BERANI LAWAN CURANG: Andri Rizki Putra, 23, menjelaskan konsep pendidikan yang ingin diwujudkannya kepada Jawa Pos di Jakarta Sabtu lalu (26/7). (Henny Galla Pradana/Jawa Pos)
Laporan Henny Galla Pradana, Jakarta
28 Juli 2014 04:20 WIB
Andri Rizki Putra, 23, mengidamkan sistem pendidikan yang jujur. Bukan hanya berharap, dia memilih untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang mengutamakan kejujuran murid-muridnya.
* * *
BUNYI lonceng di salah satu sudut sekolah menandai berakhirnya ujian nasional (unas) pada pertengahan 2006 lalu. Andri Rizki Putra yang saat itu masih SMP bergegas keluar kelas. Terik siang yang menyelimuti Jakarta kala itu menemani langkah kakinya yang cepat menyusuri teras-teras panjang kelas. Dia buru-buru ingin bertemu kepala sekolah. Belum sampai mengetuk pintu ruang kepala sekolah, dia bertemu salah seorang guru.
”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah?” tanya sang guru. Tanpa takut, remaja dengan seragam putih biru itu bilang bahwa dirinya ingin mengadukan buruknya sistem ujian nasional. Bagaimana bisa, tanya Rizki, guru-guru tutup mata bahwa murid-murid peserta ujian menyontek dengan bebas? Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek? ”Buat apa pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya.
Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal. Apalagi, saat sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala sekolah.
Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek di situ. Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP unggulan di Jakarta Selatan justru mengucilkannya.
Tentangan sosial membuat hari-hari kelulusan semakin berat. Sempat dia berpikir hendak melapor ke Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mengekspose ke media, namun ditahan orang-orang dekatnya. Rizki drop dan depresi. Dia menghabiskan masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri di kamar dan enggan keluar rumah.
Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar biasa. Meski diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya terhadap sekolah formal luntur.
Namun, jangan dikira Rizki akan menyerah untuk mendapat pendidikan. Dia meyakinkan sang ibu, Arlina Sariani, 50, bahwa dirinya mencari pola belajar dengan caranya sendiri. ”Saya menamakan jalur pendidikan SMA saya adalah unschooling,” ceritanya saat ditemui Jawa Pos di Grand Indonesia akhir pekan lalu (26/7).
Bukan homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan juga bimbingan belajar yang masuk pendidikan nonformal. Unschooling merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.
Sebetulnya unschooling yang dijalani Rizki merupakan program pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket. Sayang, ijazah paket sudah kadung bercitra negatif. Hanya karena lulusan ijazah paket, mayoritas anak-anak putus sekolah dan tak mampu secara akademik. Akses ke perguruan tinggi juga susah karena beberapa kampus tidak menerima pelamar dengan ijazah tersebut.
Selain research melalui internet, Rizki pergi ke dinas pendidikan untuk meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas mengizinkan Rizki dengan beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti placement test yang berisi ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian paket kesetaraan di bawah 17 tahun.
Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat internet. Dia juga rajin membaca surat kabar. ”Ujian paket seharusnya juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran. Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya yang saat ditemui mengenakan setelan jaket kuning dan celana jins warna cerah. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16 tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat murah. Selama unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.
Pada 2007 Rizki tembus SNM PTN dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI). Bahkan, dekan fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah paket. Toh, pada 2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude.
Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan adalah masjidschooling. Dia menamai masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro.
Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling berjalan empat tahun.
Selain samping itu, Rizki yang saat ini menjadi konsultan di firma hukum Baker and MzKenzie juga menjadi founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012. Berbeda dengan masjidschooling yang cenderung segmented untuk warga muslim karena dikelola ibu-ibu pengajian, YPAB lebih plural. Konsep pendidikan di YPAB juga fleksibel. Sebab, tutor di YPAB merupakan anak-anak muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesional. Mereka menjadi relawan setia yang mengajar tanpa bayaran.
Terkadang Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar negeri seperti Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak, murid-murid putus sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya mau tidak mau belajar ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid ”schooling” Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai admin di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di perkantoran.
Bahkan, Prihatin, salah seorang murid yang sehari-hari berjualan pisang goreng di Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B tertinggi nasional. Kini Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid lainnya yang bekerja sebagai PRT, ungkap Rizki, akan melanjutkan kuliah.
Kendati demikian, mengembangkan YPAB hingga memiliki ratusan murid dari hanya dua murid bukan hal mudah. Banyak pula tekanan dari masyarakat. Misalnya, warga pernah memprotes Rizki karena mengira yayasannya adalah tempat berbuat mesum. Sebab, awal-awal berdiri, proses pembelajaran YPAB di dalam kamar dan garasi. ”Pernah juga dikira tengah melakukan kristenisasi dengan antek-antek asing,” papar Rizki yang ingin melanjutkan kuliah school of education di Amerika Serikat.
Namun, semua itu dilalui dengan baik. YPAB kini memiliki beberapa cabang. Selain di Tanah Abang, juga di Bintaro, kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Medan. Rencananya Rizki juga mendirikan YPAB di luar Jawa. Dari sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, dia akan menambahkan praktik entrepreneurship.
”Saya tidak memaksa murid untuk punya nilai bagus. Tapi, menekankan pentingnya kejujuran. Lihat, koruptor itu adalah orang-orang pintar, namun sudah tidak jujur sejak dalam pikiran,” tegas Rizki yang juga giat di Brunch Club, komunitas pencetus ide-ide pemula bisnis TI atau Start Up itu. (*/c10/kim
* * *
BUNYI lonceng di salah satu sudut sekolah menandai berakhirnya ujian nasional (unas) pada pertengahan 2006 lalu. Andri Rizki Putra yang saat itu masih SMP bergegas keluar kelas. Terik siang yang menyelimuti Jakarta kala itu menemani langkah kakinya yang cepat menyusuri teras-teras panjang kelas. Dia buru-buru ingin bertemu kepala sekolah. Belum sampai mengetuk pintu ruang kepala sekolah, dia bertemu salah seorang guru.
”Kenapa ingin ke kantor kepala sekolah?” tanya sang guru. Tanpa takut, remaja dengan seragam putih biru itu bilang bahwa dirinya ingin mengadukan buruknya sistem ujian nasional. Bagaimana bisa, tanya Rizki, guru-guru tutup mata bahwa murid-murid peserta ujian menyontek dengan bebas? Bahkan, guru mengirim kunci jawaban lewat pesan pendek? ”Buat apa pintar kalau didapat dari ketidakjujuran?” tegasnya.
Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal. Apalagi, saat sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala sekolah.
Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek di situ. Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP unggulan di Jakarta Selatan justru mengucilkannya.
Tentangan sosial membuat hari-hari kelulusan semakin berat. Sempat dia berpikir hendak melapor ke Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mengekspose ke media, namun ditahan orang-orang dekatnya. Rizki drop dan depresi. Dia menghabiskan masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri di kamar dan enggan keluar rumah.
Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar biasa. Meski diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya terhadap sekolah formal luntur.
Namun, jangan dikira Rizki akan menyerah untuk mendapat pendidikan. Dia meyakinkan sang ibu, Arlina Sariani, 50, bahwa dirinya mencari pola belajar dengan caranya sendiri. ”Saya menamakan jalur pendidikan SMA saya adalah unschooling,” ceritanya saat ditemui Jawa Pos di Grand Indonesia akhir pekan lalu (26/7).
Bukan homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan juga bimbingan belajar yang masuk pendidikan nonformal. Unschooling merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.
Sebetulnya unschooling yang dijalani Rizki merupakan program pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket. Sayang, ijazah paket sudah kadung bercitra negatif. Hanya karena lulusan ijazah paket, mayoritas anak-anak putus sekolah dan tak mampu secara akademik. Akses ke perguruan tinggi juga susah karena beberapa kampus tidak menerima pelamar dengan ijazah tersebut.
Selain research melalui internet, Rizki pergi ke dinas pendidikan untuk meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas mengizinkan Rizki dengan beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti placement test yang berisi ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian paket kesetaraan di bawah 17 tahun.
Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat internet. Dia juga rajin membaca surat kabar. ”Ujian paket seharusnya juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran. Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya yang saat ditemui mengenakan setelan jaket kuning dan celana jins warna cerah. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16 tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat murah. Selama unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.
Pada 2007 Rizki tembus SNM PTN dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI). Bahkan, dekan fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah paket. Toh, pada 2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude.
Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan adalah masjidschooling. Dia menamai masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro.
Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling berjalan empat tahun.
Selain samping itu, Rizki yang saat ini menjadi konsultan di firma hukum Baker and MzKenzie juga menjadi founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012. Berbeda dengan masjidschooling yang cenderung segmented untuk warga muslim karena dikelola ibu-ibu pengajian, YPAB lebih plural. Konsep pendidikan di YPAB juga fleksibel. Sebab, tutor di YPAB merupakan anak-anak muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesional. Mereka menjadi relawan setia yang mengajar tanpa bayaran.
Terkadang Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar negeri seperti Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak, murid-murid putus sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya mau tidak mau belajar ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid ”schooling” Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai admin di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di perkantoran.
Bahkan, Prihatin, salah seorang murid yang sehari-hari berjualan pisang goreng di Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B tertinggi nasional. Kini Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid lainnya yang bekerja sebagai PRT, ungkap Rizki, akan melanjutkan kuliah.
Kendati demikian, mengembangkan YPAB hingga memiliki ratusan murid dari hanya dua murid bukan hal mudah. Banyak pula tekanan dari masyarakat. Misalnya, warga pernah memprotes Rizki karena mengira yayasannya adalah tempat berbuat mesum. Sebab, awal-awal berdiri, proses pembelajaran YPAB di dalam kamar dan garasi. ”Pernah juga dikira tengah melakukan kristenisasi dengan antek-antek asing,” papar Rizki yang ingin melanjutkan kuliah school of education di Amerika Serikat.
Namun, semua itu dilalui dengan baik. YPAB kini memiliki beberapa cabang. Selain di Tanah Abang, juga di Bintaro, kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Medan. Rencananya Rizki juga mendirikan YPAB di luar Jawa. Dari sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, dia akan menambahkan praktik entrepreneurship.
”Saya tidak memaksa murid untuk punya nilai bagus. Tapi, menekankan pentingnya kejujuran. Lihat, koruptor itu adalah orang-orang pintar, namun sudah tidak jujur sejak dalam pikiran,” tegas Rizki yang juga giat di Brunch Club, komunitas pencetus ide-ide pemula bisnis TI atau Start Up itu. (*/c10/kim