Kamis, 16 Januari 2014

Berita Singgalang


Jalan Khatib Sulaiman

Tanggal 15 January 2014      
FACHRUL RASYID HF — Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XIII di Padang, Mei 1983, sudah berlalu 30 tahun. Mungkin banyak generasi muda Minangkabau yang tak mengenal MTQ XIII ini jadi salah satu power of spirit social development Ranah Minang pascapergolakan PRRI yang berpengaruh besar baik secara fisik maupun psikologis bagi sukses pembangunan Padang dan Sumatera Barat kemudian.
Betapa tidak, secara fisik Padang, saat itu, dipimpim Walikota Hasan Basri Durin. Ia baru saja memperluas wilayah kota dari tiga jadi 11 kecamatan.
Namun geliat perkotaan masih di sekitar Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Itu ditandai gerakan K3 (kebersihan, ketertiban dan keamanan), perluasan Pasar Raya dan relokasi Perguruan Adabiah dari Pasar Raya Timur ke Kelurahan Jati.
Sementara kawasan Padang Baru yang kemudian jadi areal GOR Agus Salim kala itu masih bernama Rimbo Kaluang, daerah berawa dan berhutan, jadi hunian kalong dan dianggap angker. Inilah kemudian yang disulap jadi arena MTQ Nasional XIII, sebuah usaha besar yang tak terbayangkan sebelumnya.
Secara psikologis, MTQ Nasional itu memicu semangat dan kekompakan masyarakat untuk membuktikan kepada pemerintah bahwa Sumatera Barat yang sebelumnya dibayangi kecurigaan pada PRRI bisa memberikan yang terbaik. Karena itu Gubernur, kala itu, Azwar Anas dan Sekwilda Sjoerkani, berbekal semangat Manunggal Sakato, menjadi mudah mengajak semua lapisan masyarakat di kampung maupun di rantau berpartisipasi, moril dan materil, menyukseskan MTQ tersebut. Bahkan semua lelaki, termasuk sopir bus umum dan sopir truk memakai kupiah sepanjang helat akbar itu. Bangganya waktu itu, sulit menuliskannya sekarang.
Semua instansi pemerintahan, TNI, pengusaha, seniman/budayawan dan pejabat pemerintahan kabupaten/kota bekerja sesuai dengan bidang masing-masing. Infrastruktur ditangani Kakanwil PU, saat itu, Sabri Kasim.
Urusan pengadaan listrik di bawah koordinasi Zul Afi Hajar, Pimwil PLN Sumbar Riau dan Yanuar Muin, Kepala PLN Pikitring Sumbar Riau. Semua itu dibawah koordinasi Kasdam 17 Agustus Kolonel Inf. Ali Geno.
Sementara pembangunan fisik berlangsung, para ulama dan pemuka adat terus membangun kesiapan masyarakat menghadapi tetamu yang akan datang dari seluruh provinsi. Para seniman yang bermarkas di Taman Budaya menyiapkan hiasan/ukiran dan keseniaan selama MTQ.
Penyanyi Eli Kasim dan suaminya Nazif Basir, mempersiapkan ratusan penari massal pembukan dan penutupan MTQ. Dan, wartawan di bawah koordinasi Sjahrul Ujud, kala itu Kepala Kantor Sospol Padang dan Kabiro Humas Pemda Sumbar Nazif Lubuk, terus meliput tiap kegiatan MTQ dengan satu semangat: membangun marwah Ranah Minang.
Hasilnya, luar biasa. MTQ yang dibuka Presiden Soeharto itu sukses dengan kelegaan dan kepuasan jiwa masyarakt Minangkabau tanpa gangguan sejarum pun. Yang tersisa kemudian, secara fisik adalah stadion yang kemudian dinamai H. Agus Salim, gedung olahraga dan kawasan hijau dengan tata ruang yang nyaman.
Tak hanya itu, kawasan Lolong dan Balanti yang kala itu masih berupa daerah pertanian dan tanah kosong tertata jadi kawasan pemukiman elit yang menyatu dengan arena MTQ.
Selain itu, berkat MTQ pula terbangun Jalan Raden Saleh dua jalur menyambung ke Jalan Pasar Alai. Jalan Rasuna Said diperlebar dan diteruskan ke jalan baru dua jalur yang kemudian diberinama Jalan Khatib Sulaiman. Karena itu, tak salah kalau dikatakan Jalan Khatib Sulaiman dibangun dan dibiayai dengan dana dan semangat MTQ.
Khusus Jalan Khatib Sulaiman oleh Dinas Tata Ruang dan Tata Bangungunan Padang, di bawah Zulfi Syarif, semula dipatok jadi kawasan perkantoran provinsi sebagai land mark kota. Namun kemudian, karena setelah sore jalan ini sepi dan rawan kejahatan, dibolehkan membuka bangunan rumah makan dan restoran.
Manakala kini di pangkal Jalan Khatib Sulaiman itu berdiri Masjid Raya, maka selayaknya pula masjid megah dan besar itu dinaimai Masjid Raya Moh. Natsir, pahlawan nansional yang pernah menjabat Presiden Dunia Islam (Rabithah Alam Islami), mengiringi nama H. Agus Salim, Khatib Sulaiman, Prof. Hamka yang sudah dibadikan.
Kelak, bangunan lain tentu bisa dinamai dengan tokoh nasional asal Minang yang lain, bukan dengan nama-nama di luar itu. Dengan begitu semangat para pemimpin Sumatera Barat dan marwah MTQ yang menjadi simbol kekompakan masyarakat Minang tetap terpelihara. (*)