Jumat, 13 September 2013

Mewaspadai Tipu Daya Kemenangan

| 8 Oktober 2012 | 0 Comments
  • digg
  •  7Share

(inet)
(Spirit Islam) - Dari Abdullah bin Amr ‘Ash, Rasulullah saw, bertanya kepada para shahabat, “Jika Persia dan Romawi telah berhasil ditaklukkan untuk kalian, bagaimana keadaan kalian ketika itu?” Abdurrahman bin ‘Auf menjawab: Kami akan bersikap seperti yang diperintahkan oleh Allah. Rasul menyanggah, “Atau, tidak akan begitu! Kalian akan berlomba-lomba dan bersaing, kemudian kalian akan saling hasad, selanjutnya kalian akan saling membelakangi dan kemudian kalian akan saling membenci.”
Hadis ini shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya bab “zuhud dan raqaiq” (kelembutan jiwa), hadis no. 7616.
Petikan kisah di hadits ini adalah dialog visioner tentang peradaban. Nabi saw, mengejutkan para sahabatnya dengan sebuah pertanyaan yang tidak biasa. Mengejutkan sekali. Dan memang tidak biasa.
Hadis ini mengandung dua hal yang bertolak belakang sekaligus; kabar gembira dan peringatan. Cara penyampaian Nabi yang unik ini, sesungguhnya menyimpan sebuah rasa rahmat hati beliau untuk umat ini. Nabi ingin agar umat beriman ini hidup dengan optimisme. Sekaligus merupakan kebiasaan para pemimpin shalih, mempercepat kabar gembira yang pasti akan terjadi. Agar masyarakatnya senang saat belum menang sekalipun.
Rahmat Nabi saw, juga tersirat kuat pada peringatan dalam hadis ini. Karena ternyata peringatan tersebut berujung pada kehancuran umat ini dari dalam untuk kemudian membuat musuh terlihat kuat kembali. Nabi saw, ingin agar umat ini berhati-hati, sehingga kemenangan dan kebahagiaan tidak pergi dan sirna.
Kabar gembira yang disampaikan Nabi dengan pertanyaan itu sungguh sebuah kabar besar. Karena Persia dan Romawi belum lagi disentuh oleh Nabi. Nabi sendiri baru berdakwah kepada mereka pada tahun 7 H, itupun baru melalui sepucuk surat. Artinya sekitar 4 tahun menjelang beliau wafat. Baru pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, Allah menyempurnakan kemenangan umat Islam terhadap Persia dan Romawi.
Para shahabat yang saat itu bersama Nabi saw, tidak menyanggah sama sekali pengandaian Nabi saw. Sikap mereka itu seharusnya menjadi sikap umat Islam hari ini. Apapun keadaan kita hari ini. Saat Nabi saw, telah menyampaikan kabar gembiranya, maka seharusnya kita sambut dengan senang dan yakin. Tidak ada sanggahan seperti para sahabat saat itu. Dan ternyata memang tidak ada yang meleset dari yang disampaikan dengan wahyu. Terjadi, persis seperti disampaikan. Persia dan Romawi, dua imperium adidaya takluk di tangan umat Islam.
Janji-janji nubuwwah akan kebesaran umat ini banyak dijumpai untuk umat beriman di akhir zaman ini. Tentang akan runtuhnya kezaliman hari ini dan berdirinya kembali khilafah di atas manhaj nubuwwah, umpamanya disampaikan tegas oleh hadis shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. Dan pasti akan terbukti!
Adapun peringatan Nabi saw, pada hadis tentang kebesaran ini bukan untuk memangkas harapan yang muncul. Juga bukan untuk menakut-nakuti. Tetapi sesungguhnya Nabi saw, sedang menyiapkan para shahabatnya untuk menghadapi dan menyikapi kebesaran. Karena bukan saja kesulitan yang bisa memporak-porandakan, tetapi ternyata kebesaran dan kemenangan juga bisa berdampak sama bahkan bisa lebih buruk. Salah jika dikatakan bahwa kebesaran dan kekayaan tidak perlu persiapan. Ini bukti bahwa pada saat harus mempersiapkan diri menghadapi ujian kesulitan, Nabi melengkapi tarbiyah persiapan untuk menghadapi ujian kemudahan.
Nabi menyampaikan 4 peringatan dari konsekuensi kekuasaan dan harta yang melimpah di kalangan Muslimin. Sekagi lagi, ini tidak sedang memerangi kekayaan. Tapi Islam ingin umatnya selamat saat mereka nanti kaya. Karena kalau umat ini akan kaya, itu pasti.
Hal pertama yang mesti diwaspadai saat kekuasaan digenggam umat adalah Tanafus, saling berlomba dan bersaing untuk mendapatkan harta. Menurut Imam Nawawi yang menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa tanafus adalah bersaing untuk mendapatkan dan tidak suka jika orang lain yang mendapatkannya.
Seperti layaknya sebuah perlombaan dan persaingan. Masing-masing harus sampai pada finish pertama. Nomor dua pun tidak mau, apalagi berada di buntut. Yang penting di urutan pertama. Dan kalau ternyata ada orang lain yang lebih dulu mendapatkannya, ada rasa kecewa.
Tanafus adalah ekses pertama dari keberadaan kekayaan dan kekuasaan di tubuh Muslimin. Tanafus merupakan awal dari kerenggangan ukhuwah. Tanafus pun bisa menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan syariat yang selama ini sudah mendarah daging dan menjadi pakem.
Tidak hanya sekali, Nabi saw, mengingatkan bahaya harta yang selalu diawali dengan tanafus.
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan terjadi pada kalian. Tetapi aku takut jika dunia ini digelar di hadapan kalian. Sebagaimana telah dimudahkan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian akan saling berlomba sebagaimana mereka dahulu berlomba untuk mendapatkannya. Dan dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka dahulu dihancurkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tanafus adalah bibit hasad, jelas Imam Nawawi.
Penyakit selanjutnya yang perlu dihindari adalah Tahasud, saling hasad, iri dan dengki. Ketika bibit tanafus itu telah tersemai, perlahan akan membesar dan meninggi. Saling hasad terjadi. Hasad menurut para ulama lebih dari sekadar iri. Karena hasad itu adalah iri yang memunculkan keinginan untuk menghilangkan kenikmatan dari orang lain.
Berbagai upaya dilakukan, dengan berbagai macam dalih dan legalitas, agar kenikmatan yang ada pada saudaranya hilang. Penjegalan dan penggangguan pada orang lain yang diyakini akan mendapatkan harta dilakukan. Benar, ini adalah kelanjutan dari tanafus yang selalu ingin menang dalam masalah harta.
Jika hasad telah terjadi, maka sudah semakin dekat kehancurannya. Karena menurut Ibnu Qayyim, hasad adalah dosa pertama yang terjadi di langit dan di bumi. Dan karenanya, kerusakan itu terjadi. Di langit, Iblis yang dikuasai hasad karena kenikmatan yang didapat Adam, maka dia berbuat berusaha menyesatkan Adam dan akhirnya semua dihukum oleh Allah dikeluarkan dari kenikmatan besar itu. Dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi, hasad yang mengawalinya. Di bumi, dua anak Adam yang disebutkan kisahnya dalam Al-Qur’an saling membunuh. Penghilangan nyawa saudara sendiri terjadi ketika hasad atas kenikmatan yang didapat oleh orang lain tidak didapatkannya.
Hal ketiga yang tak kalah berbahayanya adalah tadaabur, saling membelakangi, tidak tegur sama dan sejenisnya. Kata tadaabur di ambil dari kata dubur yang artinya bagian belakang. Saling membelakangi bisa bermakna fisik. Malas untuk berjumpa. Apalagi mengucap salam, tegur sapa, berjabat tangan erat, memeluk dengan penuh kasih dan menasehati dengan penuh keikhlasan. Menurut Imam Nawawi, tadaabur mungkin masih menyisakan sedikit rasa kasih sayang, tapi hampir tak bisa dirasa. Ini sebuah penggambaran suasana komunikasi yang sudah tidak sehat dan harmonis. Fase ini, adalah fase kritis menjelang fase terakhir yang akan segera menutup semua kisah indah persaudaraan dan dongeng perjuangan.
Titik paling krusial dan berbahaya adalah tabaghudh, saling membenci. Jika sudah saling membenci, musuh bisa lebih disukai dari pada saudara seperjuangan, sesama muslim bahkan saudara sekandung. Saling benci ini akan menjadi antiklimaks dari semua perjalanan indah dan kisah mengharubiru kebersamaan, perjuangan dan kemenangan.
Pertanyaan awal Nabi tentang kemenangan menaklukkan dunia, berujung pada kekalahan. Kekalahan internal. Melemah dan terus melemah. Inilah kehancuran dan kekalahan itu. Semuanya berawal dari harta kekayaan, kemewahan, kekuasaan, jabatan dan fasilititas duniawi lainnya.  (Budi Ashari Lc, Peneliti Hadits dan Sejarah)
Tags:
Category: PENCERAHAN JIWA
- See more at: http://spiritislam.net/index.php/2012/10/08/mewaspadai-tipu-daya-kemenangan/#sthash.EjE4aeYC.dpuf