Jumat, 17 Januari 2014

PERPECAHAN ANTARA MASYARAKAT KARENA PENOLAKAN INVESTASI LIPPO GROUP HANYA KHAYALAN ALFIAN JAMRAH

Oleh: Dedi Navis

Tulisan Alfian Jamrah yang dimuat Harian Singgalang tertanggal 17 Desember 2013 dengan judul "Rindu Tokoh Selesaikan Polemik" baru hari ini saya baca karena dipostingkan oleh salah seorang penolak investasi lippo Group di jejaring sosial Facebook. Walaupun sudah satu bulan lamanya, membuat saya tersentak juga untuk menulis karena apa yang dikemukakan Alfian Jamrah cenderung kepada kesalahan persepsi dalam menyikapi cara berpikir orang Minangkabau dalam perbedaan pendapat khususnya mengenai upaya tuntutan pencabutan izin Lippo Group di Padang yang dilakukan lebih dari 40 ormas dan lapisan masyarakat lainnya.

Meskipun Alfian Jamrah mengatakan polemik investasi Lippo Group ini "Seakan-akan sudah saling berhadapan antara pendukung investasi superblok Lippo Group dengan pihak yang tidak menyetujuinya", dalam pikirannya sudah terbersit akan muncul konfilk antar masyarakat Sumatera Barat yang nota bene yang dimaksudnya adalah orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari pandangannya "Jangan sampai menimbulkan perpecahan antara kita di kemudian hari yang bisa mencoreng nama baik Sumatera Barat". Selain itu permintaannya agar petinggi-petinggi orang Minangkabau di dunia politik agar turun tangan menyelesaikan polemik ini juga menunjukkan indikasi ke arah itu.

Kalau dicermati dari awal dimulainya penolakan sampai saat ini, yang dituju para penolak yang tergabung dalam Forum Masyarakat Minangkabau (FMMK) hanya semata kepada Walikota Padang dan DPRD Padang agar izin investasi Lippo Group di Jl. Khatib Sulaiman itu dicabut. Hal itu bisa dilihat dari tujuan demonstrasi yang dilakukan setelah berbagai jalan dialog baik dengan Fauzi Bahar, jajaran SKPD Pemkot Padang dan DPRD Padang mengalami jalan buntu. Pergerakan penolakan malah tidak sedikitpun menyinggung kepada pihak atau lembaga lain yang mendukung investasi Lippo Group. Bahkan media-media massa yang ditenggarai mendukung investasi tersebut tidaklah menjadi bagian dalam sasaran para penolak. Pasca demo besar-besaran tanggal 28 Nopember 2013 dan 3 Desember 2013 memperlihatkan tidak satupun pergerakan mengarah kesana. Keluarga almarhum HMNM Hasyim Ning yang juga bagian dari investasi itu sendiripun tidaklah jadi "sasaran tembak" FMMK, padahal keluarga HMNM Hasyim Ning punya rumah gadang pula di Padang.

Dalam perjalanan proses penolakan investasi itu memang ada berbagai intelektual mencoba untuk menahan laju penolakan agar investasi itu tetap ada, namun pendekatan dilakukan dengan jalan kompromi dengan melakukan berbagai dialog, bukan konfrontasi. Justru yang melakukan konfrontasi yang cenderung menganggap para penolak itu musuh adalah Fauzi Bahar dan beberapa pejabat Pemko padang sendiri. Ucapan-ucapannya yang tidak patut dimuka umum, penempatan anggota Pemuda Pancasila di lokasi bakal proyek serta beredarnya formulir pernyataan dukungan RT dan RW se kota Padang untuk mendukung investasi Lippo Group ketika Fauzi Bahar mengumumkan pencairan anggaran bantuan, menunjukkan indikasi ke arah itu. Terakhir juga beredar formulir pernyataan dukungan ke seluruh pegawai negeri sipil. Jelas disini bahwa Fauzi Baharlah yang patut ditenggarai mencoba membenturkan antar kelompok dalam masyarakat.

Memang benar ada beberapa ormas yang diberitakan begitu keras mendukung investasi Lippo Group ini dan terkesan akan melawan para penolak, tetapi dalam pergaulan sehari-hari, yang teman itu adalah teman. Hal ini saya ketahui ketika pengurus Sekber FMMK yang keras menolak bertemu dengan petinggi ormas tersebut malah bersenda gurau sebagaimana pergaulan mereka sebelumnya.

Alfian Jamrah juga memaknai perpecahan dalam masyarakat yang akan mencoreng nama baik Sumatera Barat dalam upaya penolakan investasi Lippo Group ini. Heran juga apa yang jadi landasannya mengatakan hal demikian. Dalam sejarahnya, setiap konflik yang terjadi di Sumatera Barat ataupun secara kebudayaan Minangkabau, tidaklah pernah mengalami perpecahan masyarakat. Bahkan tidaklah mencoreng nama baik Minangkabau atau Sumatera Barat baik nasional maupun internasional. Konflik PRRI, contohnya. Tidak semua orang Minangkabau yang berperang dengan APRI, malah ada juga yang berkhianat. Kalangan pemerintah dan politisipun tidak ikut berkonflik dengan APRI. Setelah PRRI selesai, antara tentara PRRI dengan pihak pemerintah dan politisi bahkan dengan pengkhianat, seperti tak terjadi apa-apa lagi. Mereka kembali kepada Minangkabau sebagai wilayah pemikiran dan kebudayaan. Rasa malu memang ada, tapi itu bukan karena kalah perang. Rasa malu lebih banyak karena di cap sebagai pengkhianat dan rendah diri karena tak ada pembelaan dari para politisi pusat yang orang-orang Minangkabau itu. Justru politisi pusat itu malah yang menyuruh Minangkabau menyerah dengan istilah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sejak kapan orang Minangkabau mau kembali kepangkuan ibu jika dihadapkan kepada persoalan berat. Dikalangan pengamat militer dan sosial budaya, justru mereka menghargai perjuangan PRRI ini karena pada hakekatnya yang dipertahankan itu adalah harga diri. Namun sayangnya upaya mempertahankan harga diri ini sedikit saja terungkap ke permukaan.

Dalam soal esensi penolakan investasi Lippo Group ini hampir sama jiwanya dengan terjadinya PRRI, yaitu mempertahankan harga diri. Harga diri yang selama ini tidak digubris oleh pemerintah dan para politisi itu.

Dengan demikian, kalau ditilik dari sifat orang Minangkabau menghadapi perbedaan atau konflik sekalipun dan juga perjalanan proses pencabutan izin investasi ini, arah gerakan itu terpusat kepada Walikota Padang. Bukan kepada masyarakat pendukung investasi Lippo Group ini. Dan ini sangat dipicu oleh kegeraman para penolak terhadap sikap pemerintah yang sudah sangat lama mengabaikan aspirasi masyarakat ditambah dengan pemerintah dan politisi yang selalu berbohong.

Jadi dimana letak potensi pecah belah itu? Dan kalau memang terpikir kesana siapa yang memicu konflik itu sebenarnya? Dan kenapa musti malu atau takut nama baik Sumatera Barat akan tercoreng? Yang harus dimalukan itu bukanlah polemik ini, tapi sikap politisi di DPRD Padang yang semula menolak yang mereka katakan menolak secara pribadi-pribadi kemudian mendukung secara institusi. Mental buruk wakil rakyat yang dalam konteks konstitusinya adalah penjaga marwah kehidupan masyarakat banyak.

Depok, 16 Januari 2014.

********

Mudah2an tulisan saya ini dibaca oleh kawan saya Khairul Jasmi, Pimred Harian Singgalang untuk dimuat di harian yang beliau kelola.