"Pertanyaan terakhir, mengapa Jusuf Wanandi dan CSIS jor-joran memastikan kemenangan Jokowi-JK? Jawabannya ada pada kalimat penutup otobiografi Jusuf Wanandi berjudul Shades of Grey pada halaman 287, yang dikutip berikut:
“Like Sofjan, I still carry my mission in life, even in retirement. I still want to understand the issues, to meet new people, to learn new things and to somehow make things better. I have a few years left in me; I have not finished yet”
Jusuf Wanandi memang cukup pintar untuk tidak menyebut secara gamblang misi hidup yang dia maksud, tapi sekarang sudah cukup jelas bahwa misi hidup terakhir bagi Jusuf Wanandi adalah menghalangi kenaikan Prabowo Subianto yang pada akhir 80an sampai 90an pernah menghancurkan impian kelompok CSIS dan Benny Moerdani untuk mendeislamisasi Indonesia dan menguasai NKRI. Pernyataan ini bukan omong kosong, sebab George Junus Aditjondro pernah mengeluarkan sebuah kesimpulan bahwa Wanandi bersaudara adalah ekstrem kanan:
“So, in a nutshell, Jusuf Wanandi and the two brothers about whom I have enough knowledge, Sofyan Wanandi and Markus Wanandi, are certainly not democrats, but rather three of the most effective destroyers of democracy in Indonesia (apart from the military and many other civilian anti-democrats). They are very right wing, they have certainly approved if not supported the anti-leftist purge in Indonesia in 1965-1966, and unlike some others of that generation, are still very proud of that ‘achievement,’
then they also showed their very anti-Muslim attitude, by destroying the original Muslim parties and thereby had to destroy also the Christian political parties, and then they played a very important role in crushing nationalist feelings among the West Papuan and the Maubere peoples.”
then they also showed their very anti-Muslim attitude, by destroying the original Muslim parties and thereby had to destroy also the Christian political parties, and then they played a very important role in crushing nationalist feelings among the West Papuan and the Maubere peoples.”
Jokowi, Pertaruhan Terakhir Jusuf Wanandi
OPINI | 11 July 2014 | 22:10 Dibaca: 2889 Komentar: 4 5
Artikel ini untuk menanggapi kisruh quick count akibat pernyataan kemenangan prematur kubu Jokowi-JK yang menurut saya membuat situasi politik memasuki level berbahaya. Oleh karena itu bila artikel ini tidak ada perkembangan lain maka tulisan ini akan menjadi tulisan terakhir saya di Kompasiana yang sesungguhnya.
Dukungan resmi harian The Jakarta Post yang dikendalikan CSIS kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla membuktikan kebenaran analisa saya bahwa sosok misterius di belakang berbagai peristiwa yang melontarkan karir Jokowi dari Walikota Solo hingga menjadi capres dalam dua tahun, termasuk kedatangan agen CSIS bernama Agus Widjojo atas perintah Luhut Panjaitan yang belakangan ketiganya mendirikan usaha misterius tahun 2008 adalah CSIS, lembaga tanki pemikir (think tank) yang didirikan agen CIA bernama Pater Beek itu. Tentu saja dukungan purnawirawan jenderal klik Moerdani yang dekat dengan CSIS, antara lain Sutiyoso; Fachrul Razi; Ryamizard Ryacudu; Agum Gumelar; AM Hendropriyono; anak Theo Syafei (Andi Widjojanto); Agus Widjojo, Fahmi Idris; Luhut Binsar Panjaitan; Tyasno Sudarto; Soebagyo HS; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin dll kepada pencapresan Jokowi-Jusuf Kalla semakin memperlihatkan kuatnya kendali CSIS mencengkram Jokowi.
Pemimpin CSIS adalah orang-orang yang telah berhasil memenangkan Perpera di Papua hingga masuk menjadi propinsi di Indonesia serta sukses memenangkan Golkar pada pemilu pertama di masa Orde Baru padahal kala itu masih banyak partai politik besar peninggalan Orde Lama. Jadi bisa dibilang mengolah strategi jitu guna memenangkan plebisit seperti pemilu memang keahlian CSIS yang pernah mereka gunakan untuk memenangkan Golkar selama puluhan tahun.
Tapi mengapa CSIS memilih Jokowi sebagai capres Indonesia? Apakah karena Jokowi pemimpin terbaik yang dimiliki negara ini? Dilihat dari Laporan Audit BPK terhadap Pengelolaan APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013, Jokowi jelas adalah pemimpin yang sangat buruk sebab BPK menemukan dalam satu tahun pemerintahan Jokowi, aset Jakarta merosot dari Rp. 342trilyun menjadi Rp. 331trilyun; BPK juga menemukan ada 86 transaksi tidak wajar yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 1,54trilyun; kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp. 95,01miliar dan 3E (tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis) menyebabkan kerugian sebesar Rp. 23,13miliar. Selain itu banyak dari realisasi belanja APBD DKI Jakarta itu yang tidak didukung dengan bukti pertanggung jawaban.
Selanjutnya ICW menemukan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) belum tepat sasaran karena dari total 405ribu siswa penerima KJP tahun 2013, sedikitnya 19,4% bukan pihak yang berhak menerima bantuan atau salah sasaran. Permasalahan yang sama terjadi saat Jokowi menjabat Walikota Solo yang berdasarkan kesaksian Wahyu Nugroho, konsultan yang mengerjakan sistem Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS) bahwa terdapat kecurangan pada BPMKS karena siswa tidak mampu hanya berjumlah 65ribu orang, namun data yang diberikan oleh Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kota Solo kepada dirinya ada 110ribu siswa, itupun banyak nama siswa ganda dan nama siswa fiktif, sehingga merugikan daerah sekitar Rp. 12,4miliar.
Temuan BPK di atas belum termasuk fakta bahwa salah satu buah kebijakan Jokowi selaku Gubernur DKI adalah dalam setahun utang luar negeri Pemprov DKI menumpuk untuk sekedar membiayai mega proyek pencitraan Jokowi yang hari ini semuanya mangkrak sebesar Rp. 75trilyun yang mana Rp. 35trilyun adalah untuk impor 656 unit Bus TransJakarta dan Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB) dari China yang karatan dan gampang rusak itu; dan proyek Mass Rapit Transit yang berutang kepada pemerintah Jepang, pembangunan monorel dan pengerukan 13 kali/sungai. Yang lebih parah Jokowi telah menetapkan Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020 dengan biaya 1,4trilyun yen atau Rp. 394trilyun dengan sumber utangan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Selain itu selama debat capres berlangsung terlihat dari jawaban-jawaban Jokowi bahwa dia tidak menguasai masalah, asal bunyi, dan atas hal ini Hatta Taliwang, Direktur Institute Ekonomi Politik Soekarno Hatta menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia telah disuguhkan calon pemimpin yang tidak kapabel memimpin Indonesia dan tertipu karena Jokowi tidak mempunyai kemampuan menjadi presiden. Contoh jawaban asal bunyi tersebut adalah berupa program andalan Jokowi untuk mengadakan drone yang hanya bisa dioperasikan dengan satelit sedangkan satu-satunya satelit Indonesia adalah milik Indosat yang dijual murah pada zaman Presiden Megawati sebesar Rp. 5trilyun padahal sekarang bernilai Rp. 100trilyun.
Majalah Time sendiri mengatakan bahwa Jokowi bukan pemimpin yang bagus-bagus amat http://time.com/105650/indonesias-obama-is-actually-nothing-of-the-sort/. Jadi sudah cukup jelas bahwa Jokowi sebenarnya bukan seorang pemimpin yang baik, bukan pemimpin yang bijaksana dan tidak memiliki kecakapan atau kompetensi mengurus negara ini. Kalau demikian mengapa CSIS dan pemimpinnya Jusuf Wanandi memajukan Jokowi sebagai capres untuk memimpin negeri ini? George Junus Aditjondro, saudara seperguruan Wanandi bersaudara (Markus, Jusuf, Sofyan) di Kasebul dalam artikel berjudul: CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani, memberi petunjuk kriteria orang yang digunakan oleh CSIS:
“[CSIS] memilih bukan orang terbagus yang ada untuk jadi kader, tapi orang-orang yang punya cacat atau kekurangan, (orang yang ketahuan korup, punya skandal, bekas pemberontak, mereka yang ingin kuasa, ingin jabatan, ingin kaya cepat, dan sebagainya). Orang-orang demikian mudah diatur…”
Benar, CSIS, Jusuf dan Sofyan Wanandi serta The Jakarta Post mendukung Jokowi bukan karena dia pemimpin terbaik negara ini, tapi justru karena Jokowi adalah manusia rakus jabatan dan rakus harta tapi tidak memiliki kemampuan yang memadai sehingga mudah dikendalikan oleh CSIS. Bagaimanapun filosofi CSIS yang terkenal adalah “Kuda boleh berganti, tapi jokinya harus tetap,” yang berarti presiden boleh berganti namun pengendali mereka harus tetap yaitu CSIS. Singkatnya Jokowi adalah pemimpin boneka yaitu capres boneka CSIS, atau meminjam istilah CSIS sendiri, Jokowi adalah kuda tunggangan CSIS untuk menguasai Republik Indonesia.
Keberadaan CSIS menjelaskan alasan dana kampanye Jokowi yang seperti tidak ada habisnya sebab dia memperoleh dukungan ratusan cukong-cukong terkaya di negeri ini. Darimana datangnya keajaiban para cukong berbondong mendukung Jokowi yang tidak memiliki prestasi apapun dan tidak punya kemampuan itu? tentu saja hal tersebut berkat jasa Sofyan Wanandi yang adalah pemimpin para cukong Indonesia sejak masa Orde Baru sebab dia adalah juru bicara Yayasan Prasetya Mulya dan pada masa reformasi dia adalah Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Contoh kampanye extravagan ala Jokowi yang menunjukan dana kampanye luar biasa melimpah: pembuatan dan menyiarkan iklan ilegal Bintang Toejoeh di seluruh televisi Indonesia; memakai pesawat pribadi untuk pergi ke luar Jakarta; pemasangan iklan di Facebook sebesar Rp. 8miliar/hari sejak Maret 2014 sampai hari ini; pemasangan iklan dan banyak website buatan Jasmev di semua website milik google (google plus, adsense google, youtube dll) sebesar Rp. 40miliar/hari; memodifikasi mesin pencarian demi menimbun berita negatif tentang Jokowi; menyewa 200 artis untuk konser akbar di Gelora Senayan; menyewa Kartika Djoemadi dari PT Spindoctors Indonesia untuk membentuk dan memelihara pasukan dunia maya bernama Jasmev dari 2012 sampai sekarang; menyewa konsultan politik yang menyamar sebagai lembaga survei seperti Saiful Mujani (SMRC), Eep Saefulloh Fatah (Pollmark), Denny JA dan Kuskridho Ambardi (LSI), Burhanuddin Muhtadi (Indikator Politik Indonesia), Hasan Batupahat (Cyrus Network) dll.
Keberadaan CSIS, dalang kerusuhan Malari, penjajahan Timor Leste hingga Kerusuhan 13-14 Mei 1998 menjelaskan alasan psywar dan operasi intelijen digunakan secara masif demi memastikan kemenangan Jokowi-JK, dengan contoh teranyar adalah psywar terhadap Prabowo-Hatta melalui lembagai survei pendukung Jokowi-JK (SMRC, LSI, Cyrus Network), Metro TV, dan Jasmev untuk menggiring legitimasi hasil “quick count” yang mereka lemparkan ke publik sebagai kebenaran sementara hasil real count dari Prabowo-Hatta adalah salah, termasuk mengolok-ngolok TVOne yang menyiarkan hasil quick count versi kubu Prabowo-Hatta. Terakhir melalui pemimpin survei bayaran/konsultan politik bernama Burhanuddin Muhtadi dengan pongah berani mengatakan bahwa bila KPU mengalahkan Jokowi-JK maka hasil tersebut pasti salah.
Hebat dan jumawa sekali pasukan Jokowi-JK, padahal pencetus metode quick count pada Pemilu 1997, yaitu mantan peneliti LP3ES, Agung Prihatna menemukan kejanggalan quick count versi Jokowi-JK yang telah menjadikan Jokowi sebagai Presiden versi Quick Count tersebut, antara lain:
Pertama: pada awal Juli 2014 sudah mulai keluar pernyataan dari pihak Jokowi-JK bahwa ada indikasi kecurangan.
Kedua: pada masa tenang ada tiga lembaga survei, yaitu: Charta Politica, SMRC, LSI yang pimpinannya secara terbuka berafiliasi ke capres nomor urut 2, mengumumkan Jokowi-JK unggul 3 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Ketiga: pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei seperti CSIS-Cyrus Network bersama-sama mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul 3 persen dari capres nomor urut 1. Bahwa saat ini pertama kalinya ada pihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen.
Menurut Agung, untuk menyampaikan informasi sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu s.d. tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot. Hal itu mengingat tidak semua daerah zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.
Pertanyaan terakhir, mengapa Jusuf Wanandi dan CSIS jor-joran memastikan kemenangan Jokowi-JK? Jawabannya ada pada kalimat penutup otobiografi Jusuf Wanandi berjudul Shades of Grey pada halaman 287, yang dikutip berikut:
“Like Sofjan, I still carry my mission in life, even in retirement. I still want to understand the issues, to meet new people, to learn new things and to somehow make things better. I have a few years left in me; I have not finished yet”
Jusuf Wanandi memang cukup pintar untuk tidak menyebut secara gamblang misi hidup yang dia maksud, tapi sekarang sudah cukup jelas bahwa misi hidup terakhir bagi Jusuf Wanandi adalah menghalangi kenaikan Prabowo Subianto yang pada akhir 80an sampai 90an pernah menghancurkan impian kelompok CSIS dan Benny Moerdani untuk mendeislamisasi Indonesia dan menguasai NKRI. Pernyataan ini bukan omong kosong, sebab George Junus Aditjondro pernah mengeluarkan sebuah kesimpulan bahwa Wanandi bersaudara adalah ekstrem kanan:
“So, in a nutshell, Jusuf Wanandi and the two brothers about whom I have enough knowledge, Sofyan Wanandi and Markus Wanandi, are certainly not democrats, but rather three of the most effective destroyers of democracy in Indonesia (apart from the military and many other civilian anti-democrats). They are very right wing, they have certainly approved if not supported the anti-leftist purge in Indonesia in 1965-1966, and unlike some others of that generation, are still very proud of that ‘achievement,’
then they also showed their very anti-Muslim attitude, by destroying the original Muslim parties and thereby had to destroy also the Christian political parties, and then they played a very important role in crushing nationalist feelings among the West Papuan and the Maubere peoples.”
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/11/0071.html
Mengenai apakah Wanandi bersaudara dan CSIS akan memperoleh keinginan mereka dan memenangkan pertaruhan membawa capres tunggangan ke kursi presiden tentu harus menunggu pengumuman KPU dan (mungkin) putusan Mahkamah Konstitusi. Kendati demikian saya cukup puas sebab seandainya Jokowi-Jusuf Kalla menang, namun kemenangan tersebut sama sekali tidak muda diperoleh sebab CSIS harus mengeluarkan semua kemampuan, daya dan upaya sampai titik penghabisan dengan mempertaruhkan semua modal mereka walaupun perhitungan awal CSIS bisa menang mudah dan tebal melalui politisasi kasus 1998, tapi ternyata hanya sebagian rakyat Indonesia yang tertipu oleh ilusi CSIS.
Apapun hasil pilpres 2014, yang jelas setelah pilpres usai semua informasi rahasia terkait perbuatan CSIS di masa lalu dari Malari sampai penciptaan sosok Jokowi akan dibuka lebar bagi rakyat Indonesia dan akan ada upaya hukum membubarkan CSIS serta membawa keluarga Wanandi ke meja hijau.
Dukungan resmi harian The Jakarta Post yang dikendalikan CSIS kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla membuktikan kebenaran analisa saya bahwa sosok misterius di belakang berbagai peristiwa yang melontarkan karir Jokowi dari Walikota Solo hingga menjadi capres dalam dua tahun, termasuk kedatangan agen CSIS bernama Agus Widjojo atas perintah Luhut Panjaitan yang belakangan ketiganya mendirikan usaha misterius tahun 2008 adalah CSIS, lembaga tanki pemikir (think tank) yang didirikan agen CIA bernama Pater Beek itu. Tentu saja dukungan purnawirawan jenderal klik Moerdani yang dekat dengan CSIS, antara lain Sutiyoso; Fachrul Razi; Ryamizard Ryacudu; Agum Gumelar; AM Hendropriyono; anak Theo Syafei (Andi Widjojanto); Agus Widjojo, Fahmi Idris; Luhut Binsar Panjaitan; Tyasno Sudarto; Soebagyo HS; Wiranto; TB Silalahi; TB Hasanuddin dll kepada pencapresan Jokowi-Jusuf Kalla semakin memperlihatkan kuatnya kendali CSIS mencengkram Jokowi.
Pemimpin CSIS adalah orang-orang yang telah berhasil memenangkan Perpera di Papua hingga masuk menjadi propinsi di Indonesia serta sukses memenangkan Golkar pada pemilu pertama di masa Orde Baru padahal kala itu masih banyak partai politik besar peninggalan Orde Lama. Jadi bisa dibilang mengolah strategi jitu guna memenangkan plebisit seperti pemilu memang keahlian CSIS yang pernah mereka gunakan untuk memenangkan Golkar selama puluhan tahun.
Tapi mengapa CSIS memilih Jokowi sebagai capres Indonesia? Apakah karena Jokowi pemimpin terbaik yang dimiliki negara ini? Dilihat dari Laporan Audit BPK terhadap Pengelolaan APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013, Jokowi jelas adalah pemimpin yang sangat buruk sebab BPK menemukan dalam satu tahun pemerintahan Jokowi, aset Jakarta merosot dari Rp. 342trilyun menjadi Rp. 331trilyun; BPK juga menemukan ada 86 transaksi tidak wajar yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 1,54trilyun; kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp. 95,01miliar dan 3E (tidak efektif, tidak efisien dan tidak ekonomis) menyebabkan kerugian sebesar Rp. 23,13miliar. Selain itu banyak dari realisasi belanja APBD DKI Jakarta itu yang tidak didukung dengan bukti pertanggung jawaban.
Selanjutnya ICW menemukan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) belum tepat sasaran karena dari total 405ribu siswa penerima KJP tahun 2013, sedikitnya 19,4% bukan pihak yang berhak menerima bantuan atau salah sasaran. Permasalahan yang sama terjadi saat Jokowi menjabat Walikota Solo yang berdasarkan kesaksian Wahyu Nugroho, konsultan yang mengerjakan sistem Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS) bahwa terdapat kecurangan pada BPMKS karena siswa tidak mampu hanya berjumlah 65ribu orang, namun data yang diberikan oleh Dinas Pendidikan dan Olah Raga Kota Solo kepada dirinya ada 110ribu siswa, itupun banyak nama siswa ganda dan nama siswa fiktif, sehingga merugikan daerah sekitar Rp. 12,4miliar.
Temuan BPK di atas belum termasuk fakta bahwa salah satu buah kebijakan Jokowi selaku Gubernur DKI adalah dalam setahun utang luar negeri Pemprov DKI menumpuk untuk sekedar membiayai mega proyek pencitraan Jokowi yang hari ini semuanya mangkrak sebesar Rp. 75trilyun yang mana Rp. 35trilyun adalah untuk impor 656 unit Bus TransJakarta dan Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB) dari China yang karatan dan gampang rusak itu; dan proyek Mass Rapit Transit yang berutang kepada pemerintah Jepang, pembangunan monorel dan pengerukan 13 kali/sungai. Yang lebih parah Jokowi telah menetapkan Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020 dengan biaya 1,4trilyun yen atau Rp. 394trilyun dengan sumber utangan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Selain itu selama debat capres berlangsung terlihat dari jawaban-jawaban Jokowi bahwa dia tidak menguasai masalah, asal bunyi, dan atas hal ini Hatta Taliwang, Direktur Institute Ekonomi Politik Soekarno Hatta menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia telah disuguhkan calon pemimpin yang tidak kapabel memimpin Indonesia dan tertipu karena Jokowi tidak mempunyai kemampuan menjadi presiden. Contoh jawaban asal bunyi tersebut adalah berupa program andalan Jokowi untuk mengadakan drone yang hanya bisa dioperasikan dengan satelit sedangkan satu-satunya satelit Indonesia adalah milik Indosat yang dijual murah pada zaman Presiden Megawati sebesar Rp. 5trilyun padahal sekarang bernilai Rp. 100trilyun.
Majalah Time sendiri mengatakan bahwa Jokowi bukan pemimpin yang bagus-bagus amat http://time.com/105650/indonesias-obama-is-actually-nothing-of-the-sort/. Jadi sudah cukup jelas bahwa Jokowi sebenarnya bukan seorang pemimpin yang baik, bukan pemimpin yang bijaksana dan tidak memiliki kecakapan atau kompetensi mengurus negara ini. Kalau demikian mengapa CSIS dan pemimpinnya Jusuf Wanandi memajukan Jokowi sebagai capres untuk memimpin negeri ini? George Junus Aditjondro, saudara seperguruan Wanandi bersaudara (Markus, Jusuf, Sofyan) di Kasebul dalam artikel berjudul: CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan LB Moerdani, memberi petunjuk kriteria orang yang digunakan oleh CSIS:
“[CSIS] memilih bukan orang terbagus yang ada untuk jadi kader, tapi orang-orang yang punya cacat atau kekurangan, (orang yang ketahuan korup, punya skandal, bekas pemberontak, mereka yang ingin kuasa, ingin jabatan, ingin kaya cepat, dan sebagainya). Orang-orang demikian mudah diatur…”
Benar, CSIS, Jusuf dan Sofyan Wanandi serta The Jakarta Post mendukung Jokowi bukan karena dia pemimpin terbaik negara ini, tapi justru karena Jokowi adalah manusia rakus jabatan dan rakus harta tapi tidak memiliki kemampuan yang memadai sehingga mudah dikendalikan oleh CSIS. Bagaimanapun filosofi CSIS yang terkenal adalah “Kuda boleh berganti, tapi jokinya harus tetap,” yang berarti presiden boleh berganti namun pengendali mereka harus tetap yaitu CSIS. Singkatnya Jokowi adalah pemimpin boneka yaitu capres boneka CSIS, atau meminjam istilah CSIS sendiri, Jokowi adalah kuda tunggangan CSIS untuk menguasai Republik Indonesia.
Keberadaan CSIS menjelaskan alasan dana kampanye Jokowi yang seperti tidak ada habisnya sebab dia memperoleh dukungan ratusan cukong-cukong terkaya di negeri ini. Darimana datangnya keajaiban para cukong berbondong mendukung Jokowi yang tidak memiliki prestasi apapun dan tidak punya kemampuan itu? tentu saja hal tersebut berkat jasa Sofyan Wanandi yang adalah pemimpin para cukong Indonesia sejak masa Orde Baru sebab dia adalah juru bicara Yayasan Prasetya Mulya dan pada masa reformasi dia adalah Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Contoh kampanye extravagan ala Jokowi yang menunjukan dana kampanye luar biasa melimpah: pembuatan dan menyiarkan iklan ilegal Bintang Toejoeh di seluruh televisi Indonesia; memakai pesawat pribadi untuk pergi ke luar Jakarta; pemasangan iklan di Facebook sebesar Rp. 8miliar/hari sejak Maret 2014 sampai hari ini; pemasangan iklan dan banyak website buatan Jasmev di semua website milik google (google plus, adsense google, youtube dll) sebesar Rp. 40miliar/hari; memodifikasi mesin pencarian demi menimbun berita negatif tentang Jokowi; menyewa 200 artis untuk konser akbar di Gelora Senayan; menyewa Kartika Djoemadi dari PT Spindoctors Indonesia untuk membentuk dan memelihara pasukan dunia maya bernama Jasmev dari 2012 sampai sekarang; menyewa konsultan politik yang menyamar sebagai lembaga survei seperti Saiful Mujani (SMRC), Eep Saefulloh Fatah (Pollmark), Denny JA dan Kuskridho Ambardi (LSI), Burhanuddin Muhtadi (Indikator Politik Indonesia), Hasan Batupahat (Cyrus Network) dll.
Keberadaan CSIS, dalang kerusuhan Malari, penjajahan Timor Leste hingga Kerusuhan 13-14 Mei 1998 menjelaskan alasan psywar dan operasi intelijen digunakan secara masif demi memastikan kemenangan Jokowi-JK, dengan contoh teranyar adalah psywar terhadap Prabowo-Hatta melalui lembagai survei pendukung Jokowi-JK (SMRC, LSI, Cyrus Network), Metro TV, dan Jasmev untuk menggiring legitimasi hasil “quick count” yang mereka lemparkan ke publik sebagai kebenaran sementara hasil real count dari Prabowo-Hatta adalah salah, termasuk mengolok-ngolok TVOne yang menyiarkan hasil quick count versi kubu Prabowo-Hatta. Terakhir melalui pemimpin survei bayaran/konsultan politik bernama Burhanuddin Muhtadi dengan pongah berani mengatakan bahwa bila KPU mengalahkan Jokowi-JK maka hasil tersebut pasti salah.
Hebat dan jumawa sekali pasukan Jokowi-JK, padahal pencetus metode quick count pada Pemilu 1997, yaitu mantan peneliti LP3ES, Agung Prihatna menemukan kejanggalan quick count versi Jokowi-JK yang telah menjadikan Jokowi sebagai Presiden versi Quick Count tersebut, antara lain:
Pertama: pada awal Juli 2014 sudah mulai keluar pernyataan dari pihak Jokowi-JK bahwa ada indikasi kecurangan.
Kedua: pada masa tenang ada tiga lembaga survei, yaitu: Charta Politica, SMRC, LSI yang pimpinannya secara terbuka berafiliasi ke capres nomor urut 2, mengumumkan Jokowi-JK unggul 3 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Ketiga: pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei seperti CSIS-Cyrus Network bersama-sama mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul 3 persen dari capres nomor urut 1. Bahwa saat ini pertama kalinya ada pihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen.
Menurut Agung, untuk menyampaikan informasi sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu s.d. tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot. Hal itu mengingat tidak semua daerah zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.
Pertanyaan terakhir, mengapa Jusuf Wanandi dan CSIS jor-joran memastikan kemenangan Jokowi-JK? Jawabannya ada pada kalimat penutup otobiografi Jusuf Wanandi berjudul Shades of Grey pada halaman 287, yang dikutip berikut:
“Like Sofjan, I still carry my mission in life, even in retirement. I still want to understand the issues, to meet new people, to learn new things and to somehow make things better. I have a few years left in me; I have not finished yet”
Jusuf Wanandi memang cukup pintar untuk tidak menyebut secara gamblang misi hidup yang dia maksud, tapi sekarang sudah cukup jelas bahwa misi hidup terakhir bagi Jusuf Wanandi adalah menghalangi kenaikan Prabowo Subianto yang pada akhir 80an sampai 90an pernah menghancurkan impian kelompok CSIS dan Benny Moerdani untuk mendeislamisasi Indonesia dan menguasai NKRI. Pernyataan ini bukan omong kosong, sebab George Junus Aditjondro pernah mengeluarkan sebuah kesimpulan bahwa Wanandi bersaudara adalah ekstrem kanan:
“So, in a nutshell, Jusuf Wanandi and the two brothers about whom I have enough knowledge, Sofyan Wanandi and Markus Wanandi, are certainly not democrats, but rather three of the most effective destroyers of democracy in Indonesia (apart from the military and many other civilian anti-democrats). They are very right wing, they have certainly approved if not supported the anti-leftist purge in Indonesia in 1965-1966, and unlike some others of that generation, are still very proud of that ‘achievement,’
then they also showed their very anti-Muslim attitude, by destroying the original Muslim parties and thereby had to destroy also the Christian political parties, and then they played a very important role in crushing nationalist feelings among the West Papuan and the Maubere peoples.”
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/02/11/0071.html
Mengenai apakah Wanandi bersaudara dan CSIS akan memperoleh keinginan mereka dan memenangkan pertaruhan membawa capres tunggangan ke kursi presiden tentu harus menunggu pengumuman KPU dan (mungkin) putusan Mahkamah Konstitusi. Kendati demikian saya cukup puas sebab seandainya Jokowi-Jusuf Kalla menang, namun kemenangan tersebut sama sekali tidak muda diperoleh sebab CSIS harus mengeluarkan semua kemampuan, daya dan upaya sampai titik penghabisan dengan mempertaruhkan semua modal mereka walaupun perhitungan awal CSIS bisa menang mudah dan tebal melalui politisasi kasus 1998, tapi ternyata hanya sebagian rakyat Indonesia yang tertipu oleh ilusi CSIS.
Apapun hasil pilpres 2014, yang jelas setelah pilpres usai semua informasi rahasia terkait perbuatan CSIS di masa lalu dari Malari sampai penciptaan sosok Jokowi akan dibuka lebar bagi rakyat Indonesia dan akan ada upaya hukum membubarkan CSIS serta membawa keluarga Wanandi ke meja hijau.