Rabu, 17 September 2014

MOHAMMAD YAMIN


Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Secangkir Kopi (4): Mohammad Yamin

OPINI | 05 November 2010 | 14:42 Dibaca: 180    Komentar: 4    1


Oleh Armin Mustamin Toputiri
Pertama; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga; Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Rangkaian kata itu, bukanlah jampi-jampi, juga bukan mantra. Apalagi syair lagu ataupun sajak. Tapi rangkaian kata itu sudah terlanjur memiliki “tuah”-nya sendiri. Sudah 82 tahun — sejak di ikrarkan pertama kali dalam Kongres (kekerapan) Pemuda II di Gedung Oost-Java Bioscoop, Stovia-Batavia, 28 Oktober 1928 — usia rangkaian kata itu, masih saja tetap mengiang dan melekat untuk mengiringi perjalanan sebuah negara berdaulat, bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Betapa “beruntungnya” orang yang menuliskan kata itu. Sebab jika seandainya NKRI kelak berusia satu juta tahun usia misalnya, maka rangakaian kata itu juga usianya lebih dari pada satu juta itu. Padahal sudah mungkin bisa diduga, bahwa ketika orang yang menuliskan kata itu, awal mulanya tidak sedikitpun pernah mebayangkan jika kelak kata itu akan mengiringi perjalanan suatu negara berdaulat.  Apa dituliskan, tak lain semata karena itulah kebutuhan mendesak kala tahun 1928 itu, sebelum NKRI belum ada, selain sebatas harapan dan tekad.
Lebih mengagungkannya lagi, dalam lembaran sejarah terungkap kalau rangkaian kata — yang belakangan kita kenal “Sumpah Pemuda” — itu ternyata rumusannya hanya berupa coretan tangan dituliskan di atas sehelai sobekan kertas bekas. Pimpinan sidang Kongres Pemuda II, Soegondo Djojopoespito, membacanya sebagai putusan kongres. Dan perwakilan pemuda kedaerahan yang hadir, mengikrarkannya diiringi  alunan (”Indonesia Raya”) biola Wage Rudolf Soepratman, serta di bawah ancaman bayonet kolonial Belanda.
***
Nun jauh dari Batavia, di pelosok kampung sana, di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, — tempat lahir putra juragan kopi (23 Agustus 1903) sekaligus tempat dimakam (17 Oktober 1962) — mungkin disana tak lagi ada tulang berserak, memberi persaksian bahwa Sumpah Pemuda yang pernah ditulis bekas ketua Jong Sumatranen Bond yang ada dalam liang lahat itu, ternyata abadi sepanjang negeri ini ada. Rangkaian kata itu, bukan jampi-jampi dan bukan mantra, untuk bisa dibaca di atas pusara suami Raden Ajeng Sundari Mertoatmaodjo, dan kakak kandung tokoh perfilman nasional Djamaluddin Adinegoro itu.
Mohammad Yamin, itulah nama tertulis pada nizan makam itu. Namanya jauh terlampaui dari popularitas apa pernah ditulisnya. Kita fasih mengeja Sumpah Pemuda. Seisi bangsa mengetahui. Tanpa kita tahu siapa orang yang mula pertama merumuskan teksnya di atas lembar kertas bekas. Tanpa kita tahu kalau sastrawan ini jugalah yang mula (29 Mei 1945) menawar rumusan Pancasila, kelak menjadi idiologi (permanen) NKRI; “peri kebangsaan, peri ke-Tuhanan, kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan”.
Tanpa kita tahu kalau ini jugalah orang yang menjadi prasaran dalam Kongres Pancawarsa (I) Jong Sumatranen Bond (1923) yang berjudul “De maleische taal in het verleden, heden en toekomst”, yang meramal dan mengajukan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Tanpa kita tahu kalau inilah juga sosok — anggota BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai atau dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) — yang memiliki banyak andil dalam perumusan naskah UUD 1945, khususnya pasal berkaitan soal HAM. Tanpa kita tahu, visualisasi wajah Gadjah Mada, bersumber dari wajahnya.
***
Mohammad Yamin, anak bangsa dengan totalitas gagasan yang cerdas dan sistemik, melalui goresan tangannya ia mengawal sejak awal mula hingga kelahiran NKRI. Di usia masih belia, 20 tahun, ia mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Lima tahun berikutnya, diusia 25 tahun, gagasannya lanjut dirumuskan dalam Sumpah Pemuda. Tidak hanya sampai batas itu, ketika usianya beranjak 42 tahun, ia coba menawar rumusan Pancasila,  hingga mencapai kulminasinya dalam keterlibatannya di BPUPKI merumuskan UUD 1945.
Maha karya abadi yang sungguh luar biasa lahir dari anak muda Minangkabau bernama Mohammad Yamin. Kalaupun popularitas namanya terlampaui dari karyanya sendiri, tak perlu disesali, sebab keabadian memang bukan datang dari niat untuk keabadian. Keabadaian justru datang dari ketidakabadian. Rumusan Sumpah Pemuda yang dituliskan misalnya, bukanlah sumpah “serapah” pemuda, yang didasari emosi pada kaum penjajah yang menindas. Bukan dengan kepalan tangan — seperti belakangan banyak divisualisasikan  — tapi dengan coretan tangan. Bukan demonstrasi, tapi diplomasi. Tidak untuk jangka pendek, tapi untuk jangka panjang, seperti dipesankan dalam bait (salah satu) sajaknya.
Adapun kami anak sekarang / Mari berjerih berbanting tulang / Menjaga kemegahan janganlah hilang / Supaya lepas ke padang yang bebas / Sebagai poyangku masa dahulu / Karena bangsaku dalam hatiku / Turunan Indonesia darah Melayu
Makassar, 28 Oktober 2010