Minggu, 05 Januari 2014

Ada Dana Politik di Balik kenaikan Gas 12 Kg?

Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy menyatakan patut diduga ada dana politik di balik kenaikan harga gas LPG ukuran 12 Kg. “Kecurigaan ini tak bisa dihindari!” tegasnya kepada mediaumat.com, Sabtu (1/4) melalui surat elektronik.

Pasalnya, lanjut Noorsy, institusi keuangan yang diawasi dan diaudit dengan ketat saja bisa mendanai kampanye, apa...lagi industri migas yang sarat dengan rekayasa transaksi dan akuntansi. Kondisi ini yang membuat makin sulitnya publik percaya pada lembaga politik dan BUMN.

Untuk menyegarkan ingatan publik, Noorsy pun menyinggung kembali kasus suap SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini (Ketua SKK Migas), Simon Gunawan (Kernell Oil PL) dan menyeret Menteri ESDM, Sekjen ESDM dan Dirut Pertamina diperiksa KPK. Sementara beberapa pihak yang dicurigai terlibat kini tak jelas di mana keberadaannya.

“Dua alasan itulah yang membuat banyak pihak purbasangka adanya dana politik di balik kenaikan LPG 12 Kg,” ujar Noorsy.

Noorsy juga menegaskan pernyataan bahwa Pertamina merugi menjual LPG 12 Kg berdasarkan Kepmen ESDM no.26/2009 merupakan gambaran kuatnya tekad pemerintah memberlakukan mekanisme pasar bebas pada komoditas hajat hidup orang banyak, khususnya enerji termasuk gas LPG.

“Penjelasan merugi ini disebabkan Pertamina berpatokan pada harga minyak mentah dari Saudi Arabia America Company,” bebernya.

Atas patokan ini Pertamina menghitung bahwa harga pembelian LPG adalah Rp13.000/kg. Jika harga akhir di pasar untuk 12 Kg bergerak antara Rp122.500 hingga Rp145.000, Ali Mundakir, Humas Pertamina mengatakan, Pertamina masih merugi.

Padahal impor dari Saudi Arabia dan Qatar memasok kebutuhan nasional 57 persen. Kontraktor Migas Asing yang menghisap migas Indonesia memasok 31 persen, dan Pertamina hanya memasok 12-13 persen. Para KPS itu tentu mengikuti harga internasional, yang berarti patuh pada impor. Sementara Pertamina mengikuti Kepmen ESDM bhw LPG 12 kilogram mengikuti keputusan Pemerintah. Ali Mundakir menerjemahkan sebagai quasi komoditas hajat hidup orang banyak.

“Bagi kita, persoalannya justru terletak pada struktur biaya pokok produksi yang dihasilkan KPS —karena ada cost recovery— dan yang diproduk oleh Pertamina,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah soal keharusan Pertamina mendapat untung secara finansial karena UU Migas 22/2001 dan UU BUMN. Keharusan memperoleh laba ditambah dengan tidak jelasnya biaya pokok produksi dari impor dan dari KPS berujung pada kenyataan, betapa empuknya mendikte konsumen gas di Indonesia. “Jelas, ketahanan enerji Indonesia sangat rapuh,” simpul Noorsy.

Yang menarik adalah, Pemerintah melihat kebijakan Pertamina itu sebagai aksi korporasi dan merasa perlu meminta Pertamina untuk transparan. Menurut Noorsy, itu ironi, karena pemerintahlah yang menyetujui siapa KPS yang beroperasi di belahan bumi Indonesia dan memilih siapa direksi dan komisaris Pertamina.

Sebagai pelaksana kedaulatan rakyat termasuk penegak kedaulatan enerji, sikap itu sekadar memberi bukti tambahan bahwa Pemerintah menjalankan prinsip ekonomi pasar bebas walau tidak dalam keadaan mampu membangun ketahanan ekonomi, termasuk ketahanan enerji.

Dalam posisi konsumen Indonesia terdikte itu, pemerintah sendiri belanja impor Migas Rp472-475 T pertahuan. Bayangkan jika dari transaksi itu ada fee sebesar 1-2,5 persen —yang dalam bisnis memang disebut sebagai biaya transaksi.

“Dampaknya, publik pun kehilangan kebanggaan pada pemimpinnya karena kepemimpinan diraih dengan cara-cara tidak jujur. Tapi itulah mekanisme pasar bebas yang sarat dengan
informasi asimetri sebagai cikal bakal korupsi,” pungkasnya. (mediaumat.com, 5/1/2014)
Lihat Selengkapnya