Rabu, 11 September 2013

PRANG ATJEH
ACEH TIDAK PERNAH MENYERAHKAN KEDAULATANNYA KEPADA PENJAJAH DALAM BENTUK APA PUN MAKA DARI TAHUN 1873 HINGGA BERAKHIRNYA KEKUASAAN BELANDA DI TANAH AIR TAHUN 1942 ANTARA ACEH DAN BELANDA TETAP DALAM KEADAAN PERANG.

Perang Atjeh merupakan perang terpanjang yang dilakukan kekuatan kape-kape Barat (Portugis hingga Belanda) terhadap rakyat Aceh yang tidak pernah dimenangkannya secara mutlak. Uniknya, walau Aceh bersendikan Kitabullah, namun dalam perjalanan sejarahnya, negeri besar ini memiliki empat Sultanah (Sultan Perempuan) dari 31 Sultan yang pernah memimpin kerajaan tersebut. Selain Sultanah, perempuan-perempuan Aceh juga tampil sebagai pemimpin masyarakat bahkan panglima perang, seperti Laksamana Malahayati; Cut Nyak Din; Teungku Fakinah, ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan memerangi Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran; Cut Meutia, yang selama 20 tahun memimpin gerilya dalam belukar hutan Pase dan menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda; Pocut Baren, pemimpin gerilya yang sangat berani memerangi Belanda (1898-1906); Pocut Meurah Intan alias Pocut Biheu, bersama anak-anaknya Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin memimpin gerilya di hutan memerangi Belanda hingga tertawan setelah terluka parah (1904); Cutpo Fatimah, sahabat Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya, Tgk. Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Salah seorang pemimpin gerilya Aceh, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh "Resimen Pocut Baren", bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal dalam tiap pertempuran tidak pernah mundur atau pun melarikan diri. Mereka pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.
Disebabkan ruang gerak perempuan Aceh yang amat luas, tiada beda dengan lelakinya, hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis, "Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka. SALAH SATU PEJUANG PEREMPUAN LEGENDARISACEH IALAH CUT NYAK DIEN, ISTRI DARI TEUKU UMAR. BERTAHUN-TAHUN SETELAH SUAMINYA SYAHID CUT NYAK DIEN MENERUSKAN PERJUANGAN WALAU TINGGAL SEORANG DIRI . IA BERTAHAN DI DALAM GUA DI HUTAN DAN MENERUSKAN PERLAWANAN WALAU DIRINYA SUDAH BUTA DAN HANYA DITEMANI 4-5 PEJUANG PEREMPUAN ACEH.
SEORANG PENGAWALNYA TIDAK DAPAT MENAHAN KESEDIHAN MENYAKSIKAN PENDERITAAN YANG DIPIKUL CUT NYAK DIEN YANG TABAH. DIDORONG PERASAAN KASIHAN DAN MELIHAT KEMUNGKINAN PERANG SUDAH SULIT DIMENANGKAN KARENA KEKUATAN TIDAK LAGI IMBANG, MAKA IA KELUAR DARI HUTAN DAN MEMBERITAHU SERDADU MARSOSE BELANDA TEMPAT PERSEMBUNYIANNYA ITU. BELANDA SEGERA MASUK HUTAN DAN MENDAPATI CUT NYAK DIEN YANG SUDAH TUA MATANYA BUTA, DAN BADANNYA RINGKIH KARENA KURANG MAKAN. TATKALA OPSIR BELANDA HENDAK MEMAPAH PEREMPUAN PERKASA ITU SRIKANDI ACEH ITU DENGAN TEGAS BERKATA, “BEK KAMAT KE KAPEH CELAKA!” (JANGAN PEGANG TANGANKU, KAFIR CELAKA!”). Dengan tertatih dan berkali-kali tersandung dan jatuh, Cut Nyak Dien bersikerasjoerjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.
Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum HAMKA yang menulis: "Pikirkanlah dengan dalam! BETAPA JAUH PERBEDAAN LATAR BELAKANG WANITA ACEH 358 TAHUN YANG LALU ITU DENGAN PERJUANGAN WANITA ZAMAN SEKARANG. MEREKA ITU DIDORONG OLEH SEMANGAT JIHAD DAN SYAHID KARENA INGIN BERSAMA MENEGAKKAN AGAMA ALLAH DENGAN KAUM LAKI-LAKI, JAUH DARI PADA ARTI YANG DAPAT KITA AMBIL DARI GERAKAN EMANSIPASI WANITA ATAU FEMINISME ZAMAN MODERN SEKARANG INI”
Dr. MR. T. H. Moehammad Hasan dalam biografinya mengutip pengakuan HC. Zentgraaf, perwira Belanda yang bertugas di Aceh, yang menyatakan, "Orang Aceh, baik pria maupun wanita, telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang tidak kurang satrianya daripada bangsa lain: mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita."
Awal Perang Kolonial Belanda di Aceh
Tahun 1641 Malaka jatuh ke tangan Belanda dari hegemoni Portugis. Seperti halnya pendahulunya, Belanda juga bernafsu menaklukkan Aceh. Langkah pertama adalah dengan mejakukan kegiatan spionase, adu domba antara kubu bangsawan (uleebalang) dan ulama, serta infiltrasi. Berkali-kali upaya ini menemui kegagalan dan nyaris membuat Belanda putus asa.
Di akhir 1872, Belanda mempersiapkan armada perangnya besar-besaran guna menyerang Aceh. Sultan Mahmud, Raja Aceh Darussalam, mencium hal itu dan segera membangun garis pertahanan di sepanjang Aceh Besar. Garis pertahanan ini disebut Kuta, seperti Kuta Meugat, Kuta Pohoma, Kuta Mosapi, dan sebagainya.8 Di sepanjang garis pertahanan tersebut, ditempatkan tentara dengan persenjataan yang kuat. Mulut-mulut meriam berbaris di bukit-bukit karang dan pantai mengarah ke tengah laut menanti kedatangan invasi Belanda.
Pada 18 Februari 1873, Menteri Tanah Jajahan Van De Putte secara rahasia memberi lampu hijau kepada Gubernur Jenderal Lauden yang ada di Batavia agar bergerak ke Aceh. Sejarahwan Anthony Reid dalam disertasi program doktoralnya di Cambridge University yang meneliti hubungan antara Aceh, Belanda, dan Inggris dalam kaitannya dengan perang kolonial tahun 1858-18989 melukiskan hari-hari menjelang dimulainya perang kolonial Belanda atas Aceh. Reid menulis bahwa Gubernur Jenderal Lauden pada 4 Maret 1873 mengirim ultimatum agar dalam waktu 24 jam Aceh mengakui kedaulatan Belanda. Jika menolak berarti perang.
Lauden dengan geram berkata: "Kebijakan Aceh yang membingungkan mengenai Pemerintah Belanda harus diakhiri. Negeri itu tetap merupakan titik lemah kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama negeri itu tidak mengakui kedaulatan kita, campur tangan asing akan terus mengancam kita seperti pedang Damocles... Tanpa pamer kekuatan militer ini sudah pasti bahwa Aceh akan terus membiarkan persoalan itu terkatung-katung, dengan harapan akan ada campur tangan asing... Aceh sudah keterlaluan."
Commissioner J. F. N. Nieuwenhuyzen, utusan Lauden, tiba di Aceh pada 22 Maret. Sultan Mahmud malah naik ke atas kapal Belanda dan menemuinya. Dengan penuh diplomatis, sultan tersebut menjawab jika Aceh sebenarnya ingin hidup berdampingan dengan Belanda secara damai. Sultan Mahmud malah bertanya kepada utusan Lauden itu mengapa begitu cepat datang ke Aceh, padahal menurut perjanjian dengan wakil Belanda di Riau, Aceh dan Batavia sepakat bahwa kunjungan utusan Belanda diundur hingga enam bulan ke belakang. Sultan Mahmud melarang Nieuwenhuyzen turun ke darat tanpa seizinnya. Utusan Belanda itu pun frustasi dibuatnya.
Sabtu dini hari, 8 April 1873, langit masih gelap gulita. Air laut masih tampak kelabu. Di tengah Selat Malaka, bayang-bayang puluhan kapal perang Belanda tampak beriringan menuju satu titik, Aceh Darussalam. Di pagi buta itu, Belanda telah mantap untuk menyerang Aceh. Dalam hitungan Reid, lebih dari 30.000 serdadu Belanda mendarat di pantai Aceh. Belanda mengira, dengan serangan mendadak, didukung bombardemen artileri dari mulut-mulut meriam yang ada di kapal-kapal perangnya, pesisir Aceh bisa dengan mudah direbut. Setelah pesisir dikuasai, maka pasukan infanteri akan langsung menusuk ke daerah pedalaman. Berbekal informasi dari pasukan telik sandi yang telah disusupkan sebelumnya, Belanda amat yakin dapat menaklukkan seluruh tanah Aceh dalam waktu yang singkat. Dengan besar kepala, Belanda mengira bisa memenangkan perang dengan mudah.
Belanda agaknya khilaf dan lupa jika kekuatan rakyat Aceh sebenarnya bukan terletak pada keunggulan persenjataan, bukan pada strategi yang muluk-muluk, dan bukan terletak pada kecintaan akan kehidupan duniawi, melainkan akidah tauhid. Belanda melupakan pengalaman pahit Portugis. Menghadapi puluhan ribu tentara Belanda, mujahidin Aceh sama sekali tidak gentar. Para ulama mengeluarkan fatwa. Jihad fi sabilillah melawan tentara kafir. Perang sabil pun dikumandangkan. Berbondong-bondong rakyat Aceh dengan persenjataan seadanya menyongsong tentara salib Belanda dengan keberanian yang luar biasa. Mereka menyambut maut dengan senyum dan penuh pengharapan. Tidak hanya laki-laki, para perempuan Aceh pun segera mengambil rencong dan menyisipkan ke pinggangnya. Dengan tangan kiri menggendong sang jabang bayi, para perempuan Aceh ini segera berlari masuk hutan guna menyusun kekuatan. Semangat jihad fi sabilillah yang demikian berurat-berakar dalam dada setiap orang Aceh membuatnya sangat enteng meninggalkan rumah dengan segala harta bendanya untuk pergi berperang menyongsong musuh Allah.
Di kala malam tiba, sambil terus bersiaga di dalam gua-gua yang gelap gulita, para perempuan Aceh nan perkasa ini meninabobokan jabang bayinya dengan senandung "Dododaidi". Senandung jihad itu meluncur pelan dari bibir-bibir yang kerap berpuasa dengan iringan musik desahan angin serta gemerisik dedaunan hutan:
Allah hai dododaidang
Buah gadung buah-buahan dari hutan
kalau sinyak besar nanti, Ibu tidak bisa memberi apa-apa
aib dan keji dikatakan orang-orang

Allah hai dododaidang
Layang-layang di sawah putus talinya
cepatlah besar Anakku sayang dan jadilah seorang pemuda yang gagah
agar bisa berangkat perang membela Nanggroe

Wahai anakku, janganlah kau duduk berdiam diri lagi 
mari bangkit bersama membela bangsa 
janganlah takut jika darah mengalir 
walaupun engkau mati Nak, Ibu sudah relakan

Ayo sini Nak Ibu tatih, kemarilah Nak Ibu tatih
bangunlah anakku sayang, mari kita bela Aceh 
sudah tercium bau daun timphan
seperti bau badan Sinyak Aceh

Allah Sang Pencipta yang Punya Kehendak
jauhnya kampung tak tercapai untuk pulang
andaikan punya sayap, Ibu akan terbang 
supaya cepat sampai ke Nanggroe

Kemarilah Ibu timang-timang Nak
sayangnya ombak memecah pantai
kalau Sinyak yang berkulit putih udah besar
dimanakah engkau akan berada nanti buah hatiku.

Inilah lagu pengantar tidur bayi-bayi Aceh. Betapa mulia para perempuan Aceh itu yang telah menanamkan semangat jihad membela agama Allah kepada anaknya sejak dini, saat sang anak berjalan pun belum mampu. Anak-anak Aceh dibesarkan bukan dengan lagu-lagu yang menggambarkan keindahan alam, gemerisik dedaunan atau air terjun, bukan berisi lagu-lagu cinta dan segala kecengengannya, tetapi dengan lagu-lagu jihad fisabilillah, yang menisbikan dunia dan meninggikan akherat. Inilah bayi-bayi sejati Serambi Mekkah!
Menghadapi gempuran barisan Mujahidin Aceh, Belanda kehilangan banyak tentaranya. Rakyat Aceh, para lelaki maupun perempuannya, pergi berperang bagaikan orang yang hendak ke pesta walimahan, bergegas, begitu bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa gentar. Begitu banyak tentara Belanda yang tertawan, namun amatlah langka rakyat Aceh yang sudi menjadi tawanan kaum kafir. Di mana-mana, walau telah kepayahan, Mujahidin Aceh tidak sudi untuk menyerah hidup-hidup kepada musuh. Mereka terus menyerang Belanda sampai titik darah penghabisan karena tujuan mereka hanya satu: hidup mulia atau mati syahid.
Tidak sampai tiga pekan setelah mendarat di pantai Aceh pada 8 April 1873 itu, tentara Belanda kabur meninggalkan Aceh. Jenderal Kohler, panglima Belanda, tertembak sniper Aceh tepat di depan Masjid Raya Baiturahman, sejumlah perwiranya juga tewas terbunuh. Jika tak cepat mundur, kerugian di pihak Belanda akan jauh lebih besar lagi.
Anthony Reid menulis: Enam bulan selanjutnya penuh ketegangan bagi pemerintah
Hindia Belanda dan menggelorakan semangat bagi beberapa orang Indonesia yang mulai yakin bahwa "tuan-tuan" mereka orang Eropa bukanlah orang yang tidak terkalahkan. Dan peristiwa-peristiwa dramatis ini membawa Aceh ke pentas pemberitaan di Eropa.
Mujahidin Aceh tidak lengah. Mereka yakin, Belanda akan datang kembali dalam jumlah yang lebih besar. Dari pedalaman, dari berbagai dayah dan meunasah, dari gunung dan hutan, ratusan ribu lelaki dan perempuan Aceh lengkap dengan aneka senjata mengalir menuju ibukota, Banda Aceh, yang diperkirakan akan kembali menjadi target serangan Belanda. Para ulama menjadi panglima perang. Semangat jihad ini membuat banyak kampung nyaris kosong. Di pesisir Barat di utara Meulaboh, setengah penduduknya berangkat ke Banda Aceh. Jumlah yang lebih besar berasal dari Aceh Besar, yang dipimpin oleh Panglima Polem di Mukim XXII. Reid mencatat, jumlah yang dari Aceh Besar itu berkisar antara 10.000 sampai 100.000 prajurit.
Kota Banda Aceh dipenuhi ratusan ribu Mujahidin Aceh. Panji syahadat berkibar di mana-mana ditiup angin laut. Tenda-tenda besar didirikan di seluruh kota hingga ke pantai. Pucuk-pucuk meriam kembali di arahkan ke laut. Secara bergiliran, di sekitar perairan Aceh, kapal-kapal kecil Aceh nan lincah terus berpatroli. Dari atas gunung dan bukit yang tinggi, pasukan pengintai tampak terus berjaga mengawasi garis cakrawala di laut. Setiap azan bergenia dari kubah Masjid Raya Baiturahman, secara bergantian para Mujahidin Aceh itu melakukan sholat berjamaah. Setiap usai sholat berjamaah dan juga saat sholat Jum'at, para khotib yang berdiri di mimbar dengan penuh semangat terus menggelorakan jihad fi sabilillah. Berbagai sirah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada saat perang pun dipaparkan. Semua itu membuat semangat jihad rakyat Aceh kian membara. Mujahidin Aceh yakin, pintu surga tengah dibuka lebar-lebar untuk mereka.
Mujahidin Aceh ternyata tidak hanya mengalir dari daerah pedalaman, namun juga dari luar Nusantara. Anthony Reid menyebutkan, beberapa Muslim Eropa dan Amerika juga datang ke Aceh untuk mempertahankan Serambi Mekkah ini dari invasi salib Belanda. Di antara mereka adalah: Luhrig, seorang Muslim Jerman, lalu F. J. Sheppard, seorang Muslim Amerika yang telah pergi haji, dan Thomas Carr, juga Muslim Amerika.
Dari Singapura, dua perwira artileri Turki menyeberang ke Aceh.17 Bahkan setelah Belanda menyerang Aceh untuk yang kedua kali, November 1873, beberapa serdadu Belanda yang berasal dari para kriminal dan sampah masyarakat di Eropa, pada tahun 1879 melakukan desersi dan menyeberang membantu perjuangan rakyat Aceh. Kuat dugaan, desertir Belanda ini telah bersyahadat sebelum berjuang bersama-sama para Mujahidin.
Solidaritas terhadap Aceh juga datang dari para pedagang Arab yang kaya dan memiliki jaringan niaga dengan Muslim Asia. Mereka yang berada di Singapura menjadi panitia pengumpulan dana dan mengontak para relasinya di seluruh Asia dan juga Nusantara untuk menggalang dana bagi Aceh. Laporan mata-mata Belanda menyebutkan, "Dana dalam jumlah yang besar sekali " untuk membantu Aceh telah terkumpul dalam waktu singkat. Dari Jawa dan Singapura saja telah terkumpul dana hibah sebesar satu juta Dollar Straits. Pada November 1874 saja terkumpul 100.000 Dollar Straits. Di Singapura, pusat kegiatan solidaritas Aceh ada di sebuah masjid yang dirawat oleh keluarga al-Sagoff di Kampung Glam. "Semua orang Muslim yang paling fanatik berkumpul di masjid ini mendengarkan laporan pekanan mengenai Aceh dari agen-agen Sayyid Muhammad al-Sagoff, dan memanjatkan doa bersama agar Allah Subhanahu wata'ala memenangkan para Mujahidin yang tengah berjihad di Aceh," demikian laporan mata-mata Belanda kepada Read yang diteruskan kepada Van Lansberge, 2 April 1876. Doa untuk kemenangan rakyat Aceh ternyata juga dipanjatkan di hampir semua masjid di Nusantara, Johor, dan Penang.
Keluarga al-Sagoff adalah salah satu keluarga Muslim terkaya dan paling berpengaruh di Singapura. Sayyid Ahmad bin Abdurrahman As-Sagoff, sang kepala keluarga, adalah pedagang besar pemilik kapal dan dermawan Muslim. la pemilik dua kapal uap yang mengarungi jalur Jeddah-Singapura dan menyewa kapal-kapal lain sehingga menguasai pengangkutan jemaah haji di seluruh Asia Tenggara. Puteranya, Sayyid Muhammad As-Sagoff, bahkan lebih aktif lagi. Belanda yakin kedua orang ini adalah dalang dari kegiatan solidaritas Aceh di Singapura.
Masih dari Singapura, Haji Ismail bin Haji Abubakar, seorang pengusaha penginapan bagi orang-orang Jawa yang hendak naik haji ke Mekkah, menulis surat kepada ayahnya seorang penghulu di Banyumas dan juga kepada Bupati di Serang, berisi pesan bahwa Khalifah di Turki akan segera membantu Aceh dan menghimbau agar seluruh Muslim di Jawa juga aktif membantu Muslim Aceh. Haji Ismail juga menyerukan agar jemaah haji di Jawa bisa dikirimkan kepadanya agar nantinya bisa dikirimkan lagi ke Aceh bila tiba waktunya. Sultan Riau, Sultan Yogya, dan pemimpin-pemimpin Islam di banyak daerah di Nusantara juga menerima surat serupa dari berbagai tokoh Islam Asia. Bahkan surat untuk bersedia mengirim pasukan ke Aceh. Mereka semua bersepakat harus membantu Aceh menghadapi agresi Belanda. Ini merupakan salah satu gambaran betapa ukhuwah Islamiyah di zaman itu masih sungguh-sungguh terasa. Sayangnya, beberapa surat tersebut jatuh ke tangan Belanda. Namun keberhasilan Mujahidin Aceh menghalau serbuan Belanda dalam ekspedisi pertamanya itu betapa pun juga telah menjadi satu inspirasi bagi pribumi Nusantara untuk memberontak terhadap penjajah Belanda.
Enam bulan setelah kegagalan yang memalukan, November 1873, dari Batavia, Belanda kembali mengirim ekspedisi kedua untuk menyerang Aceh, dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Anthony Reid mencatat: Belanda sadar betul bahwa ekspedisi kali ini akan mendapat perlawanan lebih sengit dibandingkan dengan ekspedisi pertama. Perasaan keagamaan telah bangkit di Aceh... Banyak ulama berkhotbah bahwa perang itu jihad, kewajiban, dan hak istimewa tiap Muslim. Sebagian besar pemimpin adat kehilangan pengaruh mereka, kalah oleh pemimpm-pemimpin yang dikenal memiliki kemampuan memimpin perang atau membangkitkan semangat keagamaan.
Dalam serangan kedua, Belanda menggelar pasukan terbesar yang pernah digelar dalam satu operasi di Nusantara. Selain puluhan ribu tentara regulernya, tak kurang dari 8.500 anggota pasukan elit diturunkan, lalu 1.500 pasukan cadangan, serta 4.300 pelayan dan kuli. Seperti halnya dengan anggota pasukan Salib pertama yang direkrut dari para perampok, maling, narapidana, dan sampah masyarakat lainnya, maka tentara Belanda yang diberangkatkan ke Aceh ini juga diambil dari kalangan sampah masyarakat dari berbagai negeri Eropa. Berbagai media Eropa menyebut pasukan Belanda ini sebagai pasukan yang memiliki disiplin dan moral yang amat rendah, dan bahkan menjijikkan bagi para pengamat dari Inggris.24 General Van Swieten dipanggil kembali dari pensiunnya dengan imbalan uang yang sangat besar untuk memimpin seluruh pasukan ini.
Pada 9 Desember 1873, pasukan Belanda mendarat di Aceh di tengah hujan tembakan meriam laskar Aceh. Karena kekuatan senjata yang tidak imbang, Belanda dapat mendarat di pantai. Pada 25 Desember 1873, Belanda merayakan Natal dengan menghujani Banda Aceh dengan tembakan meriam. Inilah kasih Natal bagi Muslim Aceh.
Dengan susah payah dan menelan banyak korban, Belanda bisa merebut pusat kota. Wabah kolera yang telah berjangkit sejak di kapal Belanda kian meluas di Banda Aceh yang sengaja ditinggal para Mujahidin dalam peran gerilyanya. Pusat kota bisa dikuasai Belanda, namun tiap hari ada saja tentara Belanda yang mati karena sabotase atau serangan mendadak dari para Mujahidin. Ini membuat pejabat Belanda pusing tujuh keliling. Akhirnya Belanda menggelar sidang rahasia staten general, 16-17 Juni 1884, yang menyepakati dilakukannya strategi "Stelsel konsentrasi" di Aceh: di tiap kampung yang berhasil direbut Belanda, maka dibangun benteng dengan pagar yang tinggi dan kokoh. Dari sini Belanda bergerak terus memperluas wilayahnya, mendirikan benteng lagi, dan begitu seterusnya. Ini pun gagal. Lalu akhirnya Belanda mendatangkan Snouck Hurgronje ke Aceh pada 188925. Tugas utamanya, meneliti kekuatan dan kelemahan Muslim Aceh. Belanda akhirnya menguasai kota-kota besar Aceh, namun tidak untuk daerah pedalaman. Prang Atjeh terus berlangsung hingga Belanda hengkang dari Aceh di tahun 1942.
Dr. MR. T. H. Mohammad Hasan yang dalam memoirnya menulis, "...perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial selalu terus berlangsung. .. .Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada penjajah dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu dari tahun 1873 sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Tanah air (1942), antara Aceh dan Belanda tetap dalam keadaan perang."
1. Bahasa Aceh: Perang Aceh
2. Bahasa Aceh: Kafir.
3. Mereka adalah Sri Ratu TajulAlam Safiatuddin (1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqlatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
4. Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.lll; Jakarta; 1996; h.. 153.
5. Ibid, hal. 155.
6. DR. T. H. Mohamad Hassan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; ditulis oleh Drs. Dwi Purwoko, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
7. Ibid, hal.5.
8. DR. MR. T.H. Moehammad Hasan; Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; Pustakan Sinar Harapan; Jakarta, 1995; hal. 5.
9. Anthony Reid; Asal Muasal Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19; YOl; Cet. 1; Jakarta; Juli 2005. Judul asli adalah 'The Contest for North Sumatra Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898" diterbitkan oleh Oxford University Press 1969.
10. Surat Lauden kepada Menteri Tanah Jajahan Van de Putte tertanggal 25 Februari 1873, Officieele Bescheiden, hlm.76.
11. Ini semacam senandung untuk meninabobokan anak.
12. Sinyak adalah panggilan untuk anak kecil di Aceh.
13. Thimpan adalah kue khas Aceh.
14. Anthony Reid, ibid, hal. 104-105.
15. Ibid, hal. 118.
16. Ibid, hal. 148.
17. Hasil laporan mata-mata Read, yang ditulis dalam surat dari Read kepada Van Lansberge tertanggal 16 Maret dan 17 April 1876, dikutip Anthony Reid, hal. 149.
18. Ibid.
19. Ibid, hal. 158.
20. Surat Maier kepada Leuden, 22 November dan 14 Desember 1874.
21. Anthony Reid, ibid, hal. 159.
22. Ibid, hal.161.
23. Ibid, hal. 117.
24. London & China Telegraph, 3 Oktober 1873; The Times, 10 Oktober 1873; Harris kepada Granville, 27 Desember 1873, F.O.37/512; Kreemer I, him. 15. Dikutip dari Reid, hal. 119.
25. Lathiful Khuluq; Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, Biografi C. Snouck Hurgronje; Pustaka Pelajar; Yogya, cet. 1, 2002; hal.4.
26. DR. MR. T.H. Moehammad Hasan; ibid; hal. 9.