Oleh Anwari WMK
PENGAMATAN secara seksama menunjukkan bahwa pergantian “rezim” dalam tubuh PT Pertamina pada 8 Maret 2006 dari kepemimpinan Widya Purnama yang kemudian beralih ke tangan Ari Hernanto Soemarno sebagai direktur utama, tak lain dan tak bukan ditujukan untuk memuluskan jalan bagi ExxonMobil Oil Indonesia menguasai Blok Cepu. Sekali pun secara repetitif pemerintah melontarkan retorika bahwa pergantian direksi Pertamina tak memiliki kaitan apa pun dengan prospek penguasaan ExxonMobil atas Blok Cepu, tak dapat dibantah Ari Soemarno adalah figur yang jauh kalah lunak dibandingkan Widya Purnama. Pada diri Ari Soemarno justru pemerintah dapat bertopang diri guna memenuhi tekanan Amerika Serikat. Karena itu, sangat masuk akal jika pada 15 Maret 2006, bersamaan dengan kehadiran Menlu AS Condoleezza Rice, dilakukan penandatanganan Joint Operating Agreement (JOA) Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil di kantor pusat Pertamina, Jakarta.
Menengok sebentar ke belakang, Pertamina kembali tampil sebagai super-star di kalangan BUMN terkait dengan berlarut-larutnya negosiasi tentang para pihak yang dinilai mampu mengelola Blok Cepu. Di bawah kepemimpinan Direktur Utama Widya Purnama, Pertamina menyatakan dirinya mampu mengelola Blok Cepu. Tetapi, pemerintah cenderung untuk menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada ExxonMobil. Inilah sesungguhnya yang disimak publik sebagai tarik-menarik yang bermuara pada munculnya konsepsi joint operating antara Pertamina dan ExxonMobil. Agar games kepentingan ini tak melukai perasan publik, maka pemerintah berpura-pura mengakomodir Pertamina melaui skema joint operating.
Pada akhirnya, sebuah berita foto di harian Kompas (16 Maret 2006, hal 17) mempertontonkan sebuah opera politik yang secara substansial menganulir seluruh retorika yang pernah dilontartkan pemerintah sendiri. Telaah secara semiotik terhadap berita foto itu menunjukkan bahwa para pihak yang merepresentasikan “kedaulatan Indonesia” telah bersedia untuk bertekuk lutut kepada ExxonMobil. Para pihak itu adalah Menteri BUMN Sugiharto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Direktur Utama Pertamina Arie Soemarno dan Direktur Pertamina EP Cepu Hestu Bagyo. Mereka seakan berada dalam subordinasi Peter J. Cole, General Manager ExxonMobil Internasional. Maka, selesai sudah sebuah episode panjang tarik-ulur pengelolaan Blok Cepu. Dan apa boleh buat, ExxonMobil benar-benar keluar sebagai pemenang dalam sebuah pertarungan panjang melawan Pertamina, mengingat ExxonMobil kemudian memantapkan posisinya sebagai operator Blok Cepu (Kompas, 14 Maret 2006, hal. 17).
Alas Dara dan Kemuning
Dalam pemberitaan Kompas (28 Februari 2006, hal. 17) disebutkan bahwa apa yang kini dikenal sebagai Blok Cepu semula semula dikenal sebagai lapangan minyak Alas Dara dan Kemuning. Melalui technical assistance contract (TAC) dengan Pertamina, pengusahaan Blok Cepu semula berada di tangan PT Humpuss Patra Gas, milik Hutomo Mandala Putra. Ternyata, Humpuss tak memiliki pendanaan yang cukup untuk mengeksploitasi cadangan minyak di kedua lapangan tersebut.
Humpuss kemudian mendekati Ampolex, perusahaan minyak yang sebagian sahamnya dimiliki Mobil Oil. Humpuss melepas 49% sahamnya kepada Ampolex pada tahun 1997. Perubahan komposisi saham melalui masuknya investor asing inilah yang kemudian menggeser status pengusahaan Blok Cepu menjadi TAC plus. Inilah sebuah keberhasilan lobi politik yang digebrakkan ke dalam lingkungan kekuasaan Presiden Soeharto, mengingat skema TAC sesungguhnya sama sekali tak membolehkan masuknya investor asing.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mobil Oil mengambil alih 100% saham Humpuss di Blok Cepu melalui Ampolex. Memasuki tahun 2000, Mobil Oil merger dengan Exxon dan lalu membentuk perusahaan baru bernama ExxonMobil. Dengan perkiraan semula cadangan minyak sebesar 250 juta barrel, Blok Cepu lalu berada di bawah pengusahaan ExxonMobil. Masalah yang kemudian dirasakan ialah jangka waktu kontrak pengusahaan hingga tahun 2010 dirasakan takkan cukup memadai untuk melakukan eksploitasi secara maksimal cadangan minyak Blok Cepu. Dengan sendirinya lantas muncul sebuah raison d’etre bagi ExxonMobil untuk mengajukan perpanjangan masa kontrak hingga 30 tahun.
Sementara disimak ke dalam strategi global ExxonMobil Corp. hingga akhir dekade ini, maka penguasaan Blok Cepu merupakan bagian penting dari rencana besar untuk mengukuhkan hegemoni dalam industri Migas di dunia. Seperti kemudian ditulis The Dallas Morning News (9 Maret 2006), ExxonMobil Corp berencana untuk melakukan apa yang disebut  to boost the amount of money it invests to bring oil and natural gas to market hingga mencapai $2 milliar pada penghujung dekade sekarang. Dengan demikian menjadi jelas bahwa penguasaan penuh atas Blok Cepu merupakan pertaruhan yang amat penting bagi ExxonMobil Corp. Sebagai konsekuensinya, pertaruhan ini mutlak untuk dimenangkan. Pada 15 Maret 2006, di “kandang” Pertamina sendiri, ExxonMobil benar-benar telah memenangkan pertarungan itu.
Kepentingan Siapa?
Secara skematik, kepentingan Pertamina dan ExxonMobil dalam pertarungan alot sebelum memasuki fase historis 15 Maret 2006 dapat dijelaskan seperti berikut. Pertamina menginginkan agar: (1) pengoperasian Blok Cepu dilakukan secara bergantian dengan ExxonMobil, (2) Pertamina EP memegang posisi general manager,manajer lapangan, manajer operasi dan manajer keuangan. Kontras dengan itu adalah ambisi ExxonMobil untuk mengelola Blok Cepu selama 30 tahun, termasuk di dalamnya memegang posisi kunci general manajer,(2) Memberi kesempatan kepada orang-orang Pertamina untuk ditempatkan dalam struktur kerja sama.
Berdasarkan tarik-menarik ini, maka di mediamassanasional lantas muncul berbagai opini tentang masa depan pengelolaan minyak di Blok Cepu. Sebagian opini menyebutkan, sebaiknya Blok Cepu dikelola ExxonMobil selama ada jaminan untuk memberikan kemakmuran kepada rakyat. Opini yang lain, dengan alasan nasionalisme, lebih memilih Pertamina mengelola Blok Cepu. Tetapi muncul juga opini agar kandungan minyak bumi di Blok Cepu dibiarkan saja untuk tak diotak-atik sekarang dan biarlah generasi mendatang yang mengolahnya. Tentu saja, opini terakhir ini akan berlalu bersama angin, mengingat pemerintah sangat menginginkan adanya kepastian, yakni dengan segera mengelola Blok Cepu.
Belum juga selesai masalah ini dituntaskan, muncul dua hal. Pertama, terbitnya tulisan Kwik Kian Gie di harian Kompas (23 Februari 2006, hal. 6) dengan tajuk yang menggugah: “Blok Cepu dan Bangsa Mandiri”. Inti dari pikiran yang dikemukakan mantan Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid itu ialah imperatif agar Blok Cepu tak dikelola oleh pihak asing. Dalam tulisannya itu pula Kwik Kian Gie menengarai telah dan akan muncul tekanan terhadap pemerintahIndonesia oleh pemerintah Amerika Serikat agar ExxonMobil yang diperkenankan mengelola Blok Cepu. Alasan logisnya, di Blok Cepu itu terdapat cadangan potensial minyak yang ternyata diketahui sebesar kurang lebih 1,1 miliar barrel untuk kedalaman 1.700 meter. Sedangkan pada kedalaman di atas 2000 meter cadangan potensial minyak diperkirakan mencapai 11 miiliar barrel. Jika sejauh ini seluruh cadangan minyakIndonesia diperkirakan mencapai 9,7 miliar barrel, maka sungguh fantastis besarnya cadangan minyak di Blok Cepu itu.
Kedua, dalam lawatannya di Myanmar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan melakukanoverhaul terhadap Pertamina. Kehendak untuk melakukan overhaul yang dikemukakan pada tanggal 2 Maret itu bertitik tolak dari lambatnya restrukturisasi korporat Pertamina, hingga pada akhirnya Pertamina benar-benar tak mampu bersaing di dunia internasional. Inilah sebuah ironi tatkala Pertamina telah berubah format menjadi persero. Logika yang dikemukakan presiden kira-kira dapat dibahasakan sebagai kegagalan Pertamina menjadi world class company. Interpretasi pada tingkat kuantitatif terhadap apa yang dikemukakan presiden itu secara kasat mata terkait dengan proyeksi laba bersih Pertamina pada tahun 2006 yang ternyata diturunkan dari Rp 22,4 triliun menjadi Rp 15,5 triliun. Dengan demikian, Pertamina telah menganulir  rencana perolehan laba bersih untuk tahun 2006 hingga 30% (lihat editorial Media Indonesia, 3 Maret 2006, hal. 1).
Berdasarkan dua hal ini, maka terbentuk sebuah atmosfer ke arah suksesi “rezim” di Pertamina. Dari sini pula terkuak kenyataan bahwa terbentuknya formasi baru direksi Pertamina adalah untuk menjawab persoalan Blok Cepu dalam kaitannya dengan peran yang akan dimainkan ExxonMobil. Kenyataan ini dapat diditeksi dari pernyataan Arie Soemarno sesaat setelah dilantik sebagai Dirut Pertamina. Persis sebagaimana kemudian dilansir harian Seputar Indonesia (9 Maret 2006, hal. 1 dan 15), Arie Soemarno akan “mengevaluasi kembali masalah Blok Cepu”. Bahkan, paling lambat, masalah Blok Cepu akan tuntas pada 100 hari Pertama kepemimpinan dirinya di Pertamina. Tentu, “evaluasi” itu telah mencapai titik final tanpa harus menunggu 100 hari, lantaran ExxonMobil telah diberi mandat melakukan pengelolaan Blok Cepu.
Di bawah pengendalian rezim direksi baru, insinuasi Pertamina ke arah pengelolaan Blok Cepu oleh ExxonMobil tercermin secara sangat kuat pada pernyataan Arie Soemarno, bahwa direksi bersama komisaris Pertamina akan mengkaji berbagai variasi kerja sama yang akan dibentuk di dalam pengelolaan bersama Blok Cepu. Di samping itu, Pertamina akan mengajukan konsep dengan pendekatan bisnis kepada pemerintah. Konsep yang akan diajukan pada pemerintah itu adalah Kontrak Kerja Sama (KKS) antara Pertamina dan ExxonMobil yang ditandatangani pada September 2005. Substansi pokok dari KKS itu adalahJoint Operating Agreement  (JOA) antara Pertamina dan ExxonMobil.
Sementara kembali pada skema yang sebelumnya dikemukakan baik oleh Pertamina maupun ExxonMobil sehingga menimbulkan tarik-menarik kepentingan dalam konteks kepemimpinan operatorship Blok Cepu, tampak jelas bahwa Arie Soemarno melakukan upaya negasi terhadap apa yang telah diputuskan Dirut Pertamina sebelumnya, Widya Purnama. Artinya, Arie Soemarno lebih memilih bertakzim pada kemauan ExxonMobil, ketimbang melanjutkan tuntutan yang dikumandangkan Widya Purnama.
Padahal, terlepas dari ada tidaknya pertarungan memperebutkan kepemimpinan dalam JOA, sesungguhnya sangatlah sulit menemukan kaitan makna antara pengelolaan Blok Cepu dan kesejahteraan rakyat. Sekali pun Pertamina yang keluar sebagai pemenang sehingga menduduki posisi general manager, manajer lapangan, manajer operasi dan manajer keuangan dalam pengelolaan Blok Cepu, maka tetap tak ada jaminan apakah akan terbentuk prinsip oil for prosperity of the nation. Persoalan kita di sini ialah tak ada orientasi kerakyatan dalam pengelolaan Migas, dari dulu hingga kini. Ketika kemudian ternyata ExxonMobil yang berada di garda depan pengelolaan Blok Cepu, maka harapan akan tegaknya orientasi kerakyatan itu niscaya juga bakal menggelembung sekadar sebagai harapan-harapan kosong.
Substansi pokok dari perebutan Blok Cepu sesungguhnya adalah pertarungan kepentingan para pemilik kapital. Pertarungan ini tak memiliki kaitan konteks dengan kesejahteraan masyarakat pada bangsa ini. Ironisnya, pemerintah pun hingga kini tak memiliki kejelasan konsepsi tentang minyak untuk rakyat. Ambisi besar yang diemban pemerintah hanyalah sejauhmana menambal APBN dari ancaman defisit yang kian besar agar kekuasaan poilitik rezim yang tengah berkuasa tak kian tergerus oleh gelombang delegitimasi. Dengan kata lain, semua ini hanyalah “episode pendek” dari sebuah opera sabun berkepanjangan dengan topik utama: “minyak bukan untuk kesejahteraan rakyat, sama sekali bukan untuk rakyat”.
Dengan cerita ini, kita lantas bisa bertanya pada diri sendiri: apakahIndonesiasebuah bangsa merdeka dan berdaulat di muka bumi ini. Seandainya Bung Hatta masih hidup, maka kemenangan ExxonMobil menguasai Blok Cepu niscaya bakal beliau simak dengan linangan air mata.[]
Jakarta, 16 Maret 2006