Kamis, 23 Januari 2014

Jong Islamieten Bond (JIB) [3-habis]

Pesantrennya Kaum Intelektual Muda Didikan Barat

JIB adalah wadah para pemuda Muslim yang saat itu begitu haus akan Islam dan berpikiran terbuka karena pendidikan Barat

 
Pesantrennya Kaum Intelektual Muda Didikan Barat
Sejak awal pendirianya JIB memang tak bisa lepas dari jejak langkah tokoh-tokoh pergerakan Islam

Terkait



Oleh: Beggy
Bagaimana pun, JIB adalah wadah para pemuda Muslim yang saat itu begitu haus akan Islam dan berpikiran terbuka karena pendidikan Barat. Para anggota JIB juga mampu menjawab berbagai tudingan miring terhadap Islam.  Berbagai persoalan diangkat oleh anggota-anggota JIB melalui Het Licht, atau pun diskusi-diskusi, tak hanya soal kebangsaan, tapi juga seputar peranan perempuan, bunga bank, dan lain-lain. Mereka terbiasa untuk berdebat, teguh mempertahankan pendapat, tetapi tetap berhubungan baik.
Perbedaan-perbedaan pendapat itu pula yang akhirnya menimbulkan ‘perpecahan’ di JIB. Setelah mengalami masa-masa kejayaan dengan bertambahnya cabang dan anggota JIB, langkahnya mulai surut. Setelah masa-masa awal kepemimpinan Sjamsurizal, kemudian JIB mengalami masa perkembangan pesat di bawah Wiwoho Purbohadidjojo selama empat tahun (1926-29).
Bahkan  tahun 1931 JIB mampu mendirikan sekolah HIS di Tegal dan Tanah Tinggi (Batavia). Kepemimpinan Wiwoho kemudian digantikan oleh Kasman Singodimedjo hingga tahun 1935. Di masa akhir kepemimpinan Kasman, JIB mengalami pergolakan yang cukup dahsyat, badan kepanduan mereka, NATIPIJ memisahkan diri dari JIB.
NATIPIJ yang diketuai Roem merasa mereka perlu menjadi badan yang independen. Namun perpecahan yang paling besar adalah ketika Roem dan Jusuf Wibisono memutuskan keluar dari JIB dan membentuk organisasi baru bernama Studenten Islam Studieclub (SIS). Mereka merasa JIB tak mampu lagi menampung perkembangan intelektualitas mahasiswa Islam. Maka pada Desember 1934 SIS berdiri dibawah prakarsa Roem dan Jusuf Wibisono. Pada tahun kedua, SIS mengeluarkan majalah Moslime Reveil dengan motto surat Ar Ra’ad ayat 11, “Allah tidak merubah nasib sesuatu bangsa, apabila bangsa itu sendiri tidak merubahnya.”
JIB kemudian terus berlayar, walau tak mampu mengulangi prestasi di masa jayanya, dibawah nahkoda M. Arif Aini (1935-1937), Soenarejo Mangoenpoespito (1937-1942). Tinta sejarah mereka berhenti menetes ketika dibubarkan oleh pendudukan Jepang tahun 1942. Namun JIB tetap sebuah organisasi yang berkontribusi besar dalam pergerakan Islam di Indonesia. JIB adalah pesantrennya kaum intelektual muda didikan Barat yang mencintai Islam.
Buya Hamka menyebut para anggota JIB, “…yang lebih memperdalam pengertian dan amalan agama sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan hidup.”
Jejak langkah para anggota JIB kemudian tercatat dalam lembaran besar sejarah bangsa. Para anggotanya tersebar, turut meruntuhkan penjajahan, mengisi bangsa dengan jiwa Islam. Kelak banyak para anggota JIB menjadi tokoh-tokoh kunci di Masyumi, seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, M. Roem, Jusuf Wibisono dan lain-lain. Maka tidak salah jika kita menyebut JIB sebagai menjadi generasi  emas intelektual Islam di tanah air.
Kelak, ratusan dari mereka, menggerakkan jutaan umat mengarungi pergolakan negeri dalam bahtera Masyumi.
Tak heran jika Buya Hamka menyanjung jejak langkah yang ditorehkan para anggota JIB.
Menurutnya; “Intelek pejuang bekas didikan Haji A. Salim dan anggota Kernlingaam tadi, dengan sendirinya telah dapat menutup mulut kaum intelek didikan Barat, yang siang malam bermimpi bahasa belanda tadi, yang memandang Islam sebagai, ‘Islam Sontoloyo, santri gudikan atau kiyai bini banyak atau kolam masjid kotor atau Islam yang tidak bisa dipakai untuk kemajuan atau orang Islam harus menganut modernisasi, kalau perlu musti pandai berdansa’ dan sebagainya.” [HAMKA, “Pengharapan Kepada Intelektual Islam dalam Dari Hati ke Hati”, Pustaka Panjimas (2002)] .*
Penulis adalah pegiat komunitas Jejak Islam untuk Bangsa