Rabu, 11 September 2013

Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda
Undergraduate Theses from jtptiain / 2013-05-16 13:41:15
Oleh : ARIEF MUTHOFIFIN (0 3 2 1 1 1 1 3 9), Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Dibuat : 2009-06-07, dengan 0 file

Keyword : Christiaan Snouck Hurgronje, Arsitek Perdata, Kolonialistik, Hindia Belanda
Hampir semua peneliti hanya menempatkan Christiaan Snouck Hurgronje, Ph.D. (1857-1936) sebagai peletak dasar Politik Islam (Islam Politeik) di Hindia Belanda. Luput dari bacaan mereka tentang peran besarnya sebagai seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik Hindia Belanda. Sejak penugasannya di Hindia Belanda sebagai agen intelejen Negeri Belanda (1889-1936), dia merubah nalar manual kolonial-penguasaan fisik dan intimidasi-menjadi mengendalikan sistem kekeluargaan Pribumi. Di sinilah hal terpenting baginya daripada permainan politik kolonial yang sedang diterapkan Pemerintah Jajahan Hindia Belanda di Nusantara. Karena sistem keluarga sesungguhnya merupakan sebetul-betulnya pusat dari kekuatan rakyat, konsolidasi pemberontakan, dan sinergi antar golongan yang tak terbatas agama, ras, dan kepercayaan, untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di Negara Maritim ini. Selain itu, penguasaan terhadap sistem keluarga Pribumi adalah cara kolonial yang lebih halus, matang, terencana, dan tidak seresisten angkatan bersenjata. Oleh karena itu, sebagai penasehat dalam urusan agama pada pemerintah Hindia Belanda, dia mengoperasikan pemikiran-pemikirannya sebagai strategi baru melumpuhkan kekuatan Islam Pribumi. Pertama, membuat konsepsi teoritik (landasan ideal) tentang teori resepsi; melumpuhkan hukum Islam dengan mempertentangkan dengan hukum adat. Selanjutnya, hukum adat akan dimatikan. Kedua, pernikahan sesuai syari'at yang sah dirubah hukumnya menjadi tidak sah ketika tidak dicatat oleh pegawai penyelenggaran pernikahan dari pemerintah jajahan. Pencatatan pernikahan dipakai sebagai alat untuk mengawasi sistem inti dari konsolidasi masyarakat Islam. Ketiga, penghulu diangkat sebagai pegawai kolonial yang digaji pemerintah pusat untuk tugas mata-mata. Yakni, memberi informasi tentang pergerakan pribumi, penggunaan kas-kas masjid untuk jihad, selain tugas formal sebagai penyelenggara pernikahan. Keempat, watak kolonial dalam sistem keluarga yang coba diciptakan olehnya adalah kesimpulan atas 'keilmiahannya' bahwa mustahil hukum waris adat dan hukum waris Islam untuk damai. Artinya, hukum Islam harus tunduk atas kemenangan hudup adat. 'Keilmiahan' kolonial ini hanya khayalan. Nyatanya dua sistem hukum itu mampu berdamai seperti di Minangkabau. Kelima, pernikahan yang harus dan harus monogami tidak jauh-jauh dari suatu episode perpanjangan kolonialisme. Karena dengan monogami, Jawa terutama, bisa jadi modern (maju) dalam pengertian kolonial. Yaitu, sesuai dengan sistem hukum Protestan yang menghendaki pernikahan harus monogami saja. Menutup kemungkinan lain ketika tidak hanya monogami. Penelusuran terhadap pemikiran-pemikirannya mengantarkan kita pada fakta bahwa Indonesia (modern) merupakan sampahnya hukum Eropa yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje. Maksudnya, Indonesia belum merdeka dalam sistem hukum. Selain juga tidak memiliki jati diri (anomi) dalam hukum. Kata Kunci: Christiaan Snouck Hurgronje, Sistem Keluarga Islam, Modernisme, Liberalisme, dan Kolonialisme.