Rabu, 27 Agustus 2014

Mismanagement/Salah Urus Minyak di Indonesia

Banyak Mismanagement/Salah Urus minyak di Indonesia yang harus dibenahi dulu. Solusinya: Nasionalisasi Semua perusahaan minyak di Indonesia. Biar semuanya dikelolah oleh 3 BUMN minyak agar bisa bersaing. Dgn dikuasai oleh perusahaan minyak asing, Produksi minyak di Indonesia di era Soeharto yang 1,5 juta bph sekarang turun jadi 0,8 juta bph setelah kontrol minyak diserahkan dari Pertamina ke BP Migas.
Begitu pula minyak kurang, kok malah ekspor? Itu harus dibenahi dulu. Baru kita bicara tentang pengurangan Subsidi BBM.
Dari berita Detik.com 10 April 2012, kita bisa melihat salah urus masalah minyak di Indonesia. Harusnya Presiden, Menteri ESDM, BP Migas, dan Pertamina membenahi hal ini. Di antaranya:

1. Minyak Kurang Kok Masih Ekspor Minyak?

Pada tahun 2011 ekspor minyak Indonesia ke luar negeri 100.744 ribu barel/hari. Alasannya Kilang Minyak Indonesia tak bisa mengolah minyak Indonesia tersebut.
Aneh kan?
Namanya teknologi itu bisa dibeli. Indonesia tidak bisa bikin reaktor nuklir, pesawat terbang, dan komputer. Tapi kita bisa membeli dan mengoperasikannya. Nah harusnya juga begitu. Jangan sampai negara Jepang dan Singapura yang tidak punya minyak malah bisa mengilang minyak Indonesia.
Ekspor minyak ini membuka peluang penyelundupan BBM mengingat BBM mudah disisipkan di situ.
Jual minyak mentah, kemudian beli minyak yang sudah disuling, itu merugikan rakyat. Hanya menguntungkan segelintir Mafia Minyak yang mendapat banyak uang dari sewa tanker, komisi penjualan, dsb.
Kalau memang Indonesia impor minyak, stop ekspor minyak!

2. Upah Operator 40% dari Produksi Minyak

Dengan upah operator sampai 40% dari produksi minyak, itu artinya dengan harga minyak US$ 100/brl, operator seperti perusahaan2 minyak AS (Chevron, Exxon, Conoco, dsb) dapat US$ 40/brl. Itu kebanyakan! HARGA JUAL (bukan biaya lifting/produksi) minyak saja di tahun 2002 hanya sekitar US$ 20/brl.
Menurut Kepala BP Migas Kardaya Warnika biaya produksi minyak di Indonesia hanya US$ 1/brl (Kompas, Rabu, 24 Januari 2007). Jadi dengan upah US$ 40/brl para operator di Indonesia benar-benar berpesta pora.
Dengan produksi minyak 930 ribu bph, maka dalam 365 hari didapat 339.450.000 barel. Perusahaan minyak tersebut dapat US$ 13,578,000,000 atau Rp 130 Trilyun. Padahal harusnya mereka cuma dapat US$ 1.697.250.000 saja atau Rp 16 Trilyun (kita anggap upah US$ 5/brl). Ini merugikan rakyat senilai Rp 124 Trilyun/tahun.

3. Produksi Minyak yang Kian Menurun

Aneh juga melihat produksi minyak Indonesia yang kian menurun. Tahun 1973-2000 produksi ratarata minyak Indonesia mencapai 1,5 juta bph (REPUBLIKA :: 04 April 2012). Ini terjadi saat Pertamina masih memegang kontrol yang kuat atas para operator.
Namun semenjak Pertamina dilemahkan pada era Reformasi, produksi minyak justru melorot hingga 930 ribu bph saja.
Bahkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany saja tidak percaya. Siapa sih yang menentukan besar produksi minyak Indonesia itu 930 ribu bph atau 1,4 juta bph? Saat Fuad Rahmany menanyakan itu ke Dirjen Migas, dijawab dengan nada sedikit kesal, lah saya aja ngak boleh periksa,” ungkap Fuad didepan para pegawai pajak.
Jadi kalau Dirjen Migas saja tidak bisa memeriksanya, siapa yang bisa memeriksa kebenaran angka produksi minyak di Indonesia? Betulkah cuma 0,93 juta bph? Bukan 1,4 juta bph?
Jadi itulah akibatnya jika perusahaan-perusahaan minyak AS menguasai ladang minyak di Indonesia. Kita tidak punya kedaulatan bahkan sekedar untuk memeriksa besar angka produksinya.
Solusi dari salah urus tersebut adalah Indonesia harus berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Indonesia untuk dikelola oleh BUMNnya sendiri. Arab Saudi, Venezuela, Bolivia, Cina, dsb sudah melakukannya. Kapan Indonesia?

4. Sebagian Besar Ladang Minyak di Indonesia Dikuasai Perusahaan Asing

Di Antara (5 April 2012) disebut Pertamina “Mengincar” 8 blok migas di Luar Negeri. Selain menggembirakan, ini juga memprihatinkan.
Kenapa Pertamina harus bersusah payah bersaing dengan banyak perusahaan minyak dunia termasuk perusahaan lokal negara-negara tersebut guna mendapatkan blok Migas? Kenapa pemerintah Indonesia tidak menyerahkan 90% blok migas yang dikuasai asing ke Pertamina?
Saat blok migas dikuasai perusahaan AS, Aramco, hingga tahun 1970-an, Arab Saudi masih jadi negara yang miskin. Hasil minyaknya “sedikit” dan tidak bisa mensejahterakan rakyatnya. Baru setelah Raja Faisal menasionalisasi perusahaan Aramco di tahun 1974 jadi Saudi Aramco, negara Arab Saudi mendapat penghasilan berlipat ganda dari minyak. Hasilnya bisa dipakai untuk membangun dan mensejahterakan rakyatnya (Ensiklopedi MS Encarta, Saudi Arabia).