Saya beruntung tak melewatkan adegan kemarahan Kwik dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) yang disiarkan langsung tadi malam, Selasa, 21 Oktober 2014, itu. Dalam benak saya, seandainya gugatan itu tak keluar dari mulut Kwik, tokoh senior di PDI-P, dan bekas orang kepercayaan Megawati, banyak orang mungkin akan memberikan tuduhan “tidak legowo” dan “rasis”. Sejak lama, setiap serangan pada Sofjan Wanandi memang selalu membentur tembok sensitif itu: SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-golongan).
Pada awal 1998, dalam sebuah acara buka puasa bersama yang dihadiri oleh ribuan orang, Prabowo Subianto berceramah mengenai krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia. Dalam ceramahnya, ia menyesalkan sikap sejumlah konglomerat dari golongan Tionghoa yang telah melarikan modalnya ke luar negeri (capital flight). Mereka tumbuh dan menjadi besar dengan fasilitas negara, namun ketika negara tertimpa krisis, mereka malah melarikan duitnya ke Singapura. Nama yang disebut Prabowo di antaranya adalah Sofjan Wanandi.
Dalam otobiografi Jusuf Wanandi, kakak Sofjan Wanandi, “Menyibak Tabir Orde Baru” (2014), secara insinuatif Jusuf menyebut bahwa acara buka bersama itu dihadiri oleh kelompok ekstremis dan garis keras kanan yang menyebarkan kebencian terhadap etnis Tionghoa dan golongan Katolik. Tuduhan itu tentu saja menggelikan. Bisa dibayangkan, sebuah serangan politik kepada Sofjan Wanandi telah dibelokan sedemikian rupa seolah merupakan serangan terhadap golongan Tionghoa dan Katolik.
Jika kita buka kembali rekaman peristiwa itu, serangan kepada Sofjan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan soal SARA, melainkan murni analisis ekonomi-politik. Sejak krisis ekonomi menerpa, Bank Indonesia mencatat jumlah modal yang dilarikan ke luar negeri hingga 1999 tak kurang dari USD 80 miliar. Dan dana itu memang sebagian besar dilarikan oleh para konglomerat etnis Tionghoa.
Usaha para konglomerat untuk melarikan modal ke luar negeri sebenarnya telah berlangsung sejak awal 1990-an. Jika kita membuka-buka kembali arsip berita-berita ekonomi antara 1991 hingga 1997, usaha untuk melarikan modal ke luar negeri telah dilakukan oleh sejumlah konglomerat dengan menggunakan berbagai modus. Majalah-majalah berita ekonomi, seperti PROSPEK dan WARTA EKONOMI, pada awal 1990-an berkali-kali mengangkat tema soal nasionalisme para konglomerat itu.
Kasus yang paling menghebohkan tentu saja adalah ketika Sudono Salim menjual mayoritas saham PT Indofood Sukses Makmur kepada sebuah perusahaan roti kecil di Singapura, QAF, yang juga miliknya. Akal-akalan semacam itu mendapat pembelaan dari para konglomerat lainnya. Sofjan Wanandi, misalnya, yang sejak lama memang disebut sebagai juru bicaranya para konglomerat, menyebut tindakan Salim itu sebagai murni strategi bisnis untuk menghadapi globalisasi, dan bukan merupakan bentuk capital flight.
Jadi, kecaman kepada konglomerat etnis Tionghoa pada masa itu memiliki dasar argumen ekonomi-politik yang jelas, bukan berpijak di atas sentimen rasial dan keagamaan.
Untuk menarik kembali modal yang sudah dilarikan itu, pada 11 November 1999, Gus Dur harus berbicara di Hotel Shangrilla Singapura, di hadapan tak kurang dari 500 pengusaha Tionghoa, seperti Sudono Salim, Eka Tjipta Widjaja, Mochtar Riyadi, James Riyadi, Edward Soerjadjaja, atau Tong Djoe. Nama terakhir, Tong Djoe, adalah penghubung antara Gus Dur dengan Lee Kuan Yew. Ya, untuk menarik kembali duit para konglomerat itu, Gus Dur sampai harus menjadikan Lee sebagai penasihat Presiden RI di bidang ekonomi.
Sebelum kembali ke Indonesia pada Oktober 1999, ketika Gus Dur dan Megawati naik menjadi presiden dan wakil presiden, Sofjan Wanandi adalah buronan Mabes Polri. Ia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 1998. Ia melarikan diri ke berbagai negara, seperti Singapura, Australia, Amerika, Eropa dan Jepang. Ada berbagai tuduhan yang disangkakan kepada Sofjan, seperti penyelewengan pajak, kredit macet, terlibat kasus commercial paper, serta terlibat kasus bom Tanah Tinggi. Sofjan, bersama dengan Surya Paloh, dianggap sebagai penyandang dana dari insiden bom yang melibatkan anak-anak PRD itu, meskipun tuduhan itu dibantah oleh keduanya. Dalam proses pemeriksaan, dengan alasan memeriksakan kesehatan, Sofjan melarikan diri ke luar negeri hingga pemerintahan berganti ke tangan Gus Dur.
Pada 21 Oktober 1999, Sofjan tak hanya bisa kembali ke Indonesia. Ia bahkan diminta oleh Gus Dur untuk duduk menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional. Sebagai juru bicara para konglomerat, posisi Sofjan sepertinya memang sangat kuat. Apalagi, sebagai salah satu pendiri CSIS, ia memang dikenal dekat dengan Gus Dur.
Apakah ditunjuknya Sofjan sebagai salah satu penasihat presiden pada 1999 merupakan bentuk lobi kepada para konglomerat Tionghoa agar mereka bersedia untuk kembali menginvestasikan modalnya ke Indonesia, atau lebih karena dia memiliki kedekatan saja dengan penguasa masa itu? Ini sebenarnya adalah obyek penelitian yang menarik.
Sofjan, waktu itu, tentu saja bukan orang dekat Megawati. Sofjan bahkan bisa dikatakan merupakan musuh Megawati. Dalam konflik perebutan kursi ketua umum PDI, yang memuncak pada Peristiwa 27 Juli 1996, Sofjan berada di kubu Soerjadi. Fragmen ini juga diceritakan dalam otobiografi Jusuf Wanandi. Menurut Jusuf, sebagai orang yang ikut bertanggung jawab dalam menjatuhkan Soekarno, Sofjan tentu saja tidak memiliki kepercayaan pada Mega. Oleh karenanya ia mendukung Soerjadi. Apalagi Soerjadi adalah bekas direktur salah satu perusahaannya. Ya, Sofjan telah mengenal Soerjadi sejak 1965, ketika sebagai aktivis KAMI Sofjan mencoba merangkul aktivis-aktivis mahasiswa PNI yang anti-PKI. Konflik di tubuh PDI itu sendiri menarik. Dalam otobiografinya Jusuf mengaku bahwa dia dan Benny berada di kubu Mega, sementara Sofjan berada di kubu Soerjadi.
Kembali kepada kemarahan Kwik, saya kira jika serangan kepada Sofjan itu tidak keluar dari mulut Kwik, ia pasti akan segera dituduh rasis. Untungnya kritik itu dilontarkan oleh Kwik. Persis di situ kita harus memproblematisasi isu SARA dengan jernih.
Politik yang beradab memang harus menyingkirkan jauh-jauh sentimen SARA. Namun membelokkan setiap kritik dengan argumen yang terang menjadi seolah bernuansa SARA, jelas jauh lebih berbahaya, karena bisa menjadikan isu sensitif tadi sebagai tempat persembunyian yang nyaman untuk menyembunyikan kebusukan.
Tarli Nugroho