Senin, 06 Januari 2014

Kita tidak membenci tapi kita harus waspada   

Kisah Tragis Di Balik Pembantaian Muslim Poso



Senin, 28 Mei 2007, ba’da zuhur, Aula Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta penuh sesak dipadati hadirin. Kursi yang disediakan panitia tidak muat menampung luberan peserta. Terpaksa sebagiannya harus duduk di lantai. Hari itu, FUI bersama Hizbut Tahrir Indonesia, Yayasan al-Azhar dan MUI menyelenggarakan Tablig Akbar, “Peringatan Tragedi Pembantaian Pesantren Wali Songo Poso”.
Sejumlah tokoh menyampaikan orasinya. Di antaranya, Ketua MUI KH Kholil Ridwan, Ketua DDII Zahir Khan, Ketua FUI Mashadi dan Jubir HTI HM Ismail Yusanto. Mendengarkan orasi yang disampaikan oleh para tokoh dengan penuh semangat dan menyaksikan film dokumenter pembantaian Muslim Poso tahun 2000 dan 2001, tak pelak membuat suasana forum menjadi penuh dengan aura kesedihan dan kemarahan. Hadirin makin terkesima saat mendengar kesaksian 3 korban pembantaian yang selamat: Ilham, mantan santri Wali Songo yang pesantrennya habis dibakar serta seluruh santri dan kyai di sana tewas dibunuh; serta dua janda yang suaminya juga tewas dibantai, yaitu Nur Wahyuni dan Sofiyah.
Ilham adalah satu-satunya santri Pesantren Wali Songo yang selamat sehingga ia bisa menceritakan secara persis detil peristiwa tragis itu. Ketika itu, katanya, seluruh penghuni pesantren diangkut dengan truk dan secara bergiliran, begitu turun, langsung dibunuh di tepi sungai. Bagaimana Ilham bisa selamat? Berulang dia menyebut ini adalah karunia Allah. Betapa tidak, saat dia turun dari truk, dia melihat orang-orang Kristen pambantai, yang berkerumun membawa pedang dan senapan otomatis yang sebelumnya telah memenggal leher puluhan orang, tampak bagaikan patung. Lalu, seketika turun dari truk, dia langsung meloncat ke sungai. Barulah orang-orang yang sebelumnya tampak membisu itu berteriak bahwa yang lolos. Sontak Ilham langsung dihujani tembakan dari senapan otomatis. Dia bergegas menyelam sedalam-dalamnya untuk menghindari tembakan. Tak kuat terlalu lama menyelam, ia muncul sebentar untuk ambil napas, namun ditembaki lagi. Tak terhindar, beberapa bagian tubuh terluka. Ia menyelam lagi. Dengan menahan rasa pedih dan perih di sekujur tubuh, ia terus berenang hingga selamat.
Kepentingan Politik dan Bisnis
Mengapa orang Kristen membantai Muslim Poso? Suripto SH, anggota DPR dari PKS, menyebut bahwa konflik Poso awalnya dilatarbelakangi oleh masalah kesukuan dan kecemburuan sosial; akhirnya berkembang menjadi masalah politik. Mereka, orang-orang Kristen di Poso, ingin menegakkan satu aturan, yakni aturan Kristen, khususnya di daerah Tentena, dan ingin menjadikannya sebagai ibukota dari Kabupaten Pamona Raya yang murni mereka kelola (Sabili, 30/11/06).
Keinginan untuk membentuk sebuah kabupaten khusus bagi orang Kristen juga berkait-berkelindan dengan keinginan para kapitalis domestik, juga kapitalis global melalui korporasi-korporasi raksasanya untuk menguasai kekayaan sumberdaya alam yang memang sangat melimpah di daerah itu. Sejumlah perusahaan besar bahkan sudah lama beroperasi di sana. Hal ini diungkap oleh Arianto Sangaji, Ketua Yayasan Tanah Merdeka Poso (Kompas, 12/09/06). Menurutnya, sejak pertengahan 1990-an PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, misalnya, sudah mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak-karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, yang sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso.
Pertengahan Juni 2006, Rio Tinto mengumumkan rencana penambangan nikel dekat areal kontrak karya PT Inco di Morowali. Seorang eksekutif perusahaan menyatakan akan menanam modal sebesar 1 miliar dolar AS, mempekerjakan 5.000 buruh, dan memproduksi nikel 46.000 metrik ton setiap tahun. Sang eksekutif menyatakannya setelah bertemu Wapres Jusuf Kalla (Reuter, 20/6/2006).
Di Teluk Tolo, khususnya di wilayah Kabupaten Morowali, terdapat areal joint operation body Pertamina dan Medco E & P Sulawesi untuk eksploitasi minyak. Perusahaan telah memproduksi minyak mentah dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005. Pengapalan perdana produksi minyak mentah berlangsung 12 Januari 2006, dengan mengirim 75.000 barel ke kilang Pertamina Plaju (Kompas, 13/1/2006).
PT Bukaka Hydropower Engineering & Consulting Company, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla, sejak pertengahan 2005, juga hadir di Poso. Perusahaan membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 740 MW, dengan memanfaatkan aliran Sungai Poso. PLTA ini hendak menyuplai kebutuhan industri di Sulawesi Selatan.
Bagi korporasi-korporasi raksasa, kekerasan Poso seperti blessing in disguise (berkah terselubung). Pasukan-pasukan tempur organik yang ditempatkan di sana dan sekitarnya, dengan dalih meredam kekerasan, justru “berdwifungsi” sebagai pelindung modal. Dua kompi pasukan dari TNI dan Brimob ditempatkan di Morowali, dekat wilayah konsesi PT Inco, Rio Tinto, Pertamina dan Medco, dan perkebunan sawit milik Guthrie, Malaysia. Lokasi proyek PLTA Poso terletak persis di antara Markas Yonif 714/Sintuwu Maroso dan markas kompi senapan C Yonif tersebut, dalam jarak antarmarkas sekitar 70 kilometer.
Selama ini publik hanya melihat kekerasan berdarah di sana, tanpa perhatian terhadap konflik-konflik struktural menyusul kehadiran korporasi-korporasi raksasa. Isu kekerasan struktural, karena pengambilan lahan petani secara paksa atau setengah paksa, tenggelam oleh kasus-kasus penembakan, peledakan bom, pembunuhan, dan pembakaran. Padahal modal leluasa bergerak ke Poso karena tersedianya “jalan tol”, yakni kekerasan bermasker konflik horisontal.
Tentu, ini bukan saja khas Poso. Bercermin dari Aceh dan Papua, kekerasan juga duduk berdampingan dengan ekspansi modal. Poso merupakan bagian kecil dari gambar besar hubungan antara konflik horisontal, kepentingan politik dan ekspansi modal.
Jadi, siapa yang bakal paling menikmati gurihnya kekayaan sumberdaya alam di kawasan Poso? Tentu pemilik korporasi besar itu. Berikutnya adalah orang-orang Kristen. Jika pengusiran dan pembantaian Muslim itu berhasil mengubah peta demografi dari yang semula daerah itu dihuni oleh mayoritas Muslim menjadi mayoritas Kristen, maka cita-cita mereka untuk membentuk Kabupaten Pamona Raya akan mudah tercapai. Bergandengan tangan dengan korporasi raksasa tadi, mereka dengan leluasa pula bisa turut menikmati lezatnya kekayaan sumberdaya alam di sana. Tak peduli meski itu harus diraih dengan anyirnya darah, perihnya luka dan terkoyaknya harkat dan martabat Muslim di sana. Biadab memang!
Diposkan oleh Saiful Bahri di 21.38
>>
Access from,
http://yarahmany.blogspot.com/2010/05/kisah-tragis-di-balik-pembantaian.htm

Jejak Kelalawar Hitam, Pembantai Muslim Poso

Ratusan Muslim Poso dibantai, pelakunya adalah kelompok orang terlatih bernama Kelalawar Hitam. Investigasi Sahid di lapangan menunjukkan selain dipicu persoalan politik lokal ada keterlibatan tokoh-tokoh di Jakarta.
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.
Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut dibantai namun selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran sungai Poso, menuturkan kepada Sahid, sebelum dibantai mereka mengalami penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan di dalam masjid Al Hirah. Di sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah menyerah itu dibantai. Ada yang ditebas lehernya, dipotong anggota badannya, sebelum akhirnya diangkut truk ke pinggir Sungai Poso.
Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya warga Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso dan terbawa entah sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban dalam pembantaian itu.
Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul Maliki, yang daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak sembilan kilometer dari ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, Dari pagi hingga siang saja, saya menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus, berikutnya saya tidak menghitung lagi, katanya. Sementara Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) melaporkan jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso tidak kurang dari 165 orang.
Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang tua, dan anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak. Ada yang cukup diikat, ada pula yang dimasukkan karung, kata Syahrul. Sebagian besar mayat sudah rusak akibat siksaan.
Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh Pasukan Merah ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat ini bekas panah tersebut masih terlihat jelas.
Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal sebagai Pasukan Kelalawar Hitam. Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula mereka sering disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari hubungan ummat Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu.

Tercatat sekitar 200 - 400-an orang yang tewas terbantai.

Dalam laporannya, pihak gereja melalui 'Crisis Center GKST untuk Kerusuhan Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang berpakaian ala ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai 'Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'.
Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka selalu mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali mata. Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah. Mayat-mayat juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat siksaan atau sengaja dicincang hingga tidak dikenal identitasnya. Dalam berbagai penyerangan pasukan merah selalu di atas angin. Karena itu sebagian besar korbannya adalah orang-orang muslim.
Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena. Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga Tamborana.
Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang melakukan investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam beberapa kerusuhan. Buktinya Sebelum mereka melakukan penyerangan, mereka menerima pemberkatan dari gereja, kata Agus Dwikarna, ketua Kompak Ujungpandang.
Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca (8/6/00) dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode Tentena. Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga diberikan kepada para perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan kebencian yang tinggi masyarakat Kristen kepada ummat Islam.
Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi hanguskan seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya, Pendeta R Damanik dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai provokator.
Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini nyaris seperti kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan yang ditinggalkan hanya tersisa puing-puing yang beserakan.
Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23 Mei lalu, merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso. Pertikaian pertama berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian, 15 April 2000 pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda Kelurahan Kamayanya (muslim) dengan Lambogia (Kristen).
Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam pasukan Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang kampung Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing kemarahan ummat Islam. Selanjutnya mereka mengaiaya ummat Islam di situ dan membunuh Serma Komarudin.
Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari ke Gereja Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam yang marah membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.
Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah konflik politik lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998 merupakan salah satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan. Namun Herman Parino dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga, bupati yang hendak digantikannya, muslim, merekayasa gagalnya Parino.
Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah Patangga. Namun rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga tidak diam dan bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari kemudian giliran pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena. Dalam kerusahan itu polisi langsung menangkap tokoh dari kedua belah pilah, Herman Parino dan Agfar Patangga, adik kandung Arif Patangga yang dianggap memprovokasi massa.
Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen yang dihormati membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi hukuman, meskipun Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso. Kasus inilah yang menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian pemuda Islam dan Kristen yang mabuk pada pertengahan April 2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat terhindarkan.
Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan merah melakukan penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak hanya sebatas para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan Muslim yang tidak ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan, warganya dibantai, perempuannya diperkosa.
Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan di Poso juga terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang bermain itu adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto meningkat, tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan keterlibatan sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah. Karena itulah pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata api maupun tangan kosong.
Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap kerusuhan di Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya milyaran uang palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini belum ditemukan juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso ini.
Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda Sulawesi Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15 anggota Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini sedang ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya persoalan gagalnya Herman Parino menjadi bupati. Kalau hanya karena perebutan kursi bupati kenapa ummat Islam yang dibantai, tanya Agus. Ia yakin ada upaya melenyapkan ummat Islam dari bumi Poso.
Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang mendalam di kalangan orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan ummat Islam menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Haryono, laporan Munanshar dan Pambudi (Poso)
Baca artikel dari situs asal
From: Faisal


PEMBANTAIAN DI PONDOK PESANTREN WALISONGO POSO SBAGAI BUKTI KRISTEN AGAMA PENUH KASIH DAN DAMAI….???

Pada dekade 60-an, kaum Kristen di Indonesia mengambil suatu keputusan yang amat penting, yang merupakan awal kerusuhan politik, dan menjadi konflik Islam-Kristen yang meruncing sampai sekarang ini. Keputusan itu mereka ambil melalui konferensi di Jawa Timur yang intinya adalah : “Pengkristenan Indonesia dalam waktu 50 tahun, dan khusus pulau jawa dalam waktu 30 tahun”.
Dengan keputusan itu, kaum Kristen semakin giat, bahkan dapat dikatakan opensif dalam segala lapangan. Kalau pada zaman Nasakom, komunis memaksakan nasakomisasi (menempatkan orang komunis) disetiap lapangan kehidupan, maka di zaman orde baru melalui rezim Suharto sangat terasa adanya kristenisasi dalam segala lapangan kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Dimana – mana mereka mendirikan gereja, tanpa memandang apakah di tempat itu ada orang Kristen atau tidak.
DI Aceh umpamanya, mereka mendirikan gereja padahal tidak seorangpun suku aceh yang beragama Nasrani, maka gereja yang baru saja didirikan itupun dibakar rakyat setempat. Di kota – kota besar bermunculan gereja-gereja dengan angkuhnya, terkadang rumah tinggal dan ruko tiba-tiba sudah berubah menjadi gereja. Bahkan dengan sengaja membakar emosional umat Islam di samping masjid mereka bangun gereja, seperti di Masjid Raya Pulo Asem Rawamangun. Bahkan di asrama mahasiswa Indonesia, yang terletak di jalan Pegangsaan Timur Jakarta, dikala itu tiba-tiba sedah berdiri gereja yang megah di atasnya.
Sebuah sekolah perguruan rakyat yang terletak di belakang Rumah Sakit Kristen St. Carolus harus dibongkar karena RS. Kristen tersebut memerlukan perluasan. Betapapu nkerasnya reaksi dari masyarakat luas untuk tetap mempertahankan sekolah tersebut, apalagi karena sekolah itu mempunyai nilai sejarah dalam pergerakan kemerdekaan, harus diratakan dengan tanah demi kepentingan pelebaran RS.Kristen. Sekali lagi demi perubahan peta politik menuju Kristenisasi yang sudah berjalan mantap di bumi Indonesia, semua jalan harus ditempuh “the end justifies the mean”. Menghalalkan segala macam cara.
Dnega nkeuangan melimpah yang mengalir dari berbagai donatur, mereka mendirikan gereja megah, rumah sakit mewah, mendirikan sekolah-sekolah mulai dari penitipan anak, TK, SD, SMP, SMA dan Universitas dengan fasilitas bangunan yang megah hingga mengalahkan semua bangunan sekolah yang ada termasuk sekolah-sekolah negeri dan rumah sakit pemerintah.
Mereka juga mengadakan gerakan orng tua angkat melalui Organisasi Orang Tua Angkat. Orang Kristen dari Eropa dan Amerika mempunyai anak-anak angkat di Indonesia. Seperti di Belanda, dengan uang 50 gulden per bulan di tahun 1970-an, mereka sudah mempunyai anak angkat di Indonesia. Dan gerakan itu ditujukan untuk membantu sisa-sisa korban dari peristiwa G30 S PKI. Kaum komunis mendapat santunan dari kaum Kristen. Mereka membagi-bagikan sembako secara berkala, bahkan mereka juga mendapatkan tawaran bantuan modal usaha, dengan perjanjian, bahwa mereka harus menjadi Kristen. Dalam keadaan sangat sulit dan terpaksa, para korban G30 S PKI tsb mau tidak mau harus menerima tawaran itu. Tidak cukup dengan membantu mereka, bahkan mereka diracuni dengan provokasi yang menyesatkan, yaitu menstigmasi umat Islam dengan kata-kata : “Kalian adalah korban pembunuhan dari orang-orang Islam”. Dan tidak aneh kalau sekarang naka-anak mereka banyak yang menjadi Kristen Militan.
Dengan peranan dan perencanaan yang sangat matang dari CSIS, DGI, MAWI, dan IGGI kaum Kristen di Indonesia telah berhasil menanamkan kekuasaan di segala sektor kehidupan, baik bidang pemerintahan untuk meraih kekuasaan, orang-orang Kristen juga menduduki posisi-posisi yang penting di masa rezim Orde Baru.
Era Reformasi
Keberhasilan kaum Kristen di zaman Orde Baru membuat kelompok minoritas ini menjadi pongah, mereka lebih loyal pada Vatikan, Eropa Barat dan Amerika. Kita sadar, lepasnya Timor Timur dari Indonesia tidak menafikan adanya peran dari aktor-aktor Kristen. Dengan tuduhan pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran HAM berat. Pemerintah terpojok oleh propaganda Kristen yang telah menguasai gerakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Nampaknya, untuk Indonesia Timur mereka terus berusaha melakukan apa yang pernah mereka lakukan di Timor Timur. Kasus Poso, Ambon, Irian Jaya yang terus menghangat, tidak lebih dari makar busuk yang sedang mereka lakukan, karena mustahil kasus Tibo cs yang kriminal, dan tindakannya yang membunuh ratusan umat Islam di Pesantren Walisongo dianggap pahlawan, pembelaan yang dilakukan oleh para aktivis gereja dan Vatikan adalah sebagai tindakan arogansi. Termasuk ketika Paus Benedictus XVI menyurati presiden SBY terkait kasus eksekusi Tibo cs. Padahal tindakan Tibo cs jelas-jelas kriminal, sadis dan biadab.
Kronologi Kejahatan Tibo cs
Bagi pembunuh, seharusnya dikenai hukum qishas. Namun, jika dengan alasan negara atau siapa pun sebagai penegak hukum tidak berhak mengambil nyawa orang lain, sehingga hukuman mati harus dicabut atas Tibo cs. Orang bertanya,: Siapa yang memberi hak kepada Tibo cs untuk membunuh lebih dari 100 santri pesantren Wali Songo di Poso, lima tahun lalu?
Sekedar mengingatkan, betapa biadab dan sadisnya pasukan merah Kristen pimpinan Fabianus Tibo, kita lihat kronologi tragedi Poso yang direkam Forum Silaturahim dan Perjuangan Umat Islam Poso.
Sabtu, 20 Mei 2000
Seorang pemuda muslim dari desa Kelei, Anton Dunggio berhasil meloloskan diri dari massa merah (Kristen) dan menginformasikan tiga hari lagi akan ada penyerangan besar-besaran oleh pasukan merah dari Tentena. Namun, informasi tersebut dinilai provokasi, dan Anton dituduh provokator kemudian diangkap atas perintah Wakapolres Poso, Jhony Siahaan.
Senin, 22 Mei 2000
Pukul 19.30 Waktu Indonesia Timur, atas inisiatif Kapolres Poso, diadakan pertemuan antar unsur pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat dan agama, untuk membicarakan situasi Poso. Jam 23.30-24.00 Muspika Kota Poso, mengumumkan melalui kendaraan dan berkeliling kota Poso, bahwa tidak akan ada penyerangan dari massa Kristen, dan kepada warga Muslim kota Poso, diminta tenang.
Selasa, 23 Mei 2000
Sejumlah kendaraan berisi pasukan merah Kristen, dengan memakai baju, celana hitam dan ikat kepala merah, hilir mudik sambil berteriak dan mengacungkan senjatanya melewati desa Sintuwulemba. Konvoi pasukan itu sebagian diturunkan di desa Tagulo dan sebagian di desa lain. Dini hari, sekitar jam 03.00 datang pasukan Kelelawar Merah berpakaian ala Ninja, dan Serma Kamarudin Ali tewas ditebas pasukan Kelelawar. Pada waktu yang sama, kakek Muslim Kayamanya dibantai, ketika menuju masjid untuk sholat subuh da nAbdul Syukur lehernya di tebas di Serambi Masjid Moengko.
Massa Putih (Islam) mengejar Pasukan Kelelawar Merah pimpinan Cornelius Tibo alias Fabianus Tibo yang bersembunyi di kompleks Gereja Katholik Moengko. Apart keamanan yang dibantu beberapa orang warga muslim berhasil menagkap Tibo cs. Negosiasi dilakukan ketika itu antara Tibo cs dengan aparat. Sebagai jubir pasukan Kelelawar Merah, Tibo mengatakan siap menyerahkan diri. begitu juga seluruh anggota pasukannya akan menyerahkan diri kepada pihak berwajib, dengan syarat mereka mendapatkan jaminan keamanan aparat sepenuhnya dari peradilan massa atas dirinya dan kelompoknya.
Usai pertemuan, Tibo beranjak dari tempat itu, konon ia minta ijin keluar untuk memanggil seluruh pasukannya guna menyerhakan diri kepada pihak berwajib, dan apartpun percaya saja. Tanpa meminta kesepakatan kepada kelompok kaum muslimin. Nah momentum itulah yang digunakan Tibo untuk melarikan diri, mengkhianati janjinya sendir, lalu menghilang ditengah-tengah semak belukar, tepatnya dibelakang gereja santa Theresia Kelurahan Moengko.
Rabu, 24 Mei 2000
pukul 06.30 terjadi penyerangan Pasukan Merah terhadap warga muslim Sayo, yang mengakibatkan tewasnya Aswin. Pukul 10.000 sebagian pasukan Merah yang kembali dari Togaluke Tentena, dan melepaskan anak peluncur sebanyak empat kali ke arah pesantren Wali Songo, dan melepaskan tembakan senapan angin ke rumah pak sarimah warga Muslim. Pada waktu yang hampir bersamaan di Togalu dan Situwulemba KM. 9 telah terjadi pembantaian dan penyanderaan warga msulim yang dilakukan oleh pasukan merah Kristen.
Pukul 18.30 Pasukan Merah Kristen, melemparkan bom molotov dua kali ke rumah Pak Ahmadi warga Muslim Situwulemba. Sore itu sekitar 1000 oang berpakaian ala ninja merah dengan persenjataan lengkap melakukan pengrusakan san pembakaran rumah-rumah pendudukan di Desa Toyado dan Labuan. Dua orang warga muslim syahid setelah dibakar hidup-hidup oleh pasukan Kristen, dan salah satu korban bernama Rafik Pakaya.
Kamis, 25 Mei 2000
Keluarga Besar Wali Songo memasang rintangan jalan. Setiap kendaraan yang lewat di stop untuk menyampaikan pesan agar mereka jangan mengganggu masyarakat muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo. Terjadilah ketegangan antara Pasukan Merah dengan warga muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo. Akhirnya camat Lage Drs. Minto Ida dan Kapolsek Lage JP.Londa membuat kesepakatan dengan Ustadz Sahudin mewakili Pesantren Wali Songo, yang dihadiri oleh Dominggus mewakili Pasukan Merah, Sudarso Panyipto mewakili Kristen Sintuwulemba dan beberapa tokoh masyarakat Muslim lainnya, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan perjanjian antara lain : 1. Rintangan jalan depan pintu gerbang Pesantren Wali Songo harus dihilangkan. 2. Pasukan Merah tidak akan mengganggu warga Muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo.
Jum’at, 26 Mei 2000
Camat dan Kapolsek Lage melarang warga Muslim di desa Sintuwulwmba dan Pondok Pesantren Wali SOngo mengungsi dengan alasan tidak akan terjadi apa-apa dan mereka memberikan jaminan keamanan. Pasukan merah menyerang desa Sintuwulemba dan membantai seluruh warga Muslim yang ditemui. Lebih dari 70 pengurus dan santri Pondok Pesantren Wali Songo dibantai oleh pasukan Merah di dalam masjid. Pasukan merah menebangi pohon di jalan untuk menghambat bantuan pasukan TNI/POLRI dari Makassar dan warga muslim dari Mangkutana dan Bungku.
Sabtu, 27 Mei 2000
Di Tentena, rumah-rumah warga muslim dibakar. Massa dari desa Sanginora yang dipimpin ileh Guntur S.Tarinje, mendatangi kantor kecamatan Poso Pesisir dan dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat Islam setempat. Dalam pertemuan tersebut disepakati memorandum of understanding yang memuat ikatan perjanjian debagai berikut :
Pertama, pihak Kristen tidak akan saling menyerang dengan pihak muslim di seluruh Poso Pesisir. Adapun perseteruan yang terjadi dalam kerusuhan Poso cukup menjadi persoalan di Poso kota, tidak perlu merambat sampai ke Poso Pesisir. Kedua, semua rintangan di jalan raya yang menghambat kelancara n lalu lintas dan mobilitas umum agar disingkirkan serta dibersihkan sebagaimana keadaan dan kondisi sebelumnya. Ketiga, pasukan kelompok merah yang tidak bermusuhan dengan warga muslim Poso Pesisir tidak boleh saling mengganggu.
Warga muslim mematuhi perjanjian tersebut. Pembersihan jalan Raya sudah dilaksanakan, dimulai dari desa Tabalu, Ratolene, Bega, Patirobajo, Mapane, Toini, Tolana, Landangan, Tonipa. Bahkan sampai kelurahan Moengko dan Kayamanya.
Tetapi karena pihak Kristen mengkhianati perjanjian tersebut akibatnya fatal. Pasukan merah leluasa menghajar saudara mereka, umat Islam yang berada di Poso Kota. Camat Lage, Drs, Mito Ida, Kapolsek Lage JP. Londa dan Babinsa Kec. Lage Serka Darmo mendatangi pesantren Wali Songo untuk meminta agar Wali Songo menyerahkan HT (handy talky), senjata-senjata tajam warga muslim Sintuwulemda dan alat-alat las serta meminta agar warga muslim Sintuwulemba dan Wali Songo tidak balas menyerang meskipun kemarin telah dipeluncur dan dilempar bom molotov warga Kristen.
Minggu, 28 Mei 2000
Mobil-mobil truk beriringan dari arah Napu membawa ribuan pasukan Merah ke arah Kec. Poso Pesisir. Sekitar pukul 08.000 Pasukan Merah mulai melakukan penyerangan, pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah warga msulim di desa Tabalu, Ratulene, Mapane, Bega, patiro bajo, Saatu, Pinedapa, Masani, Tokorondo, Tiwa, Kilo dan Kalora. Pukul 10.000 pesantren Wali Songo diserang. Kemudian mereka mengepung desa Sintuwulembda dari segala penjuru. Warga muslim Sintuwulemba yang masih berada di sana berusaha melakukan perlawanan seadanya karena tidak menduga, pasukan Merah akan menyerang seperti itu. Bukankah sebelumnya sudah ada jaminan dari aparat?
Warga muslim Sintuwulemba bersama sebagian kecil warga Wali Songo terpukul mundur kemudian Ustadz Sahudin mengibarkan bendera kain putih di Masjid Al Hijrah Sintuwulemba, setelah dijanjikan oleh Pasukan Merah apabila mereka (warga muslim) menyerah dan melepaskan senjata tajamnya dijamin aman. Pasuka Merah ingkar janji. Para pengkhianat itu melucuti senjata tajam warga muslim. Setelah itu, Pasukan merah membantai dengan menebas leher warga muslim yang telah terkurung di dalam masjid Al-Hijrah Sintuwulemba dan mencincang-cincangnya baik yang keluar masjid, maupun di tempat-tempat lain dimana saja mereka dapati warga muslim di desa itu. Sebagian pasukan Merah membakar rumah-rumah penduduk warga muslim hingga ludes, kecuali rumah-rumah orang Kristen Sintuwulemba. Korban yang tewas dan yang masih hidup semua diangkut dengan truk entah dibawa kemana.
Menyikapi situasi yang terus kisruh dan meruncing dalam kehidupan antar umat beragama, umat Islam harus tegas dan bijak, bahwa kebiadaban dan pengkhianatan atas janji, agaknya menjadi karakteristik laskar merah Kristen. Orang-orang kristen terbiasa memaksakan kehendak pada negara dengan melanggar hukum, menodai keadilan, dan melukai nurani mayoritas umat Islam di negeri ini. Tidakkah kita berfikir untuk selalu waspada dan berhati – hati atas segala propaganda dan tipu daya musuh-musuh Allah? Jika kamu menolong agama
Allah, pasti Allah juga akan menolong kamu. (Ahmad Salimin Dani/Lentera Da’wah)



=======KISAH USTADZ PESANTREN WALI SONGO YANG SELAMAT DARI PEMBANTAIAN=======
Kisah Pengasuh Ponpes Wali Songo Poso Yang Selamat Diikat dan Disiksa, Lolos Lewat Sungai
Kasus pertikaian di Poso tidak hanya membawa korban dan kerugian materil, tapi juga menjadi beban masyarakat lain yang tidak berdosa. Berikut cerita yang disajikan dalam gaya bertutur dari dua pengasuh Pondok Pesantren Wali Songo, Ilham (23) yang selamat dari penyanderaan, setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo dibumihanguskan.
PADA saat itu hari Kamis (1/6) kami masih berada di hutan bersama adik-adik (santri, red) yang lain. Setelah ditangkap, mereka memisahkan kami. Perempuan jalan terus, sedangkan kami disuruh tetap tinggal di hutan.
Setelah adik-adik santri dan ibu-ibu pergi, kami semua disuruh buka baju. Tangan kami diikat satu per satu. Jumlah kami saat itu ada 28 orang, menurut hitungan mereka (penyandera, red). Terdiri dari enam orang dari pesantren dan penduduk biasa.
Setelah diikat dengan tali nilon, kabel atau sabut kelapa, kami digandeng tiap lima orang. Saya sendiri diikat tiga ikatan. Kami digiring jalan melewati hutan, tembus di suatu desa Lembomao. Di sana kami berhenti sebentar. Mereka kayaknya memanggil pemimpinnya. Saat itu juga pemimpinnya keluar dan memerintahkan anggotanya untuk membawa.
Kami digiring lagi berjalan melewati jembatan gantung tembus di desa Ranononcu, terus dibawa ke Baruga. Di sana kami disiksa dalam keadaan berdiri, berbanjar membuat dua barisan. Setelah itu tangan kami ditambah ikatannya. Saya sendiri diikat dengan tali sabut kelapa kemudian ditambah dengan tali nilon warna biru, kemudian diikat dengan kabel.
Setelah itu kami disiksa dengan begitu sadis. Badan kami diiris-iris, ditendang, dipukul, pokoknya sudah segala macam penyiksaan, ada yang dipukul dengan gagang pedang, ada yang dengan popor senjata. Saya sudah tidak tahu lagi dengan alat apa semua yang mereka gunakan memukul kami.
Setelah disiksa mereka mengeluarkan pertanyaan kepada kami. pertanyaan pertama. Siapa yang tahu mengaji? Pertanyaan kedua siapa guru mengaji? Dan yang ketiga, siapa yang pernah naik mimbar, dan pertanyaan keempat, siapa yang imam. Pada saat itu, kami tidak ada yang mengaku.
Setelah disiksa, badan-badan kami diiris dan setelah ditaruh tanah, disiram air panas. Sekitar kurang lebih dua jam kami disiksa di tempat itu, kami dinaikkan ke mobil. Mereka tujukan ke arah atas. Menurut pengamatan kami saat itu ke arah Desa Togolu. Sampai di situ mereka giring ke pinggir kuala Poso.
Sampai di pinggiran kuala kami disuruh turun. Saya sendiri loncat dari mobil tersebut. Saya melihat teman saya sudah dibacok satu orang. Dan saat itu, saya langsung mengambil keputusan, berlari menuju kuala tersebut yang jaraknya kurang lebih 10 meter.
Sebelum kami turun dari mobil, mereka sudah berdiri untuk menjaga kami di pinggir kuala tersebut. Yang anehnya bagi saya. Mungkin sudah gerakan Allah, pada saat saya lari di antara mereka tidak ada yang bergerak.
Sekitar satu meter lagi dari pinggiran kuala, saya sudah terjun. Dan tiba-tiba ikatan yang mengikat tangan saya terlepas. Setelah saya terjun ke kuala baru mereka mengambil gerakan. Ada yang menembak, tapi alhamdulillah -saya berenang, muncul lagi untuk mengambil nafas sedikit, mereka menembak lagi. Menyelam lagi saya, sampai waktunya sekitar satu menit, baru saya sampai ke seberang kuala, dalam kondisi badan saya yang sudah teriris-iris.
Setelah saya sampai, saya langsung naik ke daratan. Lari ke hutan. Saya perkirakan dan melihat mereka tidak kelihatan lagi, saya balik ke kuala . Saya masuk melebur kembali mencari tempat yang aman – mendapatkan pinggir kuala, ada rumput yang menutup. Saya masuk di semak-semak rumput tersebut. Badan saya setengah dalam air, setengah di atas.
Dan saat itu mereka mengadakan pencarian pada saya. Mereka lewat, saya lihat mereka. Tetapi mereka tidak melihat saya. Pada saat itu waktunya, saya perkirakan jam 04.00 sore. Sekitar dua jam saya merendam di kuala, untuk menunggu waktu malam.
Setelah malam, saya naik ke darat untuk mengambil alat renang. Saya cabut pohon pisang. Setelah saya cabut, saya langsung buang ke kuala, saya gunakan untuk membantu berenang.
Baru sekitar 10 meter saya berenang, mereka sudah hadang di depan dengan senternya yang begitu terang. Saya melihat senter mereka itu seperti senter mobil. Jadi tidak mungkin pakai baterei, mungkin sudah memakai accu (aki, red) atau alat canggih lain.
Pada saat itu saya lepaskan pohon pisang yang saya pakai. Saya menyeberang kembali, mendekati kembali pinggiran kuala tersebut. Setelah itu tiba-tiba saya lihat ada tiga orang yang lewat kuala. Mungkin teman-teman saya, yang masih ada di hutan, yang belum tertangkap pada saat itu. Dan alhamdulillah, tiga orang lewat itu lolos.
Kemudian lewat lagi tiga orang naik perahu, dan ini kelihatan oleh pengejar. Mereka langsung mengejar dengan perahu pula. Dua yang lolos pada saat itu. Satu orang tertangkap. Dia berteriak-teriak “Saya tidak salah”. Kedengarannya mereka menyiksa. Dan pada saat itu tiba-tiba terdengar suara letusan. Dan teriakan itu langsung lenyap.
Setelah itu, saya berpikir, berarti saya ini akan tertangkap juga kalau saya teruskan untuk berenang. Saya ke darat dan duduk berdoa. Ya Allah turunkan lah hujan, ya Allah. Supaya mereka menghindar dari pinggiran kuala tersebut.
Dalam kurun waktu kurang lebih setengah jam, yang awalnya bintang-bintang lengkap di langit. Tiba-tiba gelap dan langsung turun hujan. Setelah hujan turun, saya berlari ke atas sekitar 20 meter. Kemudian saya masuk lagi ke dalam kuala, dan saya lanjutkan berenang.
Dalam jarak 10 meter lagi saya berenang ke bawah, ada lagi mereka yang menghadang di depan. Saya naik lagi ke daratan. Duduk saya di daratan berkisar kurang lebih satu jam. Badan saya kayaknya sudah tak mampu lagi digerakkan, dengan merasakan luka, kedinginan. Rasanya badan saya sudah tidak bisa lagi bergerak.
Pada saat itu, saya berpikir. Kalau siang di sini, saya sembunyi dimana lagi. Setelah pemikiran itu muncul kepasrahan, saya berdoa: bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Saya berdiri, lalu mencari alat bantu renang lagi. Alhamdulillah, saya ketemukan satu biji kelapa kering. Saya bawa kembali ke kuala.
Setelah saya masuk, melebur kembali ke kuala, rasanya badan ini sudah kuat kembali. Tangan dan kaki saya, yang semula sudah tidak mampu digerakkan, setelah saya melebur ke kuala, badan saya terasa pulih kembali. Kayaknya tidak ada luka yang melekat.
Setelah itu saya berenang sampai melewati pinggir kuala tersebut. Setiap pinggiran kuala tetap juga mereka jaga. Tetapi sudah tidak terlalu ketat. Karena hujan turun terus.
Saya temukan jembatan yang saya lewati pertama pada saat kami menuju di desa Ranononcu itu. Mereka berjaga di jembatan itu, alhamdulillah saya masih sempat lolos. Kemudian terus lagi, menemukan lagi jembatan satu. Yang pertama jembatan gantung Ranononcu dan yang kedua jembatan gantung Lembomawo.
Setelah itu, saya terus lanjutkan berenang. Dan apabila mereka mencari, menyenter dari sebelah, saya menghindar, menyeberang ke sebelah. Jadi, saya memotong-motong kuala Poso itu, yang jaraknya, yang disebut orang sering ambil korban manusia, ada buaya kayaknya sudah tidak lagi saya pikirkan.
Setelah itu, saya tiba di jembatan II Poso, yang direncanakan untuk dijadikan “kriminal dua”. Setelah mendekati jembatan tersebut, saya melihat pancaran cahaya. Lampu mereka begitu terang. Mereka memakai lampu sorot. Mereka pancarkan ke kuala tersebut. Kualanya terang sekali. Jadi apapun yang lewat, kayu sepenggal pun yang lewat, kelihatan dalam kuala tersebut. Tetap saya terus dan berhenti di jembatan tersebut.
Saya berhenti di bawah jembatan dan berdiri serta duduk bergantian sambil berpikir, bagaimana caranya bisa lolos. Sedangkan kuala ini terang sekali. Berpikir saya di situ sekitar satu jam. Bagaimana caranya, tidak ada hasil. Kayaknya, secara jernih saya tidak mampu lagi untuk berpikir, bagaimana caranya untuk lolos.
Setelah itu, saya terpikir dalam satu firman “Jangan takut Allah bersama kita”. Saya membaca doa bismillahi tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah. Segala daya dan kekuatan saya serahkan kepada Allah sepenuhnya. Muncul keyakinan saya pada saat itu, saya langsung meloncat berenang ke kuala.
Setelah saya mendekati lampu tersebut, tiba-tiba lampunya langsung mati. Saya berpikir jangan-jangan saya dijebak, dengan sengaja mematikan senter, agar saya terus berenang.
Dan setelah melewati tempat terang tersebut baru lampunya menyala. Tidak tahu mengapa lampu mereka mati. Berarti mereka sebenarnya bukan menjebak saya. Tetapi memang benar lampunya mati pada saat itu. Mungkin sudah digariskan oleh Allah. Sudah memberikan pertolongan pada saat itu kepada saya.
Sebagai manusia biasa, yang sudah luka parah, muka saya sudah hancur dipukul, mungkin tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tapi kekuatan yang ada, saya melanjutkan berenang melewati jembatan dan tiba-tiba saya mendengar suara azan. Berarti menandakan waktu subuh atau pagi telah tiba. Saya makin cepat berenang sebelum terang, karena kalau sudah siang mereka akan temukan saya.
Sekitar pukul 6 pagi saya mendengar suara pengumuman yang menyebutkan nama kompi. Saya berpikir bahwa itu adalah asrama tentara dan langsung mendekati. Di dekat lokasi asrama saya melihat seorang pemuda dan saya tanyakan asalnya. Saya juga tanya mengapa ada disini dan pemuda itu mengatakan dirinya pengungsi. Saya tanya lagi agamamu apa, dan dia menjawab agama Islam. Disaat dia menjawab Islam, saya langsung mengatakan tolong, dan dia pun langsung menolong saya membawa ke asrama kompi dan dirawat. Pada saat disiksa, saya melihat seorang aparat tentara yang juga saya sudah pernah lihat sebelumnya. Waktu di kompi saya juga melihat tentara itu, kami sempat berpapasan mata kemudian tentara itu langsung pergi. Saya periksa di semua ruangan tentara itu tidak ada. Saya yakin dia adalah tentara yang saya lihat ketika saya disiksa. (ud/jpnn)
Source : Riau Pos Rabu, 14 Juni 2000
========MAYAT RATUSAN MUSLIM DITEMUKAN========
Sudah Ratusan Mayat Muslim Berhasil Ditemukan
Jakarta, LaskarJihad.or.id (26/12/2001)Selama kurun waktu Mei 2000 hingga awal Desember 2001 Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso berhasil mengevakuasi 840 mayat umat Islam korban konflik agama di Poso. Mereka ditemukan dari berbagai lokasi yang berbeda.
“Korban tewas terakhir yang kami temukan tiga warga Toyado yang diculik awal Desember tahun ini,” kata Koordinator Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso, Jabar As-Salam kepada Antara di Palu, Senin (24/12).
As-Salam mengatakan pihaknya menduga mayat umat Islam korban kerusuhan di Poso yang sudah berlangsung tiga tahun itu masih banyak yang belum ditemukan. Ini karena lokasi bentrokan kedua kubu yang bertikai relatif cukup luas dan sporadis.
“Apalagi masih banyak laporan masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya dan belum berhasil kami pecahkan kasusnya,” katanya, seraya menambahkan laporan tersebut jumlahnya mencapai ratusan orang.
Lokasi penemuan mayat oleh tim evakuasi muslim Poso antara lain Sungai Poso, rawa-rawa dan pinggiran hutan di sekitar kota Poso. Umumnya kondisi mayat yang ditemukan mengenaskan, antara lain kepala hilang dan tubuh disayat-sayat. As-Salam mengatakan pihaknya akan terus melancarkan pencarian mayat umat muslim dengan sasaran operasi semua lokasi yang dicurigai sebagai tempat pembantaian yang dilakukan kelompok lawan.
“Kami akan terus melakukan pencarian mayat umat muslim korban pembantaian di Poso hingga semuanya ditemukan,” ujarnya.
Laporan korban meninggal dunia versi pemerintah setempat yang ditemukan hingga tanggal 5 Desember 2001 sebanyak 577 orang (lima di antaranya PNS), luka berat 245 dan luka ringan 139. Bangunan yang terbakar terdiri atas 83 unit rumah ibadah (masjid, gereja dan pura). Sedangkan rumah penduduk yang terbakar 7.932 unit, rusak berat 1.378, rusak ringan 690, dan fasilitas umum yang terbakar/rusak berat maupun ringan 510 unit. Taksiran sementara kerugian materil akibat konflik ini sudah mencapai Rp 300 miliar.(RoL) 





Poso Menangis, Ratusan Nyawa Melayang di Pesantren Wali Songo

 
Kota Poso sedemikian mencekamnya. Kabar duka dari Desa Togolu, Kecamatan Lage, Poso, begitu menggetarkan hati semua warga. Ratusan nyawa telah melayang di pesantren Wali Songo yang terletak di wilayah itu, belum lagi mereka yang luka-luka dan melarikan diri penuh dengan ketakutan.
Begitulah kesaksian Nyonya Ani, istri komandan Kodim 1307 Poso saat dihubungi KCM per telepon di kediamannya di Poso. "Sejak meletus kerusuhan, saya tidak berani ke mana-mana," tuturnya.
Nyonya Ani lalu menuturkan, untuk belanja pun ia tak berani pergi ke pasar. "Biasanya saya beli bahan-bahan untuk dimasak kepada pengungsi yang banyak berlindung di kantor Kodim. Ayam, kambing. Harganya terserah kita," haru Nyonya Ani menuturkan, betapa kemanusiaan sudah sebegitu murahnya di tanah Poso.
Letkol Inf. Budiarjo, Komandan Kodim 1307 Poso sampai berita ini diturunkan belum berhasil dikonfirmasi mengenai perkembangan terakhir di wilayahnya.
"Mayat yang sudah teridentifikasi sekitar 200 orang," demikian Nyonya Ani menjelaskan.
Sementara, Kantor Berita Antara menuturkan, ratusan penghuni pesantren Wali Songo di Kilometer Sembilan (Desa Togolu) Kecamatan Lage Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, "hilang" dan diduga kuat lari menyelamatkan diri saat Kelompok perusuh melakukan penyerangan tanggal 28 Mei 2000.
Sejumlah saksi mata yang ditemui Antara di Palu dan Poso--205km timur Palu Senin mengatakan, penyerangan kelompok perusuh hari Minggu itu di pondok pesantren tersebut mengakibatkan banyak korban tewas, namun beberapa di antaranya berhasil menyelamatkan diri lari ke hutan-hutan di sekitar pasantren itu.
Para saksi mata tidak merinci jumlah korban yang dibantai di tempat itu, namun mereka memperkirakan sebagian besar dari puluhan mayat yang hanyut di Sungai Poso adalah penghuni pondok pesantren Wali Songo.
Bahkan salah seorang aparat keamanan setempat mengatakan lima dari puluhan mayat penuh bacokan sekujur tubuhnya dan terikat menjadi satu yang ditemukan mengapung di Sungai Poso kemungkinan adalah penghuni pondok pesantren itu.
Komandan Kodim 1307 Poso Letkol Inf Budiardjo kepada Antara di Poso Senin, saat mendampingi Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro mengatakan, belum dapat memastikan nasib ratusan penghuni pesantren itu.
Namun ia membenarkan bahwa jika mengacu kepada laporan stafnya di lapangan memang benar terjadi penyanderaan dan pembantaian di pesantren Wali Songo.
Pasukan TNI yang tergabung dalam "Operasi Cinta Damai' kini sibuk mengumpulkan bukti-bukti pembantaian di sekitar pesantren itu dan menurut Dandim Budihardjo akan segera ditindak-lanjuti setelah pihak TNI melakukan operasi pembersihan di kawasan itu.
Budiardjo mengatakan TNI-Polri juga masih melakukan penyelidikan intensif terhadap mayat-mayat yang belum diidentifikasi petugas sekalipun sebagian besar sudah dikuburkan di pemakaman Tegal Rejo.
Ketika ditanya jumlah mayat yang ditemukan petugas di Pesantren Wali Songo, Budiardjo mengatakan belum tahu pasti sebab setiap ada mayat yang ditemukan setelah dirawat seadanya langsung dimakamkan.
"Saya memperkirakan mayat-mayat yang ditemukan hanyut di Sungai Poso berasal dari sana (Pesantren Wali Songo) sebab lokasi pasantren tersebut berada di bagian hulu Sungai Poso," katanya.
Berdasarkan data sementara, jumlah mayat yang ditemukan Penduduk sudah mencapai 146 sosok dan 60 sosok di antaranya ditemukan penduduk mengambang di Sangai Poso, dan yang lainnya ditemukan penduduk di tiga titik bentrokan, yakni Kelurahan Sayo, Kelurahan Mo'engko dan Desa Malei di pinggiran selatan kota Poso.
Wartawan Antara melaporkan dari Poso bahwa hingga hari Senin di lokasi pasantren itu masih tercium bau bangkai. Bau sangat menyengat juga tercium di sepanjang poros jalan Poso-Parigi di Kecamatan Poso Pesisir terutama di daerah rawa yang ditumbuhi banyak pohon sagu.
Panglima Kodam VII Wirabuana, Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro mengatakan bahwa pihaknya sudah memerintahkan Kodim Poso untuk mengusut tuntas kasus pembataian di pesantren Wali Songo itu.
"Saya telah memerintahkan Dandim 1307 Poso (Letkol Inf Budihardjo) untuk mengusut tuntas kasus ini," kata Jenderal berbintang dua itu.jy
Source : Kompas Cyber Media 
 
Pembantaian Membabi Buta Di Ambon
Friday, August 29, 2008