Untung-Rugi Hubungan Ekonomi RI-AS
Oleh: Lajnah Mashlahiyah DPP HTI
Pengantar
Ketika Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, dikabarkan akan datang ke Indonesia 23-25 Maret 2010 lalu, sontak terjadi perdebatan serius antara yang pro dan kontra. Kendati akhirnya dibatalkan -atau tepatrnya ditunda pada bulan Juni depan – namun menarik untuk mencermati alasan-alasan yang digunakan oleh masing-masing pihak.
Alasan utama penolakan kunjungan Obama adalah karena Obama adalah Pemimpin Negara Penjajah yang telah menjajah baik secara langsung seperti di Irak dan Afganistan maupun secara tidak langsung seperti Indonesia dengan hegemoninya terhadap sumber-sumber ekonomi vital seperti sumber enegi dan minyak bumi maupun barang tambang lainnya. Penjajahan tersebut baik langsung maupun tidak langsung telah telah membuat kesengsaraan dan penderitaan di Negara-negara jajahannya
Sementara alasan pihak yang menerima kedatangan Obama disamping alasan emosional karena Obama kecil pernah tinggal di menteng Jakarta selatan, alasan yang lainnya yang dikemukakan pemerintahan Indonesia dan kalangan ekonom pro kapitalis adalah karena kunjungan tersebut dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi melalui perdagangan dan peningkatan investasi. Hal ini tergambar dari pernyataan yang dikemukakan oleh Jubir Kepresidenan Dino Patti Djalal di Istana Cipanas, Cianjur, Selasa (2/2/2010) dimana dia menyatakan “Banyak aspek perdagangan dan investasi yang harus kita genjot lagi.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah benarkah peningkatan aspek perdagangan dan investasi antara AS dan Indonesia akan menguntungkan bagi Indonesia? Ataukah justru perdagangan dan investasi RI-AS selama ini lebih menguntungkan AS dan merugikan Indonesia. Atau sebenarnya adakah tujuan-tujuan lain yang ingin diambil AS dari hubungannya dengan RI. Tulisan ini akan memaparkan fakta tentang untung rugi hubungan ekonomi baik melalui perdagangan maupun peningkatan Investasi AS di Indonesia.
Untung Rugi Hubungan Perdagangan RI-AS
Ketika itu disinyalir terdapat tiga isu sebagai agenda utama yang diusung dalam kunjungan Obama ke Indonesia, yaitu mendesak Indonesia memperbaiki iklim investasi, peningkatan kerja sama perdagangan Amerika-Indonesia, dan menawarkan forum kerja sama perdagangan regional Asia-Pasific. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia memperhitungkan besaran untung-rugi kerja sama di bidang ekonomi dengan Amerika Serikat yang sudah terjalin selama ini.
Indikator ekonomi yang harus diperhitungkan dalam bidang ekonomi mengenai untung-rugi ini adalah neraca pembayaran (balance of payment, BOP) dan neraca perdagangan (balance of trade, BOT) antara Indonesia-Amerika (In-Am). Neraca pembayaran suatu negara dibuat oleh pemerintah dan menjadi salah satu input utama dalam pembuatan kebijakan perekonomian. Adapun komponen-komponen dalam BOP dapat menjadi indikasi untuk memprediksi resiko ekonomi (economy risk) suatu negara. Dari penjumlahan aritmetik pada BOP, diperoleh informasi apakah suatu negara mengalami surplus, seimbang atau defisit dalam perdagangan internasional. Selanjutnya, untuk neraca perdagangan (BOT), adalah sebuah ukuran selisih antara nilai impor dan ekspor atas barang nyata dan jasa. Tingkat neraca perdagangan dan perubahan ekspor dan impor diikuti secara luas dalam pasar valuta asing.
BOP dan BOT: Tinjauan Empiris
Secara empiris, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa BOP selama periode Januari-Desember 2009, Jepang menempati urutan teratas negara tujuan ekspor dengan nilai US$ 11,98 miliar atau 12,29 persen dari total ekspor ke 12 negara tujuan utama. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Amerika Serikat dan Cina, dengan nilai masing-masing sebesar US$ 10,46 miliar dan US$ 906,3 juta. Berikutnya, negara pemasok impor nonminyak dan gas terbesar selama tahun lalu adalah Cina, US$ 13,50 miliar dengan pangsa 17,33 persen. Disusul Jepang US$ 9,82 miliar (12,61 persen) dan Singapura US$ 9,24 miliar (11,86 persen). Impor negara-negara kawasan ASEAN mencapai 23,18 persen dan Uni Eropa sebesar 11,11 persen.
Adapun untuk barang-barang yang diimpor dari Cina kebanyakan berupa barang jadi, di antaranya mesin, peralatan elektronik, kimia organik, barang plastik, tekstil dan produk tekstil, mainan, makanan, serta buah-buahan dan sayuran. Kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika dan Jepang juga merosot. Pada 2004, Amerika menempati 12,3 persen dari total ekspor dan Jepang 22,3 persen. Angka itu turun menjadi 9,8 dan 16 persen pada 2009. Impor terjadi penurunan dari 6,9 dan 13,1 persen pada 2004 menjadi 6,3 dan 8,7 persen pada 2009. Amerika turun dan Jepang drop besar karena kalah bersaing oleh Cina (Abimanyu, 2009). Artinya, prospek kerjasama bidang ekonomi dengan Amerika dalam beberapa komoditi, terutama komoditi yang sama dengan Cina maka dipandang semakin menurun, demikian pula untuk produk-produk di tahun 2009 yang berupa bahan baku dan konsumsi terjadi penurunan.
Disamping itu, selama berhubungan dengan negara Barat khususnya AS, Indonesia sering mengalami tekanan-tekanan politik dan ekonomi berkaitan dengan isu politik, HAM, Terorisme dan lingkungan yang selalu dijadikan alat penekan negara-negara Barat ketika membangun hubungan dengan negara lainnya. Dengan kondisi ini, tentu memberikan pandangan bahwa Indonesia harus mempunyai strategi perdagangan internasional yang mampu memberikan keuntungan yang lebih besar disamping juga membina hubungan yang setara dan saling menguntungkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka dan memperluas kerjasama perdagangan dengan negara-negara yang tidak mempunyai double standar dan komitmen sebagai emiten bisnisnya, selain Amerika.
Diperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia di tahun 2010 akan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 yang tentunya akan menyebabkan tekanan pada neraca transaksi berjalan yang selanjutnya akan menekan neraca pembayaran Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi ini terus menerus terjadi, maka nilai tukar rupiah akan terdepresiasi pada tahun 2010 dibandingkan tahun sebelumnya. Jika negara ini pengambilan keputusan ekonomi secara rasional, seharusnya terus melakukan berbagai kerjasama yang lebih besar dan luas lagi ke negara-negara tetangga di Asia yang tentunya masih negotiable.
Melihat kondisi tersebut, Amerika yang dipandang sebagai ikon perdagangan bebas secepatnya merespon dengan beberapa perjanjian perdagangan bebas. Ini dilakukan Amerika karena tidak mau tersaingi dan kalah bersaing dengan negara-negara di Asia seperti Cina, Jepang dan India dalam melakukan kerjasama perdagangan dan investasi dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia masih dilihat negara yang sangat strategis dan potensial untuk sumberdaya alamnya, terutama komoditi-komoditi yang masih berupa bahan baku dan pertambangan sebagai sumber energi.
Karenanya kedatangan Obama ke Indonesia dapat dipastikan bukan semata-mata untuk kepentingan politik luar negerinya, tetapi justru karena adanya agenda untuk melakukan rescheduling berbagai transaksi ekonomi/perdagangan serta untuk memastikan agar perusahaan-perusahaannya tetap aman beroperasi di Indonesia. Disamping itu kondisi perdagangan Amerika yang kian menurun daya saingnya dibandingkan dengan negara lain, khususnya negara China dan ASEAN. Amerika membuat strategi baru supaya Indonesia tetap setia untuk menjadi mitra-dagang dengan Amerika. Oleh karena itu, Amerika berkeinginan agar Indonesia masuk dalam blok ekonomi baru yang sedang digodok Gedung Putih. Blok baru dalam kerangka perdagangan bebas itu bernama Trans Pasific Partnership (TPP). Indonesia masih menimbang-nimbang tawaran Amerika tersebut. Sejauh ini kerja sama ekonomi Indonesia dengan Amerika sudah sangat baik dengan tingginya arus modal masuk dari Amerika ke Indonesia (Wirjawan, 2010).
Gagasan atau isu yang diemban oleh Amerika tersebut adalah, mengajak Indonesia untuk tetap membangun blok baru perdagangan bebas dengan delapan negara terpilih. Antara lain Indonesia, Singapura, Brunei, Vietnam, Australia, Selandia Baru, Chili dan Peru. Blok perdagangan bebas Trans Pasific Partnership ini akan menjadi bahan utama gerilya yang dilakukan Presiden Barack Obama.
Kondisi inilah sebenarnya yang membuat Amerika merasa terancam dengan keberadaan China dalam berbagai kerjasama perdagangan negara-negara di ASEAN. Wajar saja karena perdagangan bebas yang dilakukan China dengan ASEAN bisa menggerus keuntungan perdagangan Amerika hingga 25 miliar dolar setiap tahun. Tidak hanya kerugian perdagangan, Amerika pun takut tingkat pengangguran di negaranya meningkat seiring hilangnya pasar produk Amerika di kawasan Asia Pasifik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, bagi Indonesia sendiri dari sisi ekspor keberadaan Amerika menguntungkan dari sisi ekspor nonmigas. Pasalnya, pasar ekspor non-migas Indonesia lebih besar ke Amerika dibanding ke negara China. Sehingga, ekspor produk nonmigas Indonesia ke Amerika tahun 2009 mencapai 10,5 miliar dollar Amerika dan ekspor non-migas ke China tumbuh dengan sebesar 8,9 miliar dollar Amerika.
Sebaliknya, dari sisi impor China lebih bisa menguasai pasar Indonesia dibanding Amerika. Angka impor China itu akan menggelembung di tahun 2010 akibat diterapkannya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China. Impor China ke Indonesia tahun 2009 mencapai 13,5 miliar dolar. Sedangkan impor Amerika ke Indonesia hanya mencapai angka 7 miliar dolar Amerika. Dengan kondisi seperti ini, Indonesia seharusnya mempunyai sikap yang berdasarkan kepentingan negara dalam bidang ekonomi. Apabila dilihat dari surplus neraca perdagangan Indonesia di tahun ini, maka ternyata rupiah mengalami depresiasi terhadap nilai tukar, tentu saja neraca pembayaran negara menjadi tertekan. Hal ini memberikan arti, bahwa Amerika sudah tidak cukup prospek dalam membangun kerjasama perdagangan.
Selain semakin berkurangnya keuntungan hasil perdagangan antara Indonesia dan Amerika pada tahun ini khususnya dalam ekspor-impor non migas, maka diharapkan Indonesia mempunyai sikap untuk tidak melakukan berbagai kerjasama bidang perdagangan yang tidak efisien, diseconomies, dan tidak prospektus dalam menggenjot pendapatan nasional. Indonesia harus segera mengambil keputusan untuk mengurangi berbagai kerjasama yang ditawarkan Amerika, baik dari transaksi perdagangan maupun dari penanaman modal asing melalui investasi-yang beresiko tinggi untuk jangka panjang. Apabila negara Indonesia mempunyai keberanian untuk mengurangi kerjasama yang beresiko tinggi, tentunya harus memulai dengan melakukan perdagangan yang dapat meningkatkan produktivitas dalam negeri dan menaikkan jumlah tenaga kerja. Dengan kata lain, Indonesia harus keluar dari kerjasama yang dapat merugikan bangsa dan rakyat melalui orientasi ekonomi berbasis pada sumberdaya dan produktivitas dalam negeri, baik sumberdaya manusianya.
Berdasarkan data statistik bulan nov 2009 sumber impor non migas Indonesia yang berasal dari Amerika serikat berada di urutan ke 4 sebesar 7,91 % kalah oleh cina sebesar 17,92 %, Jepang 13,47 % dan Singapura 10,92 % . kondisi ini menunjukkan melemahnya ekonomi AS akibat gempuran krisis keuangan global, Oleh karena itu Amerika sangat berkepentingan untuk meningkatkan kembali jumlah ekspor non migas ke Indonesia yang sekarang sudah didominasi oleh China terlebih lagi dengan kebijakan ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) maka dominasi impor China akan semakin kokoh dikawasan ASEAN, maka kunjungan obama ke Indonesia salah satunya adalah untuk meningkatkan ekspor Amerika Serikat Ke kawasan Asean Khususnya Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh Obama : ” Jika kita hanya meningkatkan sedikit nilai persen ekspor kita untuk Asia, itu artinya ratusan dari ribuan, mungkin jutaan lapangan pekerjaan di Amerika Serikat akan bertambah, ” papar Obama. “Dan dengan mudah akan berlipat ganda”. Sebuah data dari Kantor Penasehat Perdagangan Amerika Serikat menunjukkan bahwa Ekspor Amerika Serikat untuk kawasan Asia Pasifik akan naik lebih besar 8% daripada tahun 2008 di atas tahun-tahun dulu menjadi $ 747 miliar. “Semua ini tentang lapangan pekerjaan. Dan jika dilakukan dengan benar, Presiden Obama dan saya sangat percaya bahwa kebijakan perdagangan yang cerdas, agresif dan progresif ini bisa menjadi bagian kritis dari program pemulihan perekonomian kami secara keseluruhan,” kata Kepala Perdagangan Ron Kirk.(JakartaGlobe. 4/2).
Karena itu Kunjungan Presiden Amerika Serikat Obama bukan untuk bernostalgia tapi sebagai bagian strategi baru melipatgandakan ekspor ke Indonesia dengan menghilangkan rintangan-rintangan sehingga akses lebih besar bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk menembus pasar potensial di ASIA khususnya Indonesia .
Peningkatan Investasi atau Imperialisme ?
Selain meningkatkan volume perdagangan Amerika Indonesia , aspek ekonomi lainnya adalah peningkatan investasi dan keamanan investasi perusahaan-perusahaan AS di Indonesia. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi Investasi Amerika Serikat di Indonesia selama 5 tahun terakhir ini sudah tidak masuk 5 besar, karena AS sudah banyak memindahkan tujuan investasinya dari Indonesia ke sejumlah negara lain (Inilah.com 18/12/2008). Oleh karena itu pemerintah menginginkan adanya peningkatan investasi AS di Indonesia, Pemerintah selalu beralasan bahwa peningkatan investasi asing akan meningkatkan perekonomian Indonesia yang akhirnya akan meningkatkan kesejahtertaa rakyat Indonesia. Benarkah Investasi AS akan meningkatkan kesejahteraan Indonesia ?
Selama ini sebenarnya investasi Asing lebih banyak merugikan dan menyengsarakan rakyat apalagi investasi yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan AS. Ada 3 faktor yang bisa kita jadikan bukti bahwa Investasi AS telah banyak merugikan perekonomian indonesia dan menyengsarakan rakyat. Pertama, Investasi yang dilakukan perusahan AS seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Freeport dan Newmont adalah investasi di bidang ekploitasi barang tambang. Salah satu alasan pemerintah mengundang investasi asing adalah untuk mengatasi pengangguran padahal Investasi dibidang tambang tidak banyak menyerap tenaga kerja sehingga tidak akan mampu mengurangi pengangguran yang terjadi saat ini.
Kedua, Para Investor dengan prinsip kapitalis yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya telah mengakibatkan Kerusakan ekosisitem dan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Penambangan yang dilakukan oleh Freeport, New Mont dan beberapa perusahan tambang lainnya telah menghasilkan galian berupa potential acid drainase (air asam tambang) dan limbah tailing. PT Newmont telah merusak pantai Buyat dan Sumbawa bagian barat dengan diikuti oleh aktifitas pembuangan limbah tailing ke laut dalam jumlah yang lebih besar yaitu mencapai 120.000 ton per hari, 60 kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibuang Newmont di pantai buyat Minahasa Sulawesi Utara. (http://jakarta.indymedia.org/). Apalagi saat ini pemrintah telah mengijinkan penambangan di daerah hutan lindung maka terjadilah kerusakan hutan akan semakin bertambah, saat ini laju kerusakan hutan mencapai 1,6 – 2 juta hektare per tahun. Luas hutan Indonesia 50 tahun terakhir diperkirakan terus menyusut, dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Walhi mencatat 96,5 juta hektare atau 72 persen dari 134 juta hektare hutan tropis Indonesia telah hilang. Salah satu akibatnya adalah kekeringan dan bencana banjir seperti banjir bandang yang menimpa bohorok – sumatera telah merusak ratusan rumah, beberapa cottage beserta fasilitas publik, dan juga telah menewaskan 90 orang, beberapa orang luka-luka dan masih puluhan orang yang hilang.( http://www.rri-online.com/).
Ketiga, Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau kontrak karya selalu berpihak dan menguntungkan investor akan tetapi merugikan pemerintah dan rakyat dalam kasus Freport di Papua Pemrintah Indonesia hanya mendapatkan 18,72 % itupun 9,36 % miliki swasta sedangkan sisanya dimiliki Freepoort padahal PT Freeport saat ini telah berhasil mengeruk sekitar 30 juta ton tembaga dan 2,744 milyar gram emas Indonesia mengeksploitasi pertambangan di Papua bekerja atas dasar kontrak karya yang ditandatangani dengan pemerintah Indonesia. Sementara dalam kasus blok Cepu Exxon mobile mendapat konsesi 50 % padahal berdasarkan hasil survei dan kajian (technical evaluation study, TEA) Humpuss Patragas tahun 1992-1995, cadangan minyak Cepu mencapai 10,9 miliar barel, lebih besar dari Cadangan minyak yang sebelumnya ditemukan di Indonesia secara hanya sekitar 9,7 miliar barel. Sementara dalam kontar karya gas di Pulau Natuna lebih fantasisi lagi semua hasil gas 100 % milik Exxon mobile sementara pemerintah hanya mendapat pajak penjualan, maka saat ini exxon berusaha untuk memperpanjang kontrak tersebut yang sebenarnya sudah berakhir tahun 2005 kemudian diperpanjang sampai tahun 2007 dan sekarang sedang negoisasi untk diperpanjang lagi, dan perlu diketahui Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.
Sementara pengaruh Cina di Bidang Minyak Indonesia sudah mulai mengusik dominasi Perusahaan Amerika Serikat, Kehadiran beberapa perusaahaan minyak Cina di Indonesia memang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya PetroChina, CNIIC, dan Sinopee. Hal ini tentu menimbulkan kejengkelan bagi perusahaan-perusahaan minyak multi-nasional asal Amerika dan Inggris yang dikenal sebagai SEVEN SISTERS yaitu Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Exxon Mobil, dan Chevron. Ketika perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke Indonesia, the Seven Sisters mulai goncang. Perusahaan-perusahaan minyak Cina tersebut masuk ke lokasi sumber minyak dan gas seperti Blok Sukowati di Jawa dan Blok Tangguh di Papua, maka Kunjungan Obama ke Indonesia di pastikan untuk mengokohkan kembali Imperilaisme di Bidang MIGAS di Indonesia.
Kesimpulan
Kerjasama transaksi perdagangan dan ekonomi dengan Amerika mengalami defisit. Bentuk kerjasama selama ini yang dilakukan harus dievaluasi dan direnegosiasikan lagi. Disamping itu investasi asing dalam hal ini yang dilakukan oleh perusahaan Amerika justru lebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh bangsa Indonesia. Artinya, hubungan perdagangan dan investasi yang dilakukan RI-Amerika meskipun sudah memberikan dampak positif (profit), tetapi masih dipandang lebih banyak dampak negatif (loss)-nya, seperti halnya dalam menentukan berbagai kebijakan ekonomi/perdagangan seringkali tunduk pada kebijakan Amerika ketimbang kebutuhan nasional, termasuk keputusan negara dalam bidang politik ekonomi selalu yang tidak independen.
Karenanya dapat disimpulkan bahwa hubungan ekonomi antara RI dan Amerika lebih menguntungkan bagi Amerika dan lebih merugikan bagi RI. Dengan kata lain, Indonesia harus berani secara tegas melakukan terobosan dalam strategi perdagangan internasionalnya dengan tanpa mengikuti ‘pesanan dan tekanan’ politik Amerika dan merenegosiasi berbagai kerjasama bidang ekonomi yang seringkali keuntungan yang didapatkan lebih sedikit dibandingkan kerugiannya, oleh karena itu, saatnya Indonesia menentukan sikapnya sendiri dalam berekonomi tanpa dikendalikan oleh kepentingan Amerika dengan dalih ‘efisiensi’.
Catatan kaki :
1. http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=689
2. http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=20661