Situs Gunung Padang Termegah, Terbesar dan Tertua di Masa Prasejarah Dunia
September 26, 2012 // 0 Comments
CIANJUR – Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang mendapati temuan menarik dari hasil ekskavasi di sebelah selatan teras 5. Tim menemukan berbagai batuan, seperti urukan. Tim menduga itu hasil urukan oleh manusia. Meski begitu, apa tujuannya, belum diketahui.
“Dugaan sementara tim, ini hanya untuk menyeimbangkan bangunan. Karena orientasi Gunung Padang ini menghadap Gunung Gede, jadi agak miring dari kontur tanahnya,” ungkap salah satu peneliti, Arkelog UI, DR. Ali Akbar.
Temuan ini kembali memperkuat dugaan Gunung Padang sebagai multi-component site, atau situs yang digunakan oleh lebih dari satu kebudayaan. Sebelumnya, dari hasil pengeboran yang dilakukan Tim Geologi, diperkirakan pernah ada dua lapisan kebudayaan di Gunung Padang.
Secara garis besar, Ali Akbar mengatakan penelitian ini berhasil menarik kesimpulan bahwa punden berundak Gunung Padang adalah sebuah bangunan yang megah dan luas. Jika sebelumnya area situs Gunung Padang diperkirakan hanya sebatas dari tangga bawah hingga lima teras di atasnya, penelitian ini memperlihatkan bahwa Gunung Padang merupakan sebuah bangunan besar yang dikelilingi terasering. Luasnya mencapai hampir 15 hektar dengan tinggi sekitar 100 meter. Ini sama dengan 10 kali luas Borobudur.
Teknologi pembuatan teraseringnya pun terbilang maju, karena dapat mencegah longsornya bangunan. Menariknya, terasering yang ada di Gunung Padang serupa dengan Machu Picchu. Ini tentu istimewa, sebab Machu Picchu dibangun bangsa Inca sekitar abad 15 Masehi, sedangkan Gunung Padang diperkirakan dibangun pada periode Megalitik di masa prasejarah. Artinya teknologi ini telah berada lebih dulu di Indonesia sekitar 20 Abad sebelum ditemukan di benua Amerika.
Arkeolog dari UI ini mengatakan Gunung Padang bahkan berpotensi menjadi bangunan prasejarah terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, di sebagian besar situs megalitik di wilayah lain, terutama Eropa, umumnya hanya terdiri dari temuan-temuan yang terpisah. Temuan menhir atau sarkofagus biasanya tersebar di suatu kompleks besar, tapi tidak berada dalam satu bangunan.
Sedangkan di Gunung Padang, semua merupakan satu unit kompleks bangunan. Di dalamnya juga ditemukan berbagai menhir dan teras, yang diduga para ahli digunakan untuk tempat pemujaan.
“Prospek ini menjadikan Gunung Padang sebagai bangunan prasejarah terbesar di dunia, sangatlah besar. ” demikian DR.Ali Akbar.
Sebagai informasi, sejak Maret 2011 Tim peneliti Katastrofi Purba yang dibentuk kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, dalam survei untuk melihat aktifitas sesar aktif Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung Padang. Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang diketahui tidak ada intrusi magma. Kemudian tim peneliti melakukan survei bawah permukaa Gunung Padang secara lebih lengkap dengan metodologi geofisika, yakni geolistrik, georadar, dan geomagnet di kawasan Situs tersebut. Hasilnya, semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit yang dibuat atau dibentuk oleh manusia (man-made).
Pada November 2011, tim yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, terdiri dari pakar kebumian ini semakin meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia masa lampau yang pernah hidup di wilayah itu. Danny sendiri dikenal sebagai pakar Geofiska dari LIPI yang kerap dijadikan rujukan oleh komunitas ilmuwan internasional dalam persoalan patahan gempa.
Hasil survei dan penelitian kemudian dipresentasikan pada berbagai pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional, bahkan mendapat apresiasi dari Prof. Dr. Oppenheimer. Kemudian tim katastrofi purba menginisiasi pembentukan tim peneliti yang difokuskan untuk melakukan studi lanjutan di Gunung Padang, dimana para anggota peneliti diperluas dan melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu dan berbagai keahlian. Sebut saja Dr. Ali Akbar seorang peneliti prasejarah dari Universitas Indonesia, yang memimpin penelitian bidang arkeologi, dengan dukungan dari berbagai Arkeolog Senior, diantaranya adalah Prof (emeritus) Noerhadi Magetsari, yang kerap dijuluki Bapak Arkeologi Indonesia.
Kemudian Pon Purajatnika, M.Sc., memimpin penelitian bidang arsitektur dan kewilayahan, Dr. Budianto Ontowirjo memimpin penelitian sipil struktur, dan Dr. Andang Bachtiar seorang pakar paleosedimentologi yang merupakan Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), memimpin penelitian pada lapisan-lapisan sedimen di Gunung Padang. Seluruh tim peneliti itu tergabung dalam Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang yang difasilitasi kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Menariknya seluruh pembiayaan penelitian dilakukan secara swadaya para anggota peneliti.
Menurut Andi Arief, inisiator tim, penelitian ini bukan saja menunjukan bahwa bangsa kita mampu tapi lebih dari itu, menunjukan bahwa falsafah Gotong Royong yang menurut Ir.Soekarno adalah saripati Pancasila, tetap hidup dalam dialektika yang semakin menarik. “Para peneliti di Tim Terpadu Riset Mandiri ini selama beberapa tahun terakhir, melakukan Gotong Royong. Ini yang paling menarik menurut saya.” ungkap mantan Ketua Umum SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) ini.
Berbagai temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya dilakukan uji radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun. Hasil laporan selengkapnya sebagai-berikut:
Bangunan di bawah permukaan situs Gunung Padang terbukti secara ilmiah lebih tua dari Piramida Giza. Hal ini merujuk pada hasil pengujian karbon dating Laboratorium Batan (indonesia) dengan metoda LSC C14 dari material paleosoil di kedalaman -4m pada lokasi bor coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu. Sedangkan pengujian material pasir di kedalaman -8 s.d. -10 m pada lokasi coring bor 2 adalah 11000 + 150 tahun.
Hasil mengejutkan dan konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami, Florida,minggu lalu tambahnya dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 – 23000 SM/atau lebih tua. Sementara beberapa sample konsisten dengan apa yg di lakukan di Lab BATAN. Kita tahu laboratorium di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap menjadi rujukan berbagai riset dunia terutama terkait carbon dating.
Kedua laboratorium ini menjawab keraguan banyak pihak atas uji sampel di laboratorium BATAN. Sebelumnya,tim riset terpadu mandiri telah melakukan uji terkait usia Gunung Padang di laboratorium BATAN, namun tidak banyak respon positif, bahkan meragukannya. Padahal hasil yang diperoleh oleh kedua laboratorium itu tidak banyak berbeda, Sudah saatnya kita percaya terhadap kemampuan dan kualitas para ilmuwan serta laboratorium nasional seperti BATAN, berikut hasil uji di kedua laboratorium tersebut:
1. Umur dari lapisan tanah di dekat permukaan (60 cm di bawah permukaan) ,sekitar 600 tahun SM (hasil carbon dating dari sampel yg diperoleh Arkeolog, Dr. Ali Akbar,anggota tim riset terpadu di Laboratorium Badan Atom Nasional (BATAN);
2. Umur dari lapisan pasir-kerikil pada kedalaman sekitar 3-4 meter di Bor-1 yang melandasi Situs Gunung Padang di atasnya (sehingga bisa dianggap umur ketika Situs Gunung Padang di lapisan atas dibuat) sekitar 4700 tahun SM atau lebih tua (diambil dari hasil analisis BATAN;
3. Umur lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter diduga man made stuctures (struktur yang dibuat oleh manusia)dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada Bor-2,sekitar 7600-7800 SM (Laboratorium BETA Miami, Florida)[9];
4. Umur dari pasir yang mengisi rongga di kedalaman 8-10 meter di Bor-2, sekitar 11.600-an tahun SM atau lebih tua (Lab Batan);
5. Umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter,sekitar 14500 – 25000 SM/atau lebih tua (lab BETA Miami Florida).
Sebelumnya tim riset katastropik purba dan dilanjutkan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang menemukan beberapa hal penting, pembukaan semak-semak pada sisi Tenggara teras 5 ke arah bawah menemukan 20 tingkat terasering punden berundak disusun oleh masyarakat yang berbudaya gotong royong mempunyai kemampuan teknologi yang maju. Terasering punden berundak ini mematahkan hipotesis penelitian sebelumnya bahwa situs gunung Padang hanya terdiri dari 5 teras pada area seluas 900 m2. Dengan dibukanya 20 tingkat terasering menunjukan bahwa situs gunung Padang sangat besar. Diperkirakan zona inti utama situs gunung Padang lebih besar dari 25 hektar, atau setidaknya dengan luas bangunan utama seluas 15 hektar.
Pembukaan semak-semak dan hasil pemindaian bumi dengan Georadar pada sisi Timur teras 2 ke arah bawah menemukan bentuk struktur pintu gerbang buatan manusia. Hasil pengambilan sampel dengan bor coring 1, memastikan struktur buatan manusia sampai dengan kedalaman -27m dari permukaan teras 3. Hasil pengambilan sampel dengan bor coring 2, menemukan struktur rongga2 besar buatan manusia yang berisi pasir dengan butiran yang sangat seragam. Hasil pengukuran dengan geomagnetik menemukan anomali medan magnetik yang besar pada teras 2.
Adanya tanda-tanda berbentuk gambar atau cekungan buatan manusia pada setiap batu yang berada di teras 1 s.d. 5. Penelitian mengenai makna bentuk gambar dan aksara yang terbentuk pada batu breksi andesit merupakan hal terbaru. Hal ini tengah diteliti serius oleh salah seorang anggota Tim, Dr. Andri S dari ITB.
Selain riset dan survei, kajian pustaka terus dilakukan. Sebut saja pada Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat “kabuyutan” (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat ini. Menurut legenda, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan. Salah seorang anggotas Tim, Undang S Darsa sedang mengkaji dengan serius persoalan ini.
Jika dilihat dari atas, gunung padang terlihat sangat persis bentuknya dengan piramida yang ada di mesir. umurnya diperkirakan jauh lebih tua dari pada piramida mesir sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. karena sesungguhnya gunung padang bukanlah gunung melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. didalam gunung padang dipercaya memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah.
Dalam situs gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang pada bagian atasnya, jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari batu itu dapat dimainkan dengan benar.
Ada beberapa orang yang percaya kalau situs gunung padang memiliki keterkaitan dengan situs piramida yang ada di mesir, dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang didalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada di mesir. saaat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih lanjut.
Menelusuri misteri situs Gunung Padang. Usia “piramida” Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum Masehi–bandingkan dengan piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Namun pembuktian belum maksimal, dan ini menyebabkan pakar geologi masih ragu terhadap “piramida” itu. Terlalu dini untuk diumumkan. Oleh karena itu Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang melanjutkan penelitiannya pada 2013 ini. [14] Hingga saat ini Gunung Padang sudah menjadi buah bibir setelah Tim Katastrofi Purba meneliti patahan gempa Sesar Cimandiri, sekitar empat kilometer ke arah utara dari situs tersebut.
Kontroversi merebak setelah Andi Arief merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang pada awal tahun lalu. “Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang. Selintas tak seperti gunung, seperti man-made.” demikian jelas Andi Arief
Kecurigaannya berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari utara. Sebelumnya, Tim juga menemukan bentuk serupa di Gunung Sadahurip di Garut dan Bukit Dago Pakar di Bandung saat meneliti Sesar Lembang.
Andi Arief mengatakan pekerjaan timnya di Gunung Padang sudah hampir kelar. Untuk urusan penggalian, dia angkat tangan karena membutuhkan biaya besar. Namun demikian, Andi Ariefbersama Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang terus melanjutkan penelitian dan survei untuk mengetahui lebih jauh bawah permukaan Gunung Padang dengan berbagai metodologi, baikgeofisika, arkeologi, paleosedimentasi, arsitektur dan kawasan, dan lain-lain. Direncanakan tim ini akan terus bekerja hingga Maret 2014 nanti.
Menjelang akhir tahun 2012, para peneliti Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang mengadakan pertemuan untuk mengevaluasi hasil riset dan survei pada 2012 dan merencanakan riset lanjutan di Gunung Padang. Pada pertemuan itu dihadiri oleh geolog andal, Dr. Danny Hilman Natawijaya, paleosedimentolog, Dr. Andang Bachtiar, arkeolog muda ahli prasejarah, Dr. Ali Akbar, ahli budaya, Dr. Lily Tjahjandari, praktisi arsitek dan kawasan, Pon Purajatnika, ahli kompleksitas dan astronomi, Hokky Situngkir, Rolan Mauludi, ahli permodelan sipil, Dr. Budianto Ontowirjo,ahli petrografi, Dr. Andri S Subandrio, dan tentu saja dihadiri juga oleh inisiator tim, Andi Arief.
Pertemuan yang diselenggarakan di Kantor Staf Khusus Presiden pada 18 Desember 2012 itu, menghasilkan pandangan-pandangan baru dari para ahli yang tergabung dalam Tim Terpadu Riset Mandiri memaparkan dan mendiskusikan temuan-temuan riset dan langkah-langkah ke depan. Tim Geologi memandang bahwa survei dan kajian yang dilakukan sudah mencapai 99% telah mendapatkan data lengkap baik data hasil survei geolistrik, georadar, maupun geomagnetik, serta dan alat bantu geofisika lainnya. Selain tentunya citra satelit, foto IFSAR, kontur dan peta model dijital elevasi (DEM). Dari berbagai data yang dihasilkan itu, ditambah dengan pembuktian paleosedimentasi di beberapa titik bor sampling, serta analisa petrografi, secara saintifik bisa disimpulkan bahwa memang ada man-made structure di bawah permukaan situs Gunung Padang.
Bangunan di bawah permukaan ini juga dipastikan memiliki chamber dan bentuk-bentuk struktur lain (dugaan goa atau lorong), serta kecenderungan adanya anomali magnetik di berbagai lintasan alat geofisika. Temuan ini makin diperkuat dengan temuan Tim arkeologi yang berhasil menemukan artefak-artefak di barat dan timur bangunan Gunung Padang juga tersingkap, terutama di luar situs definitif saat ini. Bahkan temuan awal artefak berupa batu melengkung di sisi timur situs, menunjukkan dugaan kuat sebagai “pintu masuk” ke dalam bangunan bawah permukaan Gunung Padang. Temuan arkeologi ini, merupakan temuan terbaru sejak situs ini pertama kali ditemukan.
Di samping itu, Tim sipil dan arsitek sudah sampai tahap maju, selain memaparkan berbagai jenis potongan batu (yang menunjukkan campur tangan manusia dan teknologi masa itu), juga memaparkan luasan situs yang jauh lebih besar dari yang ada sekarang. Tim ini sudah menemukan struktur yang hampir mirip dengan temuan di Sumba Nusa Tenggara Barat. Sebelumnya tim arsitektur menemukan kemiripan yang sama dengan piramida Machupichu Peru.
Dalam waktu dekat struktur imaginer yang lebih detail akan dibuat berdasarkan perbandingan yang ada. Sementara Tim astronomi akan menyelesaikan temuan timeline tahun pembuatan yang bisa secara saintifik dilakukan di luar hasil radio-carbon dating yang sudah dilakukan sampai validasi di dua lab yaitu laboratorium Badan Atom Nasional dan laboratorium radio-carbon di MiamiFlorida, Amerika Serikat.
Apa yang akan dilakukan Ke depan? Semua tim terus bekerja dengan titik konsentrasi di lokasi yang berada di luar situs. Tim arkeologi menjadi terdepan membuka “pintu peradaban” leluhur kita yang sangat luar biasa ini. Adapun bentuk dan isi di dalamnya akan secara otomatis terkuak. Kita berharap kelanjutan riset ini berjalan lancar, dan akan selalu akan diumumkan terbuka kepada masyarakat.[16]
Disadari bahwa riset ini bukan hanya milik peneliti tetapi milik masyarakat luas. Kita berharap tidak berhenti pada terbukanya pintu peradaban saja, lebih dari itu ditemukan sesuatu yang bermanfaat dan dirasakan langsung oleh rakyat, ada dampaknya buat kesejahteraan rakyat masa kini dan masa depan.
Pada awal Januari 2013 Tim Arkeologi yang dikomandoi arkeolog muda Universitas Indonesia, Ali Akbar, kembali merilis temuan 5 makam tua di areal yang kini menjadi objek penelitiannya. Penemuan tersebut bisa mengungkap tabir baru bahwa masyarakat sekitarlah yang pertama kali menemukan situs Gunung Padang. Dikemukakan bahwa penemuan 5 makam di sisi teras kelima situs itu, yang memiliki artefak (nisan) terbaca 2 makam saja. Berdasarkan pengamatannya, makam tersebut ada di areal situs megalitik sekitar tahun 1900-an. Dari beberapa makam yang ada, terdapat satu makam yang sedikit memberikan gambaran mengenai keberadaan makam dari sepasang nisan makam tersebut. Dijelaskan Ali Akbar, bahwa bila dilihat dari bentuk makamnya, itu adalah makam Islam. Satu nisan bertuliskan huruf latin dan satunya lagi bertuliskan huruf Arab. Menurut penjelasannya, dengan adanya temuan makam tua tersebut, berarti ada masyarakat yang tinggal dan menetap di situ. Kemudian ada jeda sampai NJ Krom menemukan situs tersebut dan melaporkannya ke pemerintah Belanda pada 1914.
Pada salah satu nisan tertera tulisan latin yang menerangkan nama jasad yang dimakamkan bernama “Hadi Winata” yang wafat pada tahun 1947. Almarhum tertulis juga wafat pada usia 68 tahun, artinya almarhum lahir pada tahun 1879. Di nisan lainnya, makam yang sama, tertera pula tulisan Arab, di nisan tersebut terbaca ‘prabu’ serta terdapat tahun hijriyah, 1356 H. Diperkirakan kemungkinan jasad yang dimakamkan itu merupakan golongan bangsawan bila sekilas diamati dari nama latin yang tercantum di nisan dan juga tulisan ‘Prabu’ di nisan berhuruf Arab. Para peneliti masih terus bekerja untuk bisa menaksir usia makam lainnya yang ada di areal Gunung Padang.
Awal Januari- Maret 2013 Tim Terpadu Riset Mandiri yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja (ahli kebumian), Dr. Ali Akbar(arkeolog), Dr. Andang Bachtiar (paleosedimentolog) kembali melakukan penelitian dan survei lanjutan, menyatakan bahwa, di bawah permukaan Gunung Padang: Ada struktur geologi tak alamiah, dengan hipotesis Teknologi canggih zaman purba.
Kali ini Tim melakukan penggalian arkeologi dan survei geolistrik detil di sekitar penggalian lereng timur bukit, di luar pagar situs cagar budaya.
Tim arkeologi dipimpin DR. Ali Akbar dari Universitas Indonesia. Tim itu menemukan bukti yang mengkonfirmasi hipotesa tim bahwa di bawah tanah Gunung Padang ada struktur bangunan buatan manusia yang terdiri dari susunan batu kolom andesit, sama seperti struktur teras batu yang sudah tersingkap, dan dijadikan situs budaya di atas bukit. Terlihat di kotak gali permukaan fitur, susunan batu kolom andesit ini sudah tertimbun lapisan tanah setebal setengah sampai dua meter yang bercampur bongkahan pecahan batu kolom andesit.
Kotak gali arkeologi Tim Dr. Ali Akbar UI. memperlihatkan permukaan bangunan yang disusun dari batu-batu kolom andesit yang sudah tertutup oleh lapisan tanah dengan bongkah-bongkah pecaan batuan. Batu kolom ini posisinya memanjang sejajar lapisan.
Batu-batu kolom andesit disusun dengan posisi mendekati horisontal dengan arah memanjang hampir barat-timur (sekitar 70 derajat dari utara ke timur – N 70 E), sama dengan arah susunan batu kolom di dinding timur-barat teras satu, dan undak lereng terjal yang menghubungkan teras satu dengan teras dua. Dari posisi horisontal batu-batu kolom andesit dan arah lapisannya, dapat disimpulkan dengan pasti, bahwa batu-batu kolom atau “columnar joints” ini bukan dalam kondisi alamiah.
Batu-batu kolom hasil pendinginan dan pelapukan batuan lava/intrusi vulkanis di alam maka arah memanjang kolomnya akan tegak lurus terhadap arah lapisan atau aliran seperti ditemukan di banyak tempat di dunia. Kenampakan susunan batu-kolom yang terkuak di kotak gali memang terlihat luarbiasa rapi seperti layaknya kondisi alami saja.
Sehingga tidak heran apabila di akhir 2012 lalu ada tim arkeolog lain bekerja terpisah, dan sudah ikut menggali di sini menyimpulkan batu-batu kolom andesit di bawah tanah ini merupakan sumber batuan alamiahnya; mungkin karena mereka belum mempertimbangkan aspek geologinya dengan lengkap, dan juga tidak mengetahui data struktur bawah permukaan seperti diperlihatkan oleh hasil survei geolistrik.
Yang lebih mengejutkan adalah ditemukannya material pengisi diantara batu-batu kolom ini. Bahkan diantaranya ada batu kolom yang sudah pecah berkeping-keping, namun ditata dan disatukan lagi oleh material pengisi, atau kita sebut saja sebagai semen purba.
Makin ke bawah kotak gali, semen purba ini terlihat makin banyak, dan merata setebal 2 sentimeteran di antara batu-batu kolom. Selain di kotak gali, semen purba ini juga sudah ditemukan pada tebing undak antara teras satu dan dua, dan juga pada sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari pemboran yang dilakukan oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs.
Ahli geologi tim dan juga pembina pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang Bachtiar, berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukannya pada sampel semen purba dari undak terjal teras satu ke dua, menemukan fakta lebih mengejutkan lagi. Ternyata material semen ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika. Sisanya adalah 14% mineral lempung, dan juga terdapat unsur karbon. Ini adalah komposisi bagus untuk semen perekat yang sangat kuat.
Barangkali ia menggabungkan konsep membuat resin, atau perekat modern dari bahan baku utama silika, dan penggunaan konsentrasi unsur besi yang menjadi penguat bata merah. Tingginya kandungan silika mengindikasikan semen ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit di sekelilingnya yang miskin silika.
Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di batuan yang ada di pertambangan mineral bijih sekalipun umumnya tak lebih dari 5% kandungan besinya, sehingga kadar besi “semen Gunung Padang” ini berlipat kali lebih tinggi dari kondisi alamiah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan material diantara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen buatan manusia. Artinya, teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal metalurgi. Andang menjelaskan, bahwa satu teknik umum untuk mendapatkan konsentrasi tinggi besi adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan dengan suhu sangat tinggi. Mirip pembuatan bata merah, yaitu membakar lempung kaolinit dan illit untuk menghasilkan konsentrasi besi tinggi pada bata tersebut.
Indikasi adanya teknologi metalurgi purba ini diperkuat lagi oleh temuan segumpal material seperti logam sebesar 10 sentimeter oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1 meter di lereng timur Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunyai permukaan kasar berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga material ini adalah adonan logam sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur dengan material karbon yang menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu bara atau lainnya. Rongga-rongga itu kemungkinan terjadi akibat pelepasan gas CO2 ketika pembakaran. Tim akan melakukan analisa lab lebih lanjut untuk meneliti hal ini.
Yang tidak kalah mencengangkan adalah perkiraan umur dari semen purba ini. Hasil analisis radiometrik dari kandungan unsur karbonnya pada beberapa sampel semen di bor inti dari kedalaman 5 – 15 meter yang dilakukan pada 2012 di laboratorium bergengsi BETALAB, Miami, USA pada pertengahan 2012 menunjukan umur dengan kisaran antara 13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating dari lapisan tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4 meter di Teras 5 menunjukkan umur sekitar 8700 tahun lalu.
Sebelumnya hasil carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa yang mengisi rongga di antara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di bawah Teras lima, juga menunjukkan kisaran umur sama yaitu sekitar 13.000 tahun lalu.
Fakta itu sangat kontroversial karena pengetahuan mainstream sekarang belum mengenal atau mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa se-purba ini, di manapun di dunia, apalagi di nusantara yang konon masa pra-sejarahnya banyak diyakini masih primitif walaupun alamnya luarbiasa indah dan kaya; sementara di wilayah tandus gurun pasir Mesir orang bisa membuat bangunan piramida yang sangat luarbiasa itu. Tapi fakta di Gunung Padang berbicara lain. Rasanya bukan mustahil lagi bangsa Nusantara mempunyai peradaban yang semaju peradaban Mesir purba, bahkan pada masa yang jauh lebih tua lagi.
Struktur bangunan dari susunan batu-batu kolom berdiameter sampai 50 cm dengan panjang bisa lebih dari 1 meter ini sudah sangat spektakuler karena bagaimanakah masyarakat purbakala dapat menyusun batu-batu besar yang sangat berat ini demikian rapi dan disemen pula oleh adonan material yang istimewa. Selanjutnya survei geolistrik yang dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh tim geologi/geofisika dari LabEarth LIPI, menguak fakta yang tidak kalah fantastis dari fitur bangunan purba di bawah permukaan ini.
Survei terbaru ini adalah survei pendetilan sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survei geolistrik 2-D, 3-D dan survei georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur badan Gunung Padang, dari kaki sampai puncak bukit.
Hasil survei geolistrik memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat di kotak gali keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah badan situs Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki bukit.
Penampang struktur bawah permukaan berdasarkan resistivitas batuan dari lintasan geolistrik melewati kotak gali (testpit) arkeologi. Lapisan bangunan dari susunan kolom andesit terlihat menerus ke bagian bawah dari situs di atas bukit dan juga ke kaki bukit. Di bawahnya terlihat geometri unik yang diduga masih bangunan. Peralatan survey memakai Supersting R8 dan software Earth Imager. Model di atas memakai metoda Average Resistivity. Nilai RMS menunjukkan bahwa hasil simulasi dari model ini mempunyai perbedaan/tingkat kesalahan hanya 4% dibandingkan dengan data hasil survey.
Fakta ini mendukung hasil penelitian ahli arsitektur Pon Purajatnika, anggota tim terpadu yang juga pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, yang pertama kali melontarkan gagasan tentang struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Michu Pichu di Peru.
Sampai saat ini penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran saja, namun survei geolistrik memperlihatkan di bawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter. Hasil survei geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan struktur (geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan, dan miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di atasnya.
Lapisan batu berbentuk seperli lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan.
Dari data pemboran yang dilakukan oleh DR. Andang Bachtiar dan juga analisis mikroskopik batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli geologi batuan gunung api dari Lab. Petrologi ITB, dapat dipastikan tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan lava andesit, sama seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain cukup menarik dari analisa petrologi adalah temuan banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga non-alamiah. Soalnya, retakan itu memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.
Dari banyak penampang geolistrik, terlihat lidah lava andesit ini mempunyai leher intrusi (sumber terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di area lereng selatan dari situs Gunung Padang. Jadi setelah cairan panas intrusi magma mencapai permukaan kemudian mengalir ke utara, dan setelah mendingin membentuk lidah lava tersebut. Yang masih menjadi teka-teki besar adalah apakah tubuh batuan lava di perut Gunung Padang ini adalah sumber dari batu-batu kolom andesit yang dipakai untuk menyusun situs?
Boleh jadi benar. Sampai saat ini tidak ditemukan ada sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer dari Gunung Padang. Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan, atau lapisan lava yang tersingkap di area Gunung Padang.
Jadi, apabila orang berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau tidak mau harus juga mengasumsikan dulunya lapisan lava itu pernah tersingkap, atau ditambang oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah diambil lalu disusun-ulang untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu mahakarya monumen arsitektur besar yang luarbiasa.
Perlu juga dicatat bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya bukanlah hal mudah. Ia harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat tersebut dengan utuh dari batuan induknya dalam jumlah sangat besar. Berbeda dengan penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu yang pecah, misalnya dengan peledakan dinamit. Yang jelas untuk abad sekarang atau ratusan tahun ke belakang di dunia ini tak pernah ada penambangan batu-batu kolom andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Penelitian di Gunung Padang belum selesai. Tim Terpadu Riset Mandiri, walaupun tanpa dibantu dana negara, akan terus bekerja keras meneliti banyak misteri besar yang masih belum terkuak. Termasuk melakukan pemboran, atau eskavasi dalam untuk membuktikan dengan lebih gamblang keberadaan struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5 meter.
Demikian juga pentarikhan umur situs. Walaupun sudah dilakukan dengan teliti dan hati-hati, masih perlu dicek ulang dengan sampel-sampel yang lebih baik lagi, karena umur ini hal yang sangat vital untuk kesimpulan akhirnya nanti.
Tim juga menduga situs Gunung Padang kemungkinan besar tidak dibangun dalam satu masa, tapi produk lebih dari satu lapis kebudayaan. Misalnya, yang membuat batu-batu kolom menjadi menhir-menhir, belum tentu sama dengan masyarakat yang membuat susunan batu-batu kolom dengan semen purba. Demikian juga bangunan susunan batu kolom andesit di permukaan, atau yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah, belum tentu dibangun satu masa dengan struktur bangunan di bawahnya lagi.
Penelitian ala Tim Terpadu Riset Mandiri memperlihatkan bahwa bahu membahu yang erat dari berbagai disiplin ilmu dengan metoda penelitian saling mengisi sangat diperlukan untuk menguak warisan kebudayaan nusantara. Masalah Gunung Padang tidak bisa lagi dikesampingkan. Walaupun masih banyak pertanyaan belum terjawab, dan analisa yang belum tuntas, hasil-hasil penelitian yang sudah ada memberikan banyak informasi penting.
Juga ada harapan situs Gunung Padang berpotensi setara Borobudur, dengan makna yang penting karena dapat menjadi terobosan pengetahuan tentang “the craddle of civilizations” pada abad ini. Ia bisa menjadi bukti monumen besar dari peradaban adijaya tertua di dunia, yang entah karena bencana apa, musnah ribuan tahun lalu dalam masa pra-sejarah Indonesia.
update terbaru: “semen /perekat purba” di antara struktur bangunan di bawah lapisan tanah di situs gunung padang