Kecemburuan Saya pada Orang Minangkabau
27 Feb 2011 | 19:30
“Basasok bajarami, bapandam pakuburan, soko pusako kalau tadalami, mambayang cahayo diinggiran”
Meski keseluruhan pernah saya baca dalam beberapa edisi Edisi Khusus Majalah Mingguan Tempo, tapi ketika diterbitkan bentuk buku (KPG, 2010), saya menghabiskan waktu sepekan lagi menuntaskan bacaan ulang empat judul buku --- serial “Bapak Bangsa” --- dimaksud. (1) Sukarno, “Paradoks Revolusi Indonesia”. (2) Hatta, “Jejak yang Melampaui Zaman”. (3) Sjahrir, “Peran Besar Bung Kecil”, dan (4) Tan Malaka, “Bapak Republik yang Dilupakan”.
Keempat “Bapak Bangsa” yang diulas dalam empat judul buku itu, di negeri ini nyaris tak seorang pun tak mengenal mereka. Soekarno dan Hatta, sang proklamator kemerdekaan, Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri RI, pertama. Dan satunya lagi, Tan Malaka, pendiri Partai MURBA, orang yang pertama merumus konsep NKRI. Namun di negeri ini tak banyak yang tahu, jika tiga nama terakhir, asal Minangkabau.
Pada saatnya, saya jujur mengemukakan kecemburuan saya, yang sekian lama terpendam, sejak saya kanak-kanak. Kecemburuan pada orang-orang Minangkabau, tak lain karena kampung halaman saya, di tepi Pantai Lapandoso Bua, Kabupaten Luwu, pada akhir abad ke-16, disitulah pertama kali berlabuh Datuk Sulaiman (Datuk Ri Pattimang), satu diantara tiga “waliullah” --- asal Minangkabau --- pembawa ajaran Islam pertama di Sulawesi Selatan.
***
Selain tiga nama dari empat "Bapak Bangsa", serta tiga "waliullah pembawa ajaran Islam pertama di Sulsel, saya tidak habis fikir, bagaimanakah cara orang Minangkabau melahirkan orang hebat semisal Agus Salim (Agam, 1884), mantan Menteri Luar Negeri RI, saat Kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Hatta, Perdana Menteri RI kelima, M. Natsir (Alahan Panjang, 1908). Moh. Yamin (Sawahlunto, 1903), perumus teks Sumpah Pemuda dan Pancasila. Juga Rasuna Said (Maninjau, 1910), pejuang persesamaan laki-laki dan perempuan.
Belum lagi menyebut ulama terkemuka, Buya Hamka (Maninjau, 1908), Ketua Umum MUI, penulis novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". Juga ada Marah Roesli (Padang, 1889), sastrawan Angkatan balai Pustaka, penulis roman "Siti Nurbaya". AA Navis (padang 1924), sastrawan penulis novel "Robohnya Surau Kami". Taufiq Ismail, penyair Angkatan 66, diantara kumpulan puisinya "Tirani dan Bentang". Serta banyak lagi lainnya.
Berdasar misal kesemua figur unggul itu, jujur kita harus mengakui, sekaligus kecemburuan, bahwa Minangkabau memang terlanjur menjadi sumber --- “reproduksi” --- produksi orang-orang cerdas dan maha penting di negeri ini. “Bagaimanakah mungkin itu bisa terjadi?”. Demikian saya nyatakan pada sejumlah tokoh muda Minangkabau, sewaktu saya memberi pembekalan Orientasi Pengurus DPD KNPI Sumatera Barat, di Padang, tahun 2007, lalu.
***
Pernyataan yang saya kemukakan secara terbuka di hadapan puluhan tokoh muda Minang “Bagaimanakah mungkin itu bisa terjadi?” --- mungkin diketahui pembicara sesudah saya, Indra Jaya Piliang, seorang anak muda Minang yang belakangan menonjol kecerdasannya --- oleh tokoh muda Minang, juga tak paham menjawabnya harus mulai dari sisi mana. Padahal saya ingin mereka harus tahu, tak lain karena negeri ini merindukan tokoh sekaliber mereka.
Tertantang kenyataan demikian, saya kemukakan tekad saya pada sejumlah tokoh muda Minang, jika kelak suatu waktu saya punya duit, punya waktu dan punya kesehatan, saya ingin berkelana di bumi bekas Kerajaan Pagaruyung ini. Saya ingin mencari pengobat rindu atas kecemburuan itu. Saya berhasrat --- meski saya bukan peneliti --- ingin tahu bagaimana cara orang-orang Minangkabau “mengerami” lahirnya anak-anak bangsa secerdas mereka.
Dan sebelum tekad saya terkabul berkelana ke Nagari Minang, secara sederhana saya coba telusuri serpihan dan kepingan tradisi budaya Minangkabau, saya temukan pijakan awal. Pelecut utamanya tak lain karena di Minangkabau --- satu etnis yang mendiami wilayah Sumatera Barat sekitarnya --- dianut sistem “matrilinial” (silsilah berdasar garis ibu). Ibu sedikit banyaknya memiliki otoritas mengasuh untuk melecut kedigjayaan seorang anak.
***
Faktor lain, karena dalam sistem “matrilinial”, ada disebut “Harta Pusaka Tinggi”, harta milik keluarga yang diperoleh turun temurun melalui garis ibu. Harta ini tidak boleh dijualbelikan, sangat terkecuali karena ada empat hal. Satu diantaranya “mambangkik batang tarandam” (membongkar kayu yang terendam). Maksudnya, hanya bisa jika biaya pesta tak ada untuk pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya sekolah anggota kaum ke tingkat lebih tinggi.
Hal lain lagi, karena daerah Minangkabau memiliki banyak “nagari” --- daerah otonom yang memiliki kekuasaan tertinggi --- dipimpin sebuah dewan disebut “Karapatan Adat Nagari”. Faktor inilah pendorong dinamika masyarakat Minang untuk berkompetisi secara konstan untuk mendapatkan status dan prestise. Setiap kepala “nagari” berlomba meningkatkan status dan prestise keluarga kaumnya. Mendapatkan harta dan sekolah setinggi-tingginya.
Mungkin sebab karena itu, tradisi perantau membias bertumbuhkembang dalam kehidupan masyarakat Minang untuk mengadu nasib di negeri orang. Selain berdagang, juga menuntut ilmu. Itulah cara ideal mencipta kematangan sekaligus prestise akan kehormatan individu di tengah lingkungan adat. Tradisi merantau ini, pada motif hias Miang, dikenal istilah “itiak pulang patang”. Anjuran merantau, mengadu nasib, pulang petang hari bawa kesuksesan.
***
Satu lagi sisi paling spektakuler, rumah gadang khas Minangkabau itu, ternyata hanya dihuni orangtua, anak gadis dan anak balita. Sementara anak laki-laki, sejak akil baliq bermukim di surau. Dari surau inilah awal mula pribadi dan karakter orang Minangkabau dibentuk. Selain belajar mengaji, bela diri randai, petitih Minangkabau, dan ilmu pengetahuan lainnya, untuk ditempa menjadi pribadi tangguh yang siap menanggung beban amanah di kemudian hari.
Saya memamahami sistem dan metode pendidikan surau seperti ini, tidak lebih kurang tiga fase, secara pribadi saya pernah mengalaminya. Pertamakali ketika ikut mengaji dan kajian di kampung. Hal sama kedua kalinya, ketika masa remaja ikut pendidikan “mondok” selama enam tahun di Makassar, dan ketiga kalinya masa mahasiswa saat terlibat di HMI Makassar. Sebab kaitan itu, kecemburuan saya pada orang-orang Minangkabau, tak pudar dan surut.
Terlebih lagi, pesan disampaikan seorang anak gadis Minangkabau ketika saya berkunjung ke Padang, tahun 2007 lalu --- seperti saya tuliskan di awal catatan ringan ini --- masih lekat teringat dalam benak saya. “Kalaulah ajaran adat dapat didalami dan difahami dengan baik, serta diamalkan di tengah masyarakat, maka masyarakat itu kelak akan tinggi mutunya”.
Makassar, 27 Pebruari 2011