umat Islam masa kini menjadi lembaran-lembaran kisah yang akan di kecap di masa depan. Perjuangan masa kini sesungguhnya hinggap di bahu para pemuda. Meneruskan tongkat estafet perjuangan generasi sebelum mereka. Namun pemuda, bukan tanpa isi. Para pemuda itu, tidak bisa tidak, haruslah mengusung obor ilmu, guna menerangi kehidupan umat Islam saat ini.  Agar tidak menjerumuskan. Agar menegakkan keadilan dengan ilmu. Bukan belitan hawa nafsu. Pemuda dan Intelektualitas inilah yang akan menentukan jejak langkah kemudian.
Dua kata ini pula yang dipesankan oleh ulama besar kita ,Buya Hamka. Intelektual dan Muda yang menjadi penentu Islam di masa depan. Dalam rubrik Dari Hati ke Hati dimajalah Panji Masyarakat (1967-1981) beliau mengatakan tentang peran Intelektual,
“Sudah pasti bahwa Umat Islam amat mengharapkan tenaga dan buah pikiran dari cerdik pandai dan intelektualnya, agar sudilah kiranya turun dari atas ‘singasana majun alam, tempat beliau bersemayam, mengorak sila, melangkahkan kaki dating ke dalam pondok buruk kami, memimpin kami mengajar kami’.
Beliau kemudian bercerita, dahulu saat awal-awal berdirinya Muhammadiyah di Sumatera, organisasi ini kekurangan intelektualnya. Sehingga jika ada seorang bekas pensiun KNIL yang pandai berbahasa Belanda atau kerani-kerani (pegawai) dari perkebunan besar atau bekas kepala pegadaian Negeri masuk ke Muhammadiyah, disambut dengan bangga. Sebab mereka bisa bahasa Belanda. Kalau ada calon-calon pengurus Pimpinan Pusat terdapat memakai title, baik DR atau Mr (SH), pasti mendapat suara terbanyak, dan duduk dalam kepengurusan, mengalahkan kiyai besar tak bertitel, walaupun kiyai tersebut mempelajari gerak Muhammad Abduh dengan seksama. Padahal setelah duduk, kadang-kadang pengurus bertitel tersebut tidak dapat hadir karena sibuk. Dan kalau hadir, mereka tidak dapat mengikuti persoalan karena agama bukan bidang para pimpinan tersebut. Tapi apa mau dikata, kemegahan titel tersebut sangat diperlukan oleh kemegahan Muhammadiyah.
Buya Hamka kemudian melanjutkan, pada tahun 1924 beridirilah Jong Islamieten Bond (JIB) atas prakarsa  Haji Agus Salim. JIB diisi oleh kalangan muda Islam yang mendapat didikan sekolah barat. Namun di JIB, para anggota intinya memeperdalam pengertian dan amalan agama, sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan Hidup. Anggota JIB jumlahnya tidak sampai ribuan, namun dari JIB inilah timbul pribadi-pribadi seperti Muhammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, dan lain-lain. Merekalah kelak  yang mengisi bangsa ini dengan kepribadian Islam dan memperjuangkan Islam di Indonesia. Tengoklah Muhammad Natsir, yang menjdi pemimpin Masyumi dan sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia, atau Kasman Singodimejo yang menjadi Jaksa Agung RI. Mereka semua akhirnya memperjuangkan Islam di Indonesia. Namun akibat dari perjuangannya jua, dengan rela hati menerima segela konsekuensi, kemelaratan pembuangan dan pengasingan. Menerima menjadi tumpah kebencian orang banyak yang diindoktrinasikan supaya benci kepada mereka. Pribadi-pribadi lulusan JIB ini kata Buya Hamka mampu untuk menggerakan umat.
“Mereka telah dapat menggerakkan perjuangan Islam, yang mempunyai tidak kurang daripada 14 juta pengikut, ditakuti oleh kawan dan lawan, dipandang musuh besar paling berbahaya oleh komunis,dan terpaksa dibubarkan secara diktator oleh Soekarno.”
“Pikirkanlah! Kalau 15 tahun yang lalu hanya sekitar 200 orang intelek berjiwa Islam telah dapat menggerakkan tidak kurang dari 14 juta bangsa Indonesia muslim, sekarang diseluruh Indonesia tidak kurang dari seribu sarjana, seribu intelek yang keluar tiap tahun.”, lanjut Buya Hamka.
Intelektual menurut Buya Hamka memang menjadi penggerak, pendidik dan dapat memberikan efek berganda bagi umat Islam. Intelektual harus juga menjadi penghubung rakyat.
“Sebab itu hubunganmu tidak putus dengan umat. Kamu tidak lagi akan menjadi sarjana yang duduk diatas singasana gading, memandang umat dan kaumnya sebagai orang lain,dijadikan obyek penelitian, tidak merasakan diri sebagai subyek bersama mereka,” jelas Buya Hamka.
Perjuangan Islam menurut Buya Hamka terletak dipundak angkatan muda Islam. Perjuangan ini meminta tenaga muda yang bersemangat militan, didorong oleh rasa cinta kepada agama. Menurut Buya Hamka,
“Mereka harus tegak menantang dan membendung propaganda paham materialisme dan segala isme-isme (paham) baru yang diimpor dari barat untuk menyebarkan rasa keragu-ragun atau melemahkan iman dalam Islam.”
Apa yang dihadapi saat ini memang tidak mudah. Yang sekarang terjadi justru banyak pemuda-pemuda yang mengaku muslim, tapi malah menghancurkan Islam dari dalam. Sesungguhnya ini bukan barang baru. Pada masa Buya Hamka menulis ini pun, hal ini sudah menjadi tantangan bagi umat Islam.
“Yang kerap kali dapat diperbudak oleh orang lain ialah pemuda-pemuda yang sok tahu. Pemuda yang ditimpa penyakit rendah diri, mentang-mentang sudah dibawa bergaul, dalam masyarakat yang agak “barat” sifatnya, dia belum merasa progressif kalau belum turut bersorak mengatakan bahwa Islam, harus pandai menyesuaikan kalau mau maju,” tegas Buya Hamka.
Bahkan beliau melanjutkan dengan mengecam mereka, “ Orang-orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat, yang akan mengakibatkan kendornya rasa perjoangan, rasa jihad menegakkan cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam.”
Kekuatan Islam menurut Buya Hamka terletak pada aqidah Islam. Akidah Islam yang menimbulkan akhlak Islam. Akidah pasti menegakkan akhlak. Semata-mata ilmu pengetahuan saja, tanpa tegak atas aqidah tidaklah menimbulkan akhlak. Buya Hamka begitu yakin bahwa aqidah-lah yang membawa kemajuan. Menurutnya, “….suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak Islam!”
Demikianlah besarnya harapan Buya Hamka kepada intelektual dan angkatan muda Islam. Semoga generasi saat ini dapat memenuhi pula pengharapan tersebut. Jalan tersebut memang tak mudah, seperti yang diingatkan Buya Hamka, “jalan rayanya memang tidak ditaburi kembang dan bunga serta minyak cologner (pewangi).”
Selamat berjuang para Pemuda!! []
Jumat 2 Safar 1435 / 6 December 2013 13:00