Senin, 20 Oktober 2014

Perpecahan Umat Islam (Andalusia) pada Saat Itu
Umat Islam Andalusia tidak ada bedanya dengan umat Islam lainnya di seluruh penjuru dunia. Mereka satu akidah dengan kita, berpegang teguh pada madzhab Ahlussunnah Waljamaah. Oleh karenanya, ketika mereka sedang dalam keadaan menghadapi kesulitan dan penindasan, mereka meminta pertolongan kepada saudara-saudaranya sesama muslim yang memiliki kekuatan untuk membantu mereka. Di antara yang dimintai pertolongan adalah Kerajaan Islam di Maroko dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Di antara isi surat yang mereka tuliskan kepada kedua kerajaan itu disebutkan sebagai berikut:

Salam sejahtera kami haturkan untuk yang mulia, dari seorang hamba yang tertindas di Andalusia, wilayah sebelah barat bumi Maroko.
Dengan dikelilingi oleh lautan Roma yang membentang luas dan lautan raya yang dalam dan pekat. 
Salam sejahtera untuk semua, dari seorang hamba yang terluka akibat bencana berat yang menimpa.
Kami dikhianati dan ditindas, agama kami diubah dengan paksa, kami dianiaya dengan keji dan kejam.
Namun, kami tetap berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad Saw., melawan tentara salib berdasarkan satu niat.
Saat kami membina perjanjian perdamaian, mereka malah mengkhianati dan melanggarnya.
Bukan sekali mereka melanggar perjanjian, bahkan sebelumnya berkali-kali mereka mengingkari dan menindas kami dengan kekerasan dan penganiayaan.
Mereka membakar kitab suci umat Islam dan mencampakkannya ke tempat-tempat sampah sehingga berbaur dengan najis.

Kitab suci yang kami jadikan sandaran dalam setiap urusan, mereka campakkan dengan keji dan zalim.
Kami dipaksa mencaci Nabi, dan dilarang untuk menyebut namanya, baik pada saat senggang maupun tertindas. 
Kalau ada satu orang atau satu kelompok orang yang melantunkan namanya, bahaya siksa dan azab mengancam mereka.
Nama-nama kami diubah dengan nama yang tidak kami senangi. Sayang seribu sayang, mereka mengubah agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. dengan agama anjing-anjing Romawi, makhluk terburuk di muka bumi.
Kami pun akan menjadi hamba sahaya yang tidak bertuan, menjadi umat Islam yang tidak bisa mengucapkan kalimat syahadatain. 
Jika kedua bola mata insan menyaksikan, betapa kesulitan yang kami derita, ia akan mencurahkan hujan airmata. 
Betapa pedih yang kami rasakan, menahan derita nestapa yang terus menyelimuti. 

Dalam surat ini tampak bahwa mereka sangat membutuhkan sekali bantuan dari umat Islam lainnya. Mereka mengiba, menangis, dan 'mengemis' belas kasihan raja-raja Islam. Namun sayang beribu kali sayang, bantuan yang diharapkan tidak turun-turun. Hal ini semakin membuat mereka terisolasi dan semakin lama menanggung beban penderitaan. Umat Islam di Andalusia diberikan tiga pilihan oleh kerajaan Kristen: Masuk Kristen, Keluar dari Andalusia, atau dibunuh! Jumlah mereka yang dibunuh mencapai puluhan ribu jiwa. Sebagian mereka ada yang murtad atau pura-pura murtad. Mereka yang murtad ini selalu diawasi oleh intelejen Kerajaan Kristen pada saat itu. Bila terbukti masih beragama Islam maka akan ditangkap dan dihukum. Apalagi mereka yang merencanakan pemberontakan, tak tanggung-tanggung akan dihukum mati! Digantung dan dikuliti kemudian di arak keliling kota sebagaimana yang terjadi pada diri para mujahidin pada saat itu. 

Ketika membaca kalimat demi kalimat buku itu, yang penuh dengan kepiluan dan kesedihan, saya merasa heran bila saat itu sedikit sekali bantuan yang dapat umat Islam Andalusia terima. Di manakah kerajaan Islam Maroko yang notabene saat itu bersebelahan dengan umat Islam Andalusia? Di manakah kekhalifahan Utsmaniyah yang dengan gemilang berhasil menaklukan Konstantinopel? Sayang dalam buku itu tidak membahas mengapa Khalifah Utsmaniyah tidak turun membantu umat Islam Andalusia. Jadi pada kesempatan ini saya fokuskan saja pada Kerajaan Islam Maroko sebagai tetangga terdekat Andalusia. 

Ternyata jawabannya sungguh mengejutkan: Raja Maroko ingin mencari aman saja. Karena bila mereka terlalu jauh terlibat dalam konflik yang terjadi di Andalusia, kekuasaan mereka akan terancam. Kerajaan Kristen akan menyerang mereka atau melakukan praktek adu domba sesama anggota keluarga kerajaan seperti yang terjadi di Andalusia. Intinya, kerajaan Kristen akan berupaya mempersulit keadaan kerajaan Islam Maroko. Akhirnya, mereka pun mengambil jarak terhadap umat Islam di Andalusia. 

Kenyataan ini tampaknya juga diderita oleh pemimpin negara-negara Islam saat ini. Mereka tidak berani memberikan bantuan secara penuh, terutama militer, kepada umat Islam yang tertindas seperti di Palestina, Suriah, Afghanistan, Irak, dan Mindanao. Mereka lebih memilih mengamankan kekuasaan mereka. Memang sejarah telah mencatatkan para pemimpin yang membantu para mujahidin nasibnya sering berakhir tragis, seperti yang dialami Raja Faishal dari Arab Saudi dan Jenderal Zia Ul Haq dari Pakistan. Tapi itulah resiko perjuangan. Bila tidak ada pengorbanan tidak akan ada kemenangan. Para mujahid pasti sudah siap dengan kematian, karena kematian bisa menjadi jalan kemenangan bagi mereka. 

Cinta Dunia dan Takut Mati 
Awal abad ke 16 adalah titik nadir umat Islam Andalusia. Mereka sedang bersiap diri menghadapi keruntuhan, sebuah keruntuhan yang dicatat dalam sejarah. Sebuah keruntuhan yang mengundang kepiluan dan kesedihan yang mendalam. Selama delapan abad lamanya mereka berkuasa di Andalusia dan mendirikan sebuah peradaban yang besar; peradaban ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Peradaban yang mengantarkan mereka menjadi kerajaan paling digdaya di seantero dunia saat itu. 

Bukanlah kekalahan dan kemenangan itu terjadi karena pihak luar, tetapi terjadi pada umat Islam itu sendiri, dengan izin Allah tentunya. Sebagaimana firman Allah Swt., "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga ia mengubahnya sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)

Pada saat itu kerajaan Islam Andalusia sudah tercabik-cabik menjadi kerajaan-kerajaan kecil (di dalam buku ini tertulis menjadi 23 kerajaan kecil). Masing-masing anggota kerajaan ingin memiliki kekuasaan. Mereka saling tikam antara satu dengan yang lain. Raja atau sultan silih berganti berkuasa. Anak membunuh ayahnya, keponakan membunuh pamannya tampaknya sudah menjadi lumrah pada saat itu. Bahkan yang paling buruk adalah anggota kerajaan itu meminta tolong Raja-Raja Kristen untuk membantu mereka menyingkirkan orang-orang yang menurut mereka menghalangi ambisi mereka dalam meraih kekuasaan. Tentu saja setiap bantuan yang diberikan harus dengan imbalan yang memadai. Dan imbalan itu nyatanya sangat besar jumlahnya. Terus saja seperti ini kejadiannya. Dengan sendirinya Raja-Raja Kristen menjadi mudah mengadu domba atas sesama anggota kerajaan Islam Andalusia. Daerah kekuasaan Islam Andalusia sedikit demi sedikit digrogoti oleh Kerajaan Kristen. 

Fakta lain, pasti ada saja muncul pahlawan-pahlawan yang menyerukan perang suci menghadapi kaum kufar. Mereka menyerukan kepada kaum muslimin Andalusia untuk bangkit menghadapi pasukan Kristen. Ada saatnya mereka menang, tapi seringkali mereka kalah. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan pihak kerajaan terhadap aksi mereka. Mereka berjuang secara sporadis dengan jumlah personel terbatas walaupun sangat mematikan. Salah satu di antara para pahlawan itu adalah Jenderal Musa bin Abi Ghassan. Kata-katanya yang paling terkenal, "Mati syahid di bawah reruntuhan pagar Granada lebih mulia daripada hidup di bawah penindasan." Tetapi suara yang mendominasi saat itu menghendaki Granada diserahkan kepada musuh. Tetapi Musa bin Abi Ghassan tidak setuju. Ia berteriak dan berkata, "Kita lebih baik menyebutkan siapa-siapa saja yang menghendaki perjuangan mempertahankan Granada dan siapa yang menghendaki penyerahannya ke tangan musuh." Namun sayang, tidak ada seorang pun yang mendengarkan dan mendukungnya.

Akhirnya, dia pergi meninggalkan majelis kerajaan dan menunggang kudanya meninggalkan Granada yang merupakan benteng paling utama dari Kerajaan Islam Andalusia. Hingga suatu saat dia bertemu dengan sekelompok pasukan Kristen, ia langsung menyerang dengan ganas menggunakan pisau dan pedangnya. Namun, tentara musuh semakin banyak yang mengepungnya. Dan ketika hendak ditawan, ia mengambil inisiatif untuk menyeburkan dirinya ke dalam laut.

Sementara itu, Raja Abu Abdillah bersegera menyerahkan Granada ke kerajaan Kristen Spanyol. Salah satu dari dua orang yang menjadi negosiator penyerahan Granada ke tangan kerajaan Kristen adalah Ibnu Kamasyah, seorang menteri yang murtad. Ia memeluk agama Kristen setelah penyerahan, bahkan menjadi seorang pendeta besar.

Bukan hanya menteri yang murtad, banyak dari keluarga kerajaan dan pemuka kaum yang murtad. Mereka memeluk Kristen setelah Granada diserahkan kepada Kerajaan Kristen, antara lain: Dua orang pangeran, yakni Sa'ad dan Nasr bin Sultan Abil Hasan, ibunya yang bernama Mahma, Pangeran Yahya An-Niyar, anak paman Raja Abu Abdillah bin Zaghl dan Panglima Mariya bersama anak dan istrinya. Nama-nama mereka diganti dengan nama-nama Kristen.

Demikianlah Andalusia tenggelam karena ruh Islam yang ada dalam jiwa mengalami kematian, sehingga kerusakan pun merajalela. Hal itu diperburuk dengan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang muslim. 

Memudarnya Peran Ulama 
Lantas, di manakah para ulamanya? Buku ini tidak membahasnya secara khusus kecuali sekelebat-sekelebat. Padahal poin ini sangat penting untuk dibahas karena para ulama pada hakikatnya memiliki peran yang sentral di tengah masyarakat. Dengan resolusi jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy'ari contohnya, memotivasi umat Islam di Indonesia untuk melawan penjajahan. Tapi setidaknya saya mendapatkan gambaran secara umum dari buku ini. Yaitu betapa lemahnya peran dan pengaruh ulama pada saat itu. Karena faktanya majelis kerajaan juga diisi oleh banyak ulama, misalnya di dalamnya ada seorang Qadhi atau Mufti. Tapi mengapa mereka seolah diam, bahkan larut dalam pemikiran Raja yang penuh kelemahan, cinta dunia dan takut mati?

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peradaban Islam di Andalusia? Pertama, keadaan umat Islam saat ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan keadaan umat Islam di Andalusia pada saat itu. Jadi, janganlah berputus asa! Harapan atas kebangkitan itu selalu ada. Kedua, persatuan, tarbiyah, dan ulama harus menjadi perhatian serius bagi umat yang ingin meraih kejayaannya kembali. Ketiganya adalah kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ketiganya adalah pilar-pilar bagi kebangkitan umat Islam. Ketiga, kebangkitan dan keruntuhan adalah bagian dari Sunnatullah. Allah pergilirkan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki. Kebangkitan setelah keruntuhan bukanlah mustahil terjadi. Umat Islam dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa keruntuhan Andalusia agar dapat meraih kejayaan di masa yang akan datang.