Kekuatan Prabowo Ditinggal SBY dan Skenario MK Akhiri Karir Politik Prabowo
Sejak usai pencoblosan tanggal 9 Juli 2014, penulis telah memastikan Prabowo-Hatta akan menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Dan benar. Sementara itu, dalam perkembangan dramatis ternyata Presiden SBY meninggalkan Prabowo setelah Presiden Barack Obama mengucapkan selamat atas kemenengan Jokowi-JK melalui SBY. Bagaimana nasib Prabowo setelah gugatan di Mahkamah Konstitusi dan skenario karir politik pasca kekalahannya?
Perkembangan politik begitu dinamis. Tuntutan penundaan pengumuman rekapitulasi dan pengaduan ke Mabes Polri oleh Prabowo rupanya hanya akan menjadi salah satu catatan terakhir kiprah Prabowo di dunia politik Indonesia. Langkah kedua menolak hasil pilpres dan menuntut KPU untuk pilpres ulang melalui Mahkamah Konstitusi - dengan mengharapkan kenekatan Hamdan Zoulva yang merupakan mantan pentolan Partai Bulan Bintang (PBB) tempat calon tersangka koruptor MS Kaban mendukung Prabowo - akan menemui jalan terjal penuh ilusi. Kenapa demikian?
Menang pilpres juga belum. Pengumuman pemenang oleh KPU juga belum. Gugatan sudah diniatkan di Mahkamah Konstitusi. Bahkan KPU pun sore ini akan dilaporkan ke Mabes Polri. Yang menjadi pertanyaan begitua hebatkah seorang Prabowo membangun opini politik tentang dirinya yang menang di tengah fakta kekalahan.
Memang selama kampanye Pilpres selama dua bulan, Prabowo - juga Hatta - telah menjadi ‘like real president and vice president’ dalam sikap dan tingkah laku. Sebagai capres dan cawapres, Prabowo-Hatta telah menampilkan sosok pas: berwibawa, tegas, penuh percaya diri, dan retoris.
Tampilan Prabowo-Hatta yang sangat gemerlap dan penuh daya tarik kekuasaan, menggambarkan kekuatan, kepandaian, kecerdasan dan keyakinan kuat menemui tautannya. Prabowo didukung oleh para partai yang gegap-gempita dan penuh percaya diri ubyang-ubyung ke sana ke mari. Aburizal Bakrie, Anis Matta, Suryadharma Ali, MS Kaban dan Mahfud MD menghiasi para tokoh lain. Daya tarik Prabowo menarik para purnawirawan jenderal seperti Suryo Prabowo, Kivlan Zen, dan beberapa jenderal lain. Sisanya mayoritas jenderal sebanyak 170 jenderal purnawirawan termasuk Agum Gumelar, Wiranto, Fahrurrazzi, dan SBY memihak Jokowi.
Prabowo tampil menjadi orang kuat. Prabowo sangat percaya diri. Prabowo telah menjadi pemenang pilpres. Di tengah upaya demokratis ikut pemilihan presiden sebagai calon presiden Prabowo dianggap memiliki kekuatan politik. Sebenarnya, kekuatan Prabowo hanyalah berupa ‘potensi berkuasa’ dan ‘potensi kekuatan’ dan ‘potensi menjadi presiden’ yang sangat besar.
Perhitungan politik kekuatan Koalisi Tenda Besar - yang berganti di tengah jalan dengan nama Koalisi Merah Putih dengan lambang elang Cap Lang - yang 58% telah membuat kesan ‘kekuatan’ Prabowo terbentuk. Prabowo dianggap sebagai kekuatan politik. Prabowo menjadi calon paling potensial untuk menjadi the next president of the Republic of Indonesia.
Perasaan dan asumsi untuk menang - dengan cara pandang Prabowo dan Timses-nya - telah menjadikan kemenangan sebagai presiden RI dianggap sudah ada di genggaman Prabowo-Hatta. Bahwa Prabowo sebagai Presiden RI dengan segala kemewahan dan kemegahan seorang presiden RI telah terbentuk di dalam diri Prabowo.
Maka ketika hasil Quick Count dan Real Count Pilpres tanggal 9 Juli 2014 gagal memenangkan Prabowo-Hatta, keterkejutan berubah menjadi kekesalan. Kondisi psikologis Prabowo yang terguncang ditambah lagi oleh SBY yang meninggalkan dirinya: dari mendukung menjadi netral atau sebenarnya mendukung Jokowi sebagai pemenang - SBY tahu pemenang Pilpres 2014 adalah Jokowi karena SBY memiliki instink politik kuat.
Lebih parah lagi, pasukan Timses di belakang Prabowo seperti Aburizal Bakrie, bahkan Mahfud MD, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, MS Kaban, Suryadharma Ali dan Fadli Zon membuat Prabowo lebih percaya diri bahwa dia sebagai pemenang pilpres. Mereka semua meyakinkan Prabowo bahwa Prahara menang. Bahkan mereka mengarahkan dan mendukung Prabowo untuk tidak mau menerima kekalahan dan menuntut kemenangan lewat gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkembangan lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah condong meninggalkan Prabowo dan berlabuh kepada Jokowi. Kemarin, Minggu 20 Juli 2014, Mahfud MD telah mengakui kekalahan Prabowo dan tugas gagalnya telah usai: dia akan segera pergi meninggalkan Prabowo. Golkar telah menunjukkan akan pecah dan mendukung Jokowi, juga PPP. Partai Demokrat dan PAN pun pada akhirnya akan mendukung Jokowi. Koalisi Merah Putih hanya akan menyisakan Prabowo, Fadli Zon dengan Gerindra dan PKS.
Hasil Quick Count lembaga survei dan Real Count KPU menunjukkan kekalahan Prabowo pun tidak dianggap. Di sisi lain, Prabowo telah membangun dirinya sebagai pemenang dan memiliki kekuatan layaknya seorang presiden. Padahal semua tahu bahwa Prabowo hanyalah capres yang berpotensi menang, bukan pemenang pilpres.
Merasa memiliki kekuatan memaksa, Prabowo melaporkan ke Mabes Polri. Bahkan dalam tiga hari ke depan Prabowo-Hatta akan mengadukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi menuntut MK memutuskan melakukan Pilpres ulang. Tindakan Prabowo yang merasa kuat ini sebenarnya sangat tidak realistis dan justru akan mengakhiri kiprah politik Prabowo selamanya.
Sesungguhnya Prabowo hanyalah seorang sipil yang habis kalah dalam pilpres. Potensi kekuatan, kekuasaan, ketegasan, kehebatan, dan oratoritas Prabowo telah sirna. Prabowo bahkan tidak diindahkan oleh KPU. KPU jalan terus dan tak menggubris permintaan Prabowo menunda rekapitulasi. Prabowo lupa bahwa kekuatan, ketegasan, kekuasaan, dan kehebatan, itu telah berada pada diri Presiden terpilih yakni Jokowi.
Panglima Tertinggi TNI SBY, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kepala Polri Jenderal Sutarman pun dipastikan akan bertindak netral dan lebih condong menjaga keamanan dan ketertiban demi keamanan negara dan bangsa. Prabowo tak lebih menarik daripada Jokowi yang berdasarkan pengumpulan rekapitulasi dan - pengumuman resmi KPU - menjadi pihak yang kalah. Jokowi yang memenangi Quick Count dan Real Count sebagai presiden RI jelas memiliki potensi menjadi Panglima Tertinggi TNI yang akan menjadi atasan Jenderal Moeldoko dan Kapolri Jenderal Sutarman.
Kini semua orang berdiam diri. Kini Suryo Prabowo, Fadli Zon, Fahri Hamzah akan lebih menahan diri karena hati nurani mereka tahu bahwa Jokowi adalah presiden terpilih.
Maka, bangunan upaya Prabowo memenangi kursi kepresidenan selama tiga bulan terakhir yang gegap gempita akan segera surut kurang dari 24 jam sejak sekarang. Pengumuman kemenangan Jokowi hanya akan menjadi tanda terakhir upaya gegap gempita semarak Prabowo-Hatta. Ketika Prabowo merasa memiliki kekuatan - seperti potensi ketika masih menjadi capres - dan Mahkamah Konstitusi dianggap mampu membela Prahara, maka di situlah akhir dari kiprah Prabowo dalam perpolitikan Indonesia.
Walaupun di MK ada Hamdan Zoulva yang orang PBB, namun kekuatan SBY, Jenderal Moeldoko, Jenderal Sutarman dan opini Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia yang telah diumumkan KPU dan Jokowi akan menjadi Panglima Tertinggi TNI, dipastikan tak akan mampu membuat Hamdan Zoulva nekad membuat keputusan menyuruh pilpres ulang di seluruh Indonesia seperti yang diinginkan oleh Prabowo. Jangankan Hamdan Zoulva, Husni Kamil Manik saja tak menggubris protes Prabowo yang meminta rekapitulasi suara 33 provinsi - Kalut masih bergabung dengan Kaltim - ditunda dan rekapitulasi jalan terus.
Diyakini, Hamdan Zoulva hanya akan memutuskan bahwa ‘tidak ditemukan bukti-bukti otentik kecurangan pemilu yang bersifat masif, terstruktur dan sistematis’. Dengan demikian langkah Prabowo maju menggugat ke Mahkamah Konstitusi - meskipun itu hak konstitusional dan legal - secara politis telah membunuh dan mengakhiri kiprah Prabowo secara politis di pangggung kekuasaan presiden RI.
Jadi sebenarnya, begitu kalah oleh Jokowi, kekuatan Prabowo hanyalah Ketua Dewan Pembina Gerindra. Sementara Jokowi berubah menjadi Presiden RI yang berkuasa memimpin bangsa, dan Jokowi akan menjadi Panglima Tertinggi TNI membawahi TNI dan Polri. Jadi upaya menolak hasil pilpres hanya akan merugikan nama baik dan nama besar Prabowo.
Demikian pula sikap Prabowo maju menggugat hasil Pilpres yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan secara berjenjang ke Mahkamah Konstitusi hanya tak akan mengubah Joko Widodo menjadi Presiden RI ke-7 dan Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden RI, selain merugikan nama baik Prabowo sendiri yang tak legowo menerima kekalahan. Dan, Prabowo hanyalah orang sipil dan warga negara yang baik yang tak memiliki kekuasaan layaknya presiden SBY atau presiden terpilih Jokowi- meskipun pada saat kampanye merasa sudah seperti presiden itu urusan lain.