Jika mau Indonesia makmur, solusinya adalah Nasionalisasi perusahaan minyak AS seperti Chevron, Exxon, Conoco, dsb. Bukan menaikkan harga BBM.
Arab Saudi meski jual minyaknya dgn harga Rp 2000/liter, tapi tetap untung dan makmur karena mereka menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974. Peningkatan mereka naik besar2an sejak Nasionalisasi tsb.
2 foto terlampir adalah foto Masjidil Haram saat Arab Saudi masih dilanda kemiskinan, meski saat itu mereka sudah memproduksi minyak lewat perusahaan AS, Aramco. Dan foto Masjidil Haram saat Arab Saudi kaya setelah menasionalisasi Aramco.
Arab Saudi meski jual minyaknya dgn harga Rp 2000/liter, tapi tetap untung dan makmur karena mereka menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974. Peningkatan mereka naik besar2an sejak Nasionalisasi tsb.
2 foto terlampir adalah foto Masjidil Haram saat Arab Saudi masih dilanda kemiskinan, meski saat itu mereka sudah memproduksi minyak lewat perusahaan AS, Aramco. Dan foto Masjidil Haram saat Arab Saudi kaya setelah menasionalisasi Aramco.
Selama Kekayaan Alam Dirampok Asing Indonesia Akan Terus Miskin•
[Ladang Minyak dan Gas Indonesia Dikuasai Asing]
Kenapa Pesawat dan Helikopter TNI Indonesia sering jatuh sehingga lebih dari 150 orang tewas di tahun 2008-2009?
Kenapa 11,5 juta rakyat Indonesia menderita busung lapar atau gizi buruk?
Kenapa 120 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia)?
Kenapa meski SD-SMP gratis tapi SMU dan Perguruan Tinggi Negeri justru mahal dan tidak terjangkau bagi rakyat miskin?
Kenapa pelayanan kesehatan umum di Indonesia sangat mahal dan tidak terjangkau?
Kenapa korupsi merajalela di Indonesia?
Kenapa rel kereta api dan kabel telpon dicuri?
Kenapa penculikan anak sering terjadi, begitu pula perampokan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa?
Kenapa Hutang Luar Negeri Indonesia terus meningkat dari Rp 1.200 trilyun di tahun 2004 jadi Rp 1.600 trilyun di tahun 2009?
Kenapa Indonesia selalu bergantung pada Investor Asing dan jika tak ada Investor Asing datang maka pembangunan tidak berjalan?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena Indonesia tidak punya cukup uang. Kenapa tidak punya cukup uang? Karena kekayaan alam Indonesia dikuras asing dan perekonomiannya dikuasai asing. Contohnya untuk tambang emas dan perak di Papua, Freeport dapat 99% sementara 230 juta rakyat Indonesia harus puas dgn 1% saja. Bagaimana Indonesia tidak miskin?
Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sebagian dari mereka terpaksa mencuri, menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang anggota Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak mati. Habis saya cuma lulus SD. Cari kerja susah. Jadi merampok guna mendapatkan uang”
Pemerintah tidak bisa membeli pesawat dan helikopter baru untuk menggantikan pesawat dan helikopter lama yang umurnya sudah 30 tahun lebih. Pemerintah hanya bisa memberi bantuan Rp 100 ribu/bulan untuk kurang dari 40 juta rakyat Indonesia. Itu pun BLT tidak bisa berjalan rutin setiap bulan. Pemerintah tidak bisa membiayai penuh pendidikan dan kesehatan sehingga mayoritas rakyat Indonesia meski tergolong miskin versi Bank Dunia harus membayar mahal untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan mahalnya biaya pendidikan di SMU dan Perguruan Tinggi Negeri, maka jika zaman ORBA mayoritas rakyat lulusan SMA, maka dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan Ekonomi tidak berubah rata-rata pendidikan hanya lulus SMP saja.
Karena pemerintah tidak punya cukup uang, maka terpaksa harus berhutang dan menggantungkan pada datangnya Investor Asing. Jika tidak, pembangunan tidak akan jalan. Menurut penganut paham Ekonomi Neoliberalisme tanpa hutang tidak mungkin ada pembangunan. Padahal kalau hutang sudah membukit dan si peminjam sampai mendikte bangsa Indonesia untuk menyerahkan kekayaan alam dan menjual BUMN yang dimiliki serta menaikkan berbagai harga yang menyengsarakan rakyat, itu sudah tidak sehat lagi.
Hutang Indonesia yang sudah mencapai 68% dari GNP jelas sudah sangat besar dibanding Singapura yang hanya 14%, Arab Saudi 11%, Iran 8%, atau bahkan Malta yang 0%! Jangan “Besar Pasak daripada Tiang!” begitu kata-kata yang bijak dari nenek moyang kita.
Korupsi merajalela di negara kita karena gaji pejabat dan pegawai negeri di Indonesia sangat kecil. Menurut seorang staf Bappenas, GAJI POKOK pejabat tertinggi hanya Rp 3 juta. Padahal di AS, gaji pengantar Pizza saja yang menurut ukuran sana miskin, mencapai Rp 14 juta. Itu pun belum termasuk Tips!
Gaji Presiden Indonesia kurang dari Rp 70 juta/bulan. Kekayaan Presiden SBY “hanya” RP 8,5 milyar! Padahal gaji CEO Chevron (satu perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia) mencapai US$ 7,8/tahun atau Rp 7,1 milyar/bulan. Artinya dalam 30 tahun masa kerja, CEO perusahaan migas asing ini pendapatannya mencapai Rp 2,5 trilyun! Itu baru satu orang. Kalau Direksi ada 5 orang dan komisaris ada 5 orang, semuanya bisa mendapat Rp 12 trilyun. Darimana uang untuk menggaji mereka sebesar itu? Di antaranya ya dari minyak dan gas Indonesia!
Coba anda bayangkan, jika Dirut perusahaan migas asing total gajinya mencapai Rp 2,5 trilyun, sementara Dirut BUMN Pertamina hanya Rp 100 juta/bulan atau Rp 36 milyar, mana yang lebih banyak mengambil uang dari kekayaan alam Indonesia? Tentu Dirut perusahaan asing bukan? Bahkan seandainya Dirut BUMN itu korupsi Rp 1 trilyun pun tetap saja lebih banyak uang yang diambil Dirut perusahaan asing dari bumi Indonesia dengan gaji raksasanya yang “legal.”
Silahkan lihat Daftar Perusahaan Terkaya versi Forbes 500:
[Ladang Minyak dan Gas Indonesia Dikuasai Asing]
Kenapa Pesawat dan Helikopter TNI Indonesia sering jatuh sehingga lebih dari 150 orang tewas di tahun 2008-2009?
Kenapa 11,5 juta rakyat Indonesia menderita busung lapar atau gizi buruk?
Kenapa 120 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia)?
Kenapa meski SD-SMP gratis tapi SMU dan Perguruan Tinggi Negeri justru mahal dan tidak terjangkau bagi rakyat miskin?
Kenapa pelayanan kesehatan umum di Indonesia sangat mahal dan tidak terjangkau?
Kenapa korupsi merajalela di Indonesia?
Kenapa rel kereta api dan kabel telpon dicuri?
Kenapa penculikan anak sering terjadi, begitu pula perampokan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa?
Kenapa Hutang Luar Negeri Indonesia terus meningkat dari Rp 1.200 trilyun di tahun 2004 jadi Rp 1.600 trilyun di tahun 2009?
Kenapa Indonesia selalu bergantung pada Investor Asing dan jika tak ada Investor Asing datang maka pembangunan tidak berjalan?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena Indonesia tidak punya cukup uang. Kenapa tidak punya cukup uang? Karena kekayaan alam Indonesia dikuras asing dan perekonomiannya dikuasai asing. Contohnya untuk tambang emas dan perak di Papua, Freeport dapat 99% sementara 230 juta rakyat Indonesia harus puas dgn 1% saja. Bagaimana Indonesia tidak miskin?
Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sebagian dari mereka terpaksa mencuri, menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang anggota Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak mati. Habis saya cuma lulus SD. Cari kerja susah. Jadi merampok guna mendapatkan uang”
Pemerintah tidak bisa membeli pesawat dan helikopter baru untuk menggantikan pesawat dan helikopter lama yang umurnya sudah 30 tahun lebih. Pemerintah hanya bisa memberi bantuan Rp 100 ribu/bulan untuk kurang dari 40 juta rakyat Indonesia. Itu pun BLT tidak bisa berjalan rutin setiap bulan. Pemerintah tidak bisa membiayai penuh pendidikan dan kesehatan sehingga mayoritas rakyat Indonesia meski tergolong miskin versi Bank Dunia harus membayar mahal untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan mahalnya biaya pendidikan di SMU dan Perguruan Tinggi Negeri, maka jika zaman ORBA mayoritas rakyat lulusan SMA, maka dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan Ekonomi tidak berubah rata-rata pendidikan hanya lulus SMP saja.
Karena pemerintah tidak punya cukup uang, maka terpaksa harus berhutang dan menggantungkan pada datangnya Investor Asing. Jika tidak, pembangunan tidak akan jalan. Menurut penganut paham Ekonomi Neoliberalisme tanpa hutang tidak mungkin ada pembangunan. Padahal kalau hutang sudah membukit dan si peminjam sampai mendikte bangsa Indonesia untuk menyerahkan kekayaan alam dan menjual BUMN yang dimiliki serta menaikkan berbagai harga yang menyengsarakan rakyat, itu sudah tidak sehat lagi.
Hutang Indonesia yang sudah mencapai 68% dari GNP jelas sudah sangat besar dibanding Singapura yang hanya 14%, Arab Saudi 11%, Iran 8%, atau bahkan Malta yang 0%! Jangan “Besar Pasak daripada Tiang!” begitu kata-kata yang bijak dari nenek moyang kita.
Korupsi merajalela di negara kita karena gaji pejabat dan pegawai negeri di Indonesia sangat kecil. Menurut seorang staf Bappenas, GAJI POKOK pejabat tertinggi hanya Rp 3 juta. Padahal di AS, gaji pengantar Pizza saja yang menurut ukuran sana miskin, mencapai Rp 14 juta. Itu pun belum termasuk Tips!
Gaji Presiden Indonesia kurang dari Rp 70 juta/bulan. Kekayaan Presiden SBY “hanya” RP 8,5 milyar! Padahal gaji CEO Chevron (satu perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia) mencapai US$ 7,8/tahun atau Rp 7,1 milyar/bulan. Artinya dalam 30 tahun masa kerja, CEO perusahaan migas asing ini pendapatannya mencapai Rp 2,5 trilyun! Itu baru satu orang. Kalau Direksi ada 5 orang dan komisaris ada 5 orang, semuanya bisa mendapat Rp 12 trilyun. Darimana uang untuk menggaji mereka sebesar itu? Di antaranya ya dari minyak dan gas Indonesia!
Coba anda bayangkan, jika Dirut perusahaan migas asing total gajinya mencapai Rp 2,5 trilyun, sementara Dirut BUMN Pertamina hanya Rp 100 juta/bulan atau Rp 36 milyar, mana yang lebih banyak mengambil uang dari kekayaan alam Indonesia? Tentu Dirut perusahaan asing bukan? Bahkan seandainya Dirut BUMN itu korupsi Rp 1 trilyun pun tetap saja lebih banyak uang yang diambil Dirut perusahaan asing dari bumi Indonesia dengan gaji raksasanya yang “legal.”
Silahkan lihat Daftar Perusahaan Terkaya versi Forbes 500:
1. Exxon Mobil, pendapatan $390.3 billion/tahun, gaji CEO, Rex W. Tillerson, $4.12M/tahun
3. Shell, pendapatan $355.8 billion/tahun, gaji CEO, Jeroen van der Veer, €7,509,244
4. British Petroleum, pendapatan $292 billion/tahun, gaji CEO, Tony Hayward, $4.73M
6. Total S.A., pendapatan $217.6
7. Chevron Corp., pendapatan 214.1 billion/tahun, gaji CEO, David J. O’Reilly, $7.82M
8. Saudi Aramco (BUMN Saudi), pendapatan $197.9 billion/tahun
10. ConocoPhillips, pendapatan $187.4 billion/tahun, gaji CEO, James Mulva, $6.88M
Total dari perusahaan itu saja (10 perusahaan teratas versi Forbes 500) yang juga beroperasi di Indonesia mengelola kekayaan alam kita, itu US$ 1.655 milyar atau sekitar 17 ribu trilyun/tahun. Di antaranya berasal dari kekayaan alam Indonesia. Jumlah itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai Rp 1.037 Trilyun.
Dari data di atas, cukup aneh jika Indonesia yang katanya untuk Migas dapat 85% (kalau Pertambangan lain Indonesia memang cuma dapat 15%) dan asing cuma 15% ternyata dapat tidak lebih dari Rp 350 trilyun/tahun dari Migas sementara 6 perusahaan migas tersebut yang “cuma” dapat 15% bisa mendapat Rp 17.000 Trilyun! Atau 5.600% lebih! Menurut nalar saya itu tidak masuk di akal.
Itu belum dari berbagai perusahaan lain seperti Freeport, Newmont, BHP, dsb yang menguasai emas, perak, tembaga, nikel, dsb di Indonesia. Bisa jadi total penerimaan mereka sekitar Rp 30 Ribu Trilyun/tahun.
Ada yang menyebut bahwa selain yang 15% itu, pihak asing juga mengklaim “Cost Recovery” untuk eksplorasi migas dan juga operasional sehingga besarnya bisa mencapai 30-40%. Selain itu besar migas yang diproduksi juga tidak jelas. Amien Rais berkata, “Jika dari perusahaan migas langsung gasnya disalurkan melalui pipa ke Singapura, bagaimana kita tahu berapa gas yang sebenarnya diproduksi?”
Perbedaan signifikan besarnya angka pendapatan yang diperoleh 6 perusahaan Migas dengan minimnya pendapatan yang diperoleh bangsa Indonesia harusnya menjadi satu indikasi yang harus diinvestigasi.
Freeport yang sekedar “Tukang Cangkul” di Papua mendapat royalti emas dan perak sebesar 99%, sementara lebih dari 230 juta rakyat Indonesia yang merupakan pemilik tambang emas dan perak cuma diberi 1%. Menkeu Agus Martowardojo juga menyatakan bahwa ada ilegal ekspor tambang. Penambang asing cuma mengaku mengekspor 5 juta ton hasil tambang. Sementara data impor tambang tersebut di luar negeri dari Indonesia mencapai 20 juta ton:
3. Shell, pendapatan $355.8 billion/tahun, gaji CEO, Jeroen van der Veer, €7,509,244
4. British Petroleum, pendapatan $292 billion/tahun, gaji CEO, Tony Hayward, $4.73M
6. Total S.A., pendapatan $217.6
7. Chevron Corp., pendapatan 214.1 billion/tahun, gaji CEO, David J. O’Reilly, $7.82M
8. Saudi Aramco (BUMN Saudi), pendapatan $197.9 billion/tahun
10. ConocoPhillips, pendapatan $187.4 billion/tahun, gaji CEO, James Mulva, $6.88M
Total dari perusahaan itu saja (10 perusahaan teratas versi Forbes 500) yang juga beroperasi di Indonesia mengelola kekayaan alam kita, itu US$ 1.655 milyar atau sekitar 17 ribu trilyun/tahun. Di antaranya berasal dari kekayaan alam Indonesia. Jumlah itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai Rp 1.037 Trilyun.
Dari data di atas, cukup aneh jika Indonesia yang katanya untuk Migas dapat 85% (kalau Pertambangan lain Indonesia memang cuma dapat 15%) dan asing cuma 15% ternyata dapat tidak lebih dari Rp 350 trilyun/tahun dari Migas sementara 6 perusahaan migas tersebut yang “cuma” dapat 15% bisa mendapat Rp 17.000 Trilyun! Atau 5.600% lebih! Menurut nalar saya itu tidak masuk di akal.
Itu belum dari berbagai perusahaan lain seperti Freeport, Newmont, BHP, dsb yang menguasai emas, perak, tembaga, nikel, dsb di Indonesia. Bisa jadi total penerimaan mereka sekitar Rp 30 Ribu Trilyun/tahun.
Ada yang menyebut bahwa selain yang 15% itu, pihak asing juga mengklaim “Cost Recovery” untuk eksplorasi migas dan juga operasional sehingga besarnya bisa mencapai 30-40%. Selain itu besar migas yang diproduksi juga tidak jelas. Amien Rais berkata, “Jika dari perusahaan migas langsung gasnya disalurkan melalui pipa ke Singapura, bagaimana kita tahu berapa gas yang sebenarnya diproduksi?”
Perbedaan signifikan besarnya angka pendapatan yang diperoleh 6 perusahaan Migas dengan minimnya pendapatan yang diperoleh bangsa Indonesia harusnya menjadi satu indikasi yang harus diinvestigasi.
Freeport yang sekedar “Tukang Cangkul” di Papua mendapat royalti emas dan perak sebesar 99%, sementara lebih dari 230 juta rakyat Indonesia yang merupakan pemilik tambang emas dan perak cuma diberi 1%. Menkeu Agus Martowardojo juga menyatakan bahwa ada ilegal ekspor tambang. Penambang asing cuma mengaku mengekspor 5 juta ton hasil tambang. Sementara data impor tambang tersebut di luar negeri dari Indonesia mencapai 20 juta ton:
Jadi jika ternyata yang diakui asing jumlahnya cuma 1/4, dan dari 1/4 itu Indonesia hanya diberi 1%, Indonesia itu cuma dapat 0,25% dari hasil tambang emas, perak, dsb. Inilah sebabnya kenapa negeri Indonesia yang kaya dengan hasil alamnya, ternyata mayoritas rakyatnya hidup miskin dan melarat.
Arab Saudi cukup cerdas menasionalisasi perusahaan Aramco tahun 1974. Tahun 1970-an, Arab Saudi masih termasuk negara miskin. Kekayaan alam mereka berupa minyak tidak dapat mensejahterakan mereka karena dikuasai perusahaan AS, Aramco. Namun sejak raja Faisal menasionalisasi Aramco, maka seluruh hasil minyak dapat dinikmati oleh rakyat Saudi Arabia. Jumlah uang yang masuk untuk pembangunan pun berlimpah sehingga listrik di sana gratis, sementara bensin cuma Rp 1700/liter. Ini jauh lebih murah ketimbang Indonesia yang Rp 4.500/liter saja sudah ribut soal kurangnya subsidi karena 90% migas kita dikuasai perusahaan migas asing.
Chavez presiden Venezuela juga menasionalisasi perusahaan migas di sana sehingga Venezuela yang merupakan negara penghutang terbesar, sekarang rasio hutangnya hanya kurang dari 40% total GDPnya. Di bawah Indonesia yang rasio hutangnya sudah mencapai 68% dari GDP dan terus bertambah sekitar Rp 100 trilyun/tahun. Kuwait dan Qatar juga mengandalkan BUMN mereka untuk mengelola kekayaan alamnya sehingga tidak bocor ke asing.
Akibatnya negara mereka makmur. Ketika saya tinggal di Arab Saudi selama 6 bulan di rumah satu warga negaranya, di sana bukan cuma bensin lebih murah, tapi sekolah, listrik, rumah sakit gratis. Bahkan di sana kalau kuliah diberi uang saku.
Negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb itu tidak pernah menyerahkan kekayaan alam mereka ke asing. Mereka mengelola sendiri kekayaan alam mereka. Qatar dan Kuwat meski SDMnya sedikit, mereka tetap buat BUMN sendiri. Tenaga ahli mereka cari dari luar negeri termasuk dari Indonesia. Coba lihat Kompas Sabtu-Minggu di kolom lowongan kerja, banyak iklan lowongan kerja dari BUMN Qatar, Kuwait, dsb yang mencari ahli migas dari Indonesia. Dan memang SDM Migas Indonesia cukup ahli dan melimpah karena sebagian besar pekerja di perusahaan migas asing di Indonesia juga merupakan putra-putri Indonesia.
Bahkan Malaysia pun yang serumpun dengan kita dengan jumlah penduduk lebih sedikit dan di bawah kita kualitas SDMnya tetap mengelola sendiri migas mereka via BUMNnya Petronas sehingga 4 kali lipat lebih makmur dari kita. Gedung Petronas pun berdiri megah sebagai gedung tertinggi kedua di dunia sebagai bukti nyata keberhasilan BUMN tersebut.
Biaya Nasionalisasi ternyata amat rendah. Meski Exxon menuntut ganti rugi US$ 12 Milyar atas aset mereka yang dinasionalisasi, namun Lembaga Arbitrase Internasional setelah menaksir hanya menetapkan pemerintah Venezuela membayar US$ 907 juta saja. Artinya dengan produksi minyak 3 juta bph dan harga minyak US$ 100/barel, pemerintah Venezuela sudah bisa melunasi aset Exxon tersebut.
Jadi untuk apa “mengundang Investor Asing” dan membiarkan mereka menyedot minyak dan gas Indonesia hingga puluhan tahun kalau ternyata biayanya bisa dilunasi dalam waktu yang sebentar saja?
Selama kekayaan alam Indonesia masih dinikmati oleh asing, Indonesia tidak akan pernah bebas dari kemiskinan.
Tidak ada satu bangsa pun yang maju dan sejahtera yang menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Jika kita lihat negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Harusnya ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri. Bisa berdikari.
AS, Inggris, Perancis, Belanda, dsb maju dan makmur karena selain mengelola kekayaan alamnya sendiri, mereka juga menguras kekayaan alam negara lain. Tak heran jika Anggaran Belanja Militer AS saja mencapai US$ 655 Milyar/tahun atau Rp 6.550 Trilyun/tahun sementara Anggaran Belanja Militer Indonesia cuma Rp 36 Trilyun saja. Kurang dari 1% anggaran AS!
Bukan justru membujuk rakyat/pemerintah agar Indonesia tidak mandiri dan bergantung kepada perusahaan2 asing yang ternyata justru memperkaya perusahaan dan direksi mereka sendiri
Oleh karena itu, dari Rp 30 Ribu Trilyun/tahun yang didapat perusahaan-perusahaan asing tersebut, bisa jadi 10-20% berasal dari kekayaan alam Indonesia atau minimal Rp 3.000 Trilyun/tahun.
Saat ini APBN Indonesia hanya sekitar Rp 1.000 trilyun untuk 240 juta rakyat Indonesia. Artinya tiap orang hanya mendapat sekitar US$ 34/bulan. Masih di bawah garis kemiskinan Bank Dunia yang US$ 60/bulan/orang. Tak heran Indonesia tidak punya cukup uang untuk mensejahterakan rakyat, memberi pendidikan yang terjangkau dari SD hingga Perguruan Tinggi, memberi layanan Rumah Sakit yang terjangkau, Pembaruan Alutsista, menyelamatkan anak-anak jalanan, dan sebagainya.
Bayangkan seandainya Indonesia mandiri dan mendapat tambahan Rp 3.000 trilyun dari hasil kekayaan alamnya sehingga APBN kita menjadi Rp 4.000 trilyun/tahun. Artinya ada US$ 138/bulan untuk setiap orang. Seluruh penduduk Indonesia bisa lepas dari garis kemiskinan VERSI BANK DUNIA yang US$ 60/bulan. Indonesia bisa melunasi hutangnya yang Rp 1.600 trilyun dengan mudah. Indonesia tidak perlu menunggu-nunggu “INVESTOR ASING” untuk membangun negerinya.
Segala janji bahwa pendidikan murah, layanan Rumah Sakit murah, pembaruan alutsista, atau pun mensejahterakan rakyat itu hanya omong kosong belaka jika Presiden kita tidak mau mandiri mengelola kekayaan alam Indonesia. Indonesia tidak akan punya cukup uang selama hasil kekayaan alam kita yang menikmati justru Kompeni-kompeni gaya baru yang didukung oleh pemerintah mereka.
Lihat video di mana Kompeni gaya baru yang didukung AS dan Inggris turut campur untuk menguasai kekayaan alam Indonesia sehingga 1 juta korban tewas:
Arab Saudi cukup cerdas menasionalisasi perusahaan Aramco tahun 1974. Tahun 1970-an, Arab Saudi masih termasuk negara miskin. Kekayaan alam mereka berupa minyak tidak dapat mensejahterakan mereka karena dikuasai perusahaan AS, Aramco. Namun sejak raja Faisal menasionalisasi Aramco, maka seluruh hasil minyak dapat dinikmati oleh rakyat Saudi Arabia. Jumlah uang yang masuk untuk pembangunan pun berlimpah sehingga listrik di sana gratis, sementara bensin cuma Rp 1700/liter. Ini jauh lebih murah ketimbang Indonesia yang Rp 4.500/liter saja sudah ribut soal kurangnya subsidi karena 90% migas kita dikuasai perusahaan migas asing.
Chavez presiden Venezuela juga menasionalisasi perusahaan migas di sana sehingga Venezuela yang merupakan negara penghutang terbesar, sekarang rasio hutangnya hanya kurang dari 40% total GDPnya. Di bawah Indonesia yang rasio hutangnya sudah mencapai 68% dari GDP dan terus bertambah sekitar Rp 100 trilyun/tahun. Kuwait dan Qatar juga mengandalkan BUMN mereka untuk mengelola kekayaan alamnya sehingga tidak bocor ke asing.
Akibatnya negara mereka makmur. Ketika saya tinggal di Arab Saudi selama 6 bulan di rumah satu warga negaranya, di sana bukan cuma bensin lebih murah, tapi sekolah, listrik, rumah sakit gratis. Bahkan di sana kalau kuliah diberi uang saku.
Negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dsb itu tidak pernah menyerahkan kekayaan alam mereka ke asing. Mereka mengelola sendiri kekayaan alam mereka. Qatar dan Kuwat meski SDMnya sedikit, mereka tetap buat BUMN sendiri. Tenaga ahli mereka cari dari luar negeri termasuk dari Indonesia. Coba lihat Kompas Sabtu-Minggu di kolom lowongan kerja, banyak iklan lowongan kerja dari BUMN Qatar, Kuwait, dsb yang mencari ahli migas dari Indonesia. Dan memang SDM Migas Indonesia cukup ahli dan melimpah karena sebagian besar pekerja di perusahaan migas asing di Indonesia juga merupakan putra-putri Indonesia.
Bahkan Malaysia pun yang serumpun dengan kita dengan jumlah penduduk lebih sedikit dan di bawah kita kualitas SDMnya tetap mengelola sendiri migas mereka via BUMNnya Petronas sehingga 4 kali lipat lebih makmur dari kita. Gedung Petronas pun berdiri megah sebagai gedung tertinggi kedua di dunia sebagai bukti nyata keberhasilan BUMN tersebut.
Biaya Nasionalisasi ternyata amat rendah. Meski Exxon menuntut ganti rugi US$ 12 Milyar atas aset mereka yang dinasionalisasi, namun Lembaga Arbitrase Internasional setelah menaksir hanya menetapkan pemerintah Venezuela membayar US$ 907 juta saja. Artinya dengan produksi minyak 3 juta bph dan harga minyak US$ 100/barel, pemerintah Venezuela sudah bisa melunasi aset Exxon tersebut.
Jadi untuk apa “mengundang Investor Asing” dan membiarkan mereka menyedot minyak dan gas Indonesia hingga puluhan tahun kalau ternyata biayanya bisa dilunasi dalam waktu yang sebentar saja?
Selama kekayaan alam Indonesia masih dinikmati oleh asing, Indonesia tidak akan pernah bebas dari kemiskinan.
Tidak ada satu bangsa pun yang maju dan sejahtera yang menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Jika kita lihat negara-negara yang maju/makmur seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Swis, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, dan sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya ke pihak asing. Harusnya ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri. Bisa berdikari.
AS, Inggris, Perancis, Belanda, dsb maju dan makmur karena selain mengelola kekayaan alamnya sendiri, mereka juga menguras kekayaan alam negara lain. Tak heran jika Anggaran Belanja Militer AS saja mencapai US$ 655 Milyar/tahun atau Rp 6.550 Trilyun/tahun sementara Anggaran Belanja Militer Indonesia cuma Rp 36 Trilyun saja. Kurang dari 1% anggaran AS!
Bukan justru membujuk rakyat/pemerintah agar Indonesia tidak mandiri dan bergantung kepada perusahaan2 asing yang ternyata justru memperkaya perusahaan dan direksi mereka sendiri
Oleh karena itu, dari Rp 30 Ribu Trilyun/tahun yang didapat perusahaan-perusahaan asing tersebut, bisa jadi 10-20% berasal dari kekayaan alam Indonesia atau minimal Rp 3.000 Trilyun/tahun.
Saat ini APBN Indonesia hanya sekitar Rp 1.000 trilyun untuk 240 juta rakyat Indonesia. Artinya tiap orang hanya mendapat sekitar US$ 34/bulan. Masih di bawah garis kemiskinan Bank Dunia yang US$ 60/bulan/orang. Tak heran Indonesia tidak punya cukup uang untuk mensejahterakan rakyat, memberi pendidikan yang terjangkau dari SD hingga Perguruan Tinggi, memberi layanan Rumah Sakit yang terjangkau, Pembaruan Alutsista, menyelamatkan anak-anak jalanan, dan sebagainya.
Bayangkan seandainya Indonesia mandiri dan mendapat tambahan Rp 3.000 trilyun dari hasil kekayaan alamnya sehingga APBN kita menjadi Rp 4.000 trilyun/tahun. Artinya ada US$ 138/bulan untuk setiap orang. Seluruh penduduk Indonesia bisa lepas dari garis kemiskinan VERSI BANK DUNIA yang US$ 60/bulan. Indonesia bisa melunasi hutangnya yang Rp 1.600 trilyun dengan mudah. Indonesia tidak perlu menunggu-nunggu “INVESTOR ASING” untuk membangun negerinya.
Segala janji bahwa pendidikan murah, layanan Rumah Sakit murah, pembaruan alutsista, atau pun mensejahterakan rakyat itu hanya omong kosong belaka jika Presiden kita tidak mau mandiri mengelola kekayaan alam Indonesia. Indonesia tidak akan punya cukup uang selama hasil kekayaan alam kita yang menikmati justru Kompeni-kompeni gaya baru yang didukung oleh pemerintah mereka.
Lihat video di mana Kompeni gaya baru yang didukung AS dan Inggris turut campur untuk menguasai kekayaan alam Indonesia sehingga 1 juta korban tewas:
Indonesia butuh pemimpin yang bijak dan berani seperti Raja Faisal dari Arab Saudi dan Hugo Chavez dari Venezuela yang berani menasionalisasi perusahaan pertambangan asing dan mandiri mengelola kekayaan alamnya.