Senin, 17 November 2014


Perpanjangan Kontrak pada Asing Rugikan Negara

JAKARTA (Suara Karya): Pengelolaan Blok Mahakam yang akan habis masa kontraknya dari perusahaan minyak dan gas (migas) asing seharusnya diberikan kepada Pertamina demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara.
Pendapat itu disampaikan Direktur for Center Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) Kurtubi dan anggota Komisi VII DPR, Bidang Energi, Teknologi, dan Lingkungan Hidup, Satya W Yudha, kepada Suara Karya, di Jakarta, kemarin.
Menurut Kurtubi, perlu desakan yang kuat agar operasional Blok Mahakam tidak lagi diberikan kepada Total E&P (Prancis), yang sudah lebih 46 tahun mengelola Blok Mahakam. Hal ini penting agar bangsa dan negara lebih mendapat jaminan yang kuat. Jika perlu, pemerintah memberikan 100 persen pengelolaan Blok Mahakam yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Karena pascakontrak pada tahun 2017, Blok Mahakam otomatis kembali kepada negara.
“Perpanjangan kontrak Blok Mahakam merupakan salah satu program prioritas hulu migas Kementerian ESDM tahun ini. Namun, semestinya, setelah kontrak habis, sejatinya seluruh aset secara otomatis kembali ke negara karena seluruh sisa cadangan yang masih ada di perut bumi maupun fasilitas atau infrastruktur produksi sudah menjadi milik negara. Kita khawatir adanya kemungkinan kepentingan rente untuk pemilu di sini,” ujar Kurtubi.
Ia menegaskan, tidak ada hukum internasional yang dilanggar pemerintah jika Blok Mahakam diambil alih pengelolaannya setelah masa kontrak berakhir pada 2017. Karena itu, sikap ingin memperpanjang kontrak Blok Mahakam kepada Total patut dipertanyakan.
Ia menambahkan, jika blok itu diperpanjang atau diberikan ke kontraktor lain, berarti negara harus berbagi keuntungan dengan pihak lain. Padahal kekayaan alam Indonesia semestinya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat yang terefleksi dari BUMN milik bangsa.
“Kini, Indonesia membutuhkan kepastian dengan adanya suplai gas yang cukup untuk keperluan dalam negeri yang jumlahnya akan terus meningkat untuk program diversifikasi dan konversi bahan bakar minyak ke gas, penurunan biaya produksi atau subsidi listrik, peningkatan nilai tambah gas, keperluan industri pupuk. Itulah yang akan terpenuhi jika kita mengelola sendiri blok migas yang menjadi kekayaan Indonesia,” kata Kartubi.
Kalau negara serius ingin menjadikan migas sebagai penopang utama kesejahteraan bangsa, kata Kurtubi, semestinya beberapa tahun sebelum berakhirnya kontrak, negara melalui BUMN sudah harus mulai masuk agar operasi produksi tidak berhenti saat due date.
“Mekanisme ini mustahil dilakukan, selama pengelolaan kekayaan migas nasional dilaksanakan oleh lembaga nonbisnis seperti BP Migas atau SKK Migas. Akibatnya, ada celah atau ruang bagi pemburu rente untuk meraup keuntungan sendiri dan kelompoknya dengan merugikan negara,” tegas Kurtubi.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar Satya W Yudha mengungkapkan, dalam pengelolaan blok migas, yang paling penting adalah mayoritas kewenangan operatorship dalam blok tersebut. Bukan jumlah persentase kepemilikan sahamnya.
Karena itu, tidak masalah jika ada blok migas yang sebagian sahamnya dikuasai asing, namun tetap Pertamina yang memegang kendali operatorship-nya. “Seperti kasus di Blok Cepu. Pertamina memiliki saham 45 persen, Exxon 45 persen dan pemerintah daerah 10 persen, namun operatorship-nya dipegang Exxon. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini tidak boleh terulang,” kata Satya Yudha.
Ia tidak menampik dan tetap mendukung kalau pengelolaan blok migas tetap membutuhkan mitra asing. Namun, yang terpenting, pemerintah harus bisa meyakinkan bahwa operatorship-nya tetap berada di tangan Pertamina. “Itu saja yang terpenting,” tutur mantan CEO perusahaan migas asing ini.
Terkait tudingan bahwa Pertamina tidak mampu mengelola blok migas yang ada di Indonesia, Satya secara lugas menyebutkan, ketidakmampuan itu harus dijelaskan lebih terperinci lagi. Apakah yang dimaksud tidak mampu itu menyangkut masalah teknisnya atau masalah yang lain.
Ketidakmampuan teknis, menurutnya, bisa diselesaikan dengan tetap menggunakan teknisi dari luar negeri atau dari perusahaan asing. Selanjutnya harus ada transfer teknologi kepada teknisi dalam negeri. “Jadi, permasalahan itu bisa diselesaikan dengan baik,” katanya.
Meski begitu, Satya mengingatkan, semuanya masih menunggu keputusan dari pertemuan pihak pemerintah dengan Komisi VII DPR. “Jadi, keputusannya nanti bagaimana, masih menunggu pertemuan itu,” katanya.
Sikap lain dikemukakan oleh anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto. Menurut Dito, Pertamina diminta untuk belajar melakukan pengelolaan (operatorship) terhadap Blok Mahakam dan Cepu yang kini dikuasai oleh perusahaan minyak asing Total (Prancis) dan Exxon Mobil (Amerika Serikat). Ini harus dilakukan karena di akhir masa kontrak kedua perusahaan asing itu, nanti Pertamina akan berdiri sebagai operator migas di kedua blok itu. (Joko Sriyono/Bayu/Choir/Sabpri)