Selasa, 28 Januari 2014

Mengintip �Dunia Gemerlap� Bukittinggi
Oleh : Muhammad Subhan | 16-Apr-2008, 15:15:08 WIB
KabarIndonesia -  Hawa dingin malam pekan silam benar-benar menidurkan Bukittinggi. Malam hanya menyisakan kelam. Tak banyak terlihat anak muda nongkrong di tempat hiburan, tepatnya disebut café di kawasan Jalan A. Yani, Kampung Cina, kota wisata itu.

Di kawasan itu, ada beberapa buah café.   “Kalau memang bukan malam minggu memang agak sepi,” kata seorang penjaga café. Hawa Bukittinggi yang basah dan terpaan udara dari beberapa buah kipas angin di ruang yang temaram di dalam café itu, membuat dingin terasa kian menyayat.   Tetapi kawasan yang satu ini memang tidak pernah sepi. “Uang tetap masih laku hingga subuh di sini,” kata seorang pengunjung yang mengaku datang dari Payakumbuh.  

Beberapa bule memang ada dalam cafe itu. Dan itu adalah pemandangan umum sepanjang malam di Kampung Cina.   Toh, the show must go on. Tepat tengah malam, dari sebuah kendaraan mewah keluar sesosok pria muda menenteng tas. Penampilannya tak jauh beda dengan pengunjung café. Mengenakan baju kaos, berjaket kulit berwarna coklat, dan kaki dibalut sepatu kets. Dandanannya amat santai. Wajahnya segar meski malam sudah beranjak tua.  

Pria itu duduk di pojok ruangan, memanggil pelayan, memesan secangkir minuman. Tas yang dia tenteng diletakkan di sudut kursi duduknya. Sesaat mengeluarkan handphone dari saku jaketnya, menekan nomor tujuan pada tuts alat komunikasi kecil itu lalu berbicara beberapa saat.   “Abang sudah di sini, dimana sekarang?” kata pria itu. Terjadi dialog sejenak. “Oke, sepuluh menit,” kata pria itu. Handphone mati. Alat itu dimasukkan kembali ke dalam saku jaketnya. Duduk sesaat. Menyeruput secangkir minuman yang baru dia pesan. ‘Aku makin cinta’ tembangnya Vina Panduwinata terdengar melonkolis di sudut-sudut café.  

Tepat sepuluh menit kemudian, dua gadis masuk café. Berkaos oblong lengan panjang. Ketat. Sangat seksi. Satu berwarna biru tua, satunya lagi berwarna ungu. Keduanya melihat kiri kanan. Pria muda tadi yang melihat kedua gadis itu melambaikan tangan. Kedua gadis mendekat. Bersalaman, duduk dan memanggil pelayan. Keduanya juga memesan minuman.  

Selanjutnya yang terdengar gelak tawa mereka. Bicara ngalor ngidul ke sana ke mari dan tak begitu jelas. Sesekali terlihat, kedua gadis berusia sekitar 20 tahun itu mencubit nakal si pria. Sementara, di ruangan café itu, ada sekitar 17 pengunjung. Juga berpasang-pasangan. Asap rokok mengepul di langit-langit café.   Dua puluh menit kemudian, pria dan dua gadis muda itu beranjak. Membayar minuman lalu keluar café. Ketiganya masuk ke dalam mobil jenis Kijang Innova milik si pria, lalu meluncur ke arah utara.  

Penasaran, KabarIndonesia membuntuti mobil itu. Menumpang taksi yang mangkal di depan cafe. Karena lajunya tidak begitu cepat, mobil itu pun mudah diikuti. Dan, sekitar 15 menit perjalanan, sepanjang 3 km di perbatasan Bukittinggi, mobil itu masuk gerbang sebuah hotel. Langkah terputus.   “Tidak turun, Da? Tidak menginap?,” tanya sopir taksi kepada KabarIndonesia.   “Tidak, saya hanya ingin tahu kemana mobil itu pergi,” jawab KabarIndonesia.  

“Wah, kalau yang seperti gituan di sini biasa, Da. Janjian di café-café, ujungnya, ya, di hotel,” kata sopir taksi. Peluang langkah investigasi KabarIndonesia kembali terbuka. Dialog dengan sopir taksi bernama Herman (45), itu pun berlanjut.  

“Selain di café-café, dimana lagi bisa betemu dengan gadis-gadis seperti itu?” pancing KabarIndonesia.   “Uda wartawan? Atau anggota (maksudnya aparat—red)?” tanya Herman, si sopir taksi.   “Ah, saya hanya ingin tahu saja,” elak KabarIndonesia. Pria yang mengaku orang Padang itu tak lagi bertanya. Lalu KabarIndonesia meminta agar dibawa kembali ke Bukittinggi. Mobil berbalik arah meninggalkan gerbang hotel. Terjadi dialog-dialog di dalam taksi.   “Kalau uda mau cari gadis-gadis seperti gituan, di Bukittinggi mudah, Da.” kata Herman.   “Oya, mudah gimana?” pancing KabarIndonesia lagi. 

“Kita balik saja ke café tadi. Di depan café banyak gadis-gadis muda yang bisa dibawa dan mendekat ketika dipanggil, apalagi mangsanya bawa mobil, karena aksi mereka lebih aman,” ujarnya. Sepuluh menit kemudian, taksi sampai kembali ke kawasan Jalan A Yani, Kampung Cina.  

Benar kata sopir taksi. Malam semakin beranjak, semakin ramai kawasan itu oleh sekelompok anak muda, pria dan wanita. Berpakaian necis. Di depan café, parkir sederatan sepeda motor. Di pinggiran jalan, mobil-mobil mewah parkir berjejer. Terlihat ada satu mobil berplat merah. Di dalamya duduk tiga anak muda, satu pria dua wanita. Dan, tak jauh dari café, warung-warung penjual nasi goreng, sate maupun pecel lele di kawasan itu ramai ditandangi pembeli.  

Taksi parkir tidak jauh dari Jembatan Limpapeh. Di trotoar, beberapa gadis melintas. Berusia muda dan seksi. Beberapa orang di antaranya masuk ke dalam café, yang lainnya berdiri di sudut-sudut pertokoan yang tutup dan tempat mobil-mobil parkir.   Sekitar sepuluh menit kemudian, dua gadis mendekat ke arah taksi yang ditumpangi KabarIndonesia. “Bang, boleh minta rokok?” kata gadis berambut pirang. Untung saja, sopir taksi memiliki persediaan rokok (kebetulan KabarIndonesia tidak membawa rokok—red).

Sebatang sigaret Sampoerna itu pun diambil dari bungkusnya dan gadis itu membakar dan menghisapnya.   “Diluar dingin, masuk saja ke dalam mobil,” tawar si sopir taksi.   Merasa mendapat peluang, kedua gadis itu masuk. Pintu taksi terbuka dan keduanya duduk di jok bagian belakang. “Iya, diluar dingin.” kata kedua gadis itu.   “Ada rencana ke Payakumbuh, Bang?” tanya gadis berambut panjang.  

“Payakumbuh? Apa tinggal di sana?” tanya KabarIndonesia.   “Iya, kami tadi dari Padang. Singgah di Bukittinggi sebentar, biasalah, kan abang tahu sendiri,” kata gadis berambut panjang sembari tersenyum. Manis.   KabarIndonesia menawarkan sopir taksi jalan-jalan. Kedua gadis malah minta dibawa ke sebuah hotel berbintang di kota wisata itu. Untung saja, si sopir taksi cukup berpengalaman soal mengalihkan alasan gadis-gadis itu. Aman.  

Di dalam taksi, KabarIndonesia berhasil mendapatkan identitas kedua gadis itu. Yang berambut panjang bernama Maya (untuk menjaga etika nama kedua gadis itu disamarkan—red), 29 tahun, dan oleh Laura (bukan nama sebenarnya), 20 tahun, gadis disebelahnya, Maya dipanggil bunda.   Maya sudah pernah menikah, punya satu anak, namun dia ditinggalkan suaminya yang kawin ‘batambuah’. Karena merasa dikhianati, Maya memilih nekat menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK) yang mencari mangsa dari satu kota ke kota lainnya. Di Sumbar, Maya beroperasi di Kota Padang, Kota Bukittinggi dan Payakumbuh.   “Anak saya baru berumur lima tahun dan saya titipkan sama orang lain,” ujar Maya. Wajahnya menunduk.  

Sedangkan Laura mengaku baru mengenal Maya yang juga sama-sama tinggal di Payakumbuh. Laura belum menikah dan sering dibawa Maya ke luar kota. Namun, dia mengaku masih menjaga kegadisannya.   Sesaat kemudian, Laura yang selama di dalam taksi itu tampak gelisah meminjam handphone KabarIndonesia, lalu mengetik dan mengirim SMS ke nomor tujuan 08136335xxxxx. Karena item terkirim tidak ia hapus, KabarIndonesia sempat membaca isi SMS itu.

Bunyinya, “Bang, tunggu telpon aku besok ya. Aku janji tidak bohong lagi. Aku tadi ke Padang dan sekarang di Bukit, kalau abang sempat jemput aku kemari. Balas.” Entah kepada siapa SMS itu ia kirim. Kalau dari isi, tujuannya pada seorang lelaki. Tak jelas, apakah kakaknya, pacarnya, atau juga ia berbohong kalau sebenarnya gadis itu sudah bersuami.

Sampai laporan ini ditulis, tak ada balasan yang diterima ke handphone KabarIndonesia. Laura mengaku tidak membawa HP.   Kota Bukittinggi yang kecil tidak membawa jauh perjalanan itu. Hingga akhirnya, Maya dan Laura minta diantarkan lagi ke café karena ada orang yang menelpon dan janjian di café. Taksi pun berbalik arah menuju kawasan Kampung Cina yang tak pernah sepi, meski dingin malam menjadi saksi bisu remang-remang kehidupan malam di kota itu.