Rabu, 17 September 2014



HAJI AGUS SALIM BISA JADI TELADAN POLITISI

KESEDERHANAAN hidup tokoh nasional Haji Agus Salim bisa menjadi contoh pemimpin maupun politisi masa kini yang sering alpa saat diberi amanah dan akhirnya tergelincir kasus korupsi.

“Siapa yang tak kenal Haji Agus Salim ? Tokoh dengan talenta luar biasa dan sepanjang hidupnya diabdikan untuk kepentingan bangsa dan negara,” kata penulis buku “Grand Old Man of The Republic: Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam”, Suradi SS kepada pers di Jakarta, Selasa (16/09/2014).

Menurut dia, sepak terjang dan pemikirannya telah ikut menjadikan Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan.

“Sementara kesederhanaan hidupnya bisa menjadi contoh pemimpin masa kini yang sering alpa saat diberi amanah, dan akhirnya tergelincir dalam kubang korupsi,” katanya.

Kecerdasan dan jejak-jejak intelektual Haji Agus Salim tersebar dalam pemikiran Islam, pendidikan, sosial, politik dan diplomasi. Tokoh-tokoh dunia semasa puncak karir politik Haji Agus Salim mengagumi pria kelahiran Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, 8 Oktober 1884 yang meninggal dunia di Jakarta, 4 November 1954, itu.

Aktivitas dan kepemimpinan politik selama periode puncak kehebatan Sarekat Islam – Partai Sarekat Islam (SI dan PSI), bisa menjadi cermin, bagaimana memimpin dan mengelola partai besar dengan segala intrik dan perbedaan pandangan yang menjurus ke konflik. Namun, sejarah mencatat, dia mampu mengatasinya dengan bijak.

Dalam konteks kepemimpinan Haji Agus Salim di partai politik itulah, kata Suradi, masyarakat bisa mempelajari bagaimana konflik dan intrik dalam partai politik yang tengah melanda partai besar di Tanah Air seperti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sesungguhnya konflik seperti itu telah menjadi bagian dalam sejarah perkembangan partai di Indonesia.

Semua itu dapat dibaca dalam buku baru yang ditulis wartawan senior Koran Jakarta itu. Buku setebal 168 halaman ini diterbitkan Mata Padi, Yogyakarta, 2014 dan diberi pengantar oleh sejarawan Dr Taufik Abdullah.

Suradi yang menyelesaikan kuliah di Jurusan Sejarah FSUI dan Komunikasi Politik FISIP UI ini mengatakan, buku yang baru diterbitkan ini mengupas konflik yang kerap mengiringi perjalanan partai besar di masa pergerakan nasional, yakni SI yang kemudian menjadi PSI dan terakhir PSII.

“Setting” peristiwa yang dikaji dalam buku ini, yakni periode 1915-1945 mengharuskan pembahasan menyinggung peran dari partai besar lainnya, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) yang notabene lahir dari rahim SI, juga partai nasionalis yakni Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Konflik dalam partai ketika itu diselesaikan melalui cara yang sangat beradab, yakni menguji argumentasi perbedaan pandangan dalam forum debat terbuka antara pihak yang saling berbeda pandangan. Forumnya pun sangat konstitusional, yakni Muktamar Luar Biasa (MLB),” kata Suradi.

Suradi mencontohkan keputusan untuk memberlakukan disiplin partai atau “partij discipline” terhadap tokoh SI beraliran sosialis, seperti Semaun dan Darsono dilakukan dalam MLB di Surabaya pada Oktober 1921.

“Debat soal azas Islam atau sosialis dalam SI menujukkan kekuatan dan kehebatan para tokoh partai masa itu. Semaun dan Darsono yang kukuh memperjuangkan azas sosialis komunis dalam SI, setelah kalah dalam perdebatan, akhirnya dikeluarkan dari SI dan mereka pun bergabung dalam PKI,” kata Suradi.

Taufik Abdullah dalam pengantarnya mengatakan, Agus Salim dikenal sebagai dwi tunggal bersama HOS Tjoroaminoto dalam membangun soliditas SI dan juga perumus yang paling terkemuka dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Ideologi Islam”. Perdebatan Salim dengan Soekarno tentang antinasionalisme adalah sebuah “intellectual exercise” sebuah wacana yang ikut mempertajam landasan nasionalisme Indonesia.