ICW Minta Pemerintah Hentikan Pelaksanaan Kurikulum 2013
Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13), lalu kembali kepada Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Efektivitas K-13 dipertanyakan, karena tidak berdasarkan konsep yang jelas, serta munculnya sejumlah persoalan dalam implementasinya seperti keterlambatan buku dan pelatihan guru yang terburu-buru.
"ICW menilai kekacauan penerapan Kurikulum 2013 adalah bentuk kelalaian pemerintah dalam menunaikan kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bermutu. Menyikapi hal itu, ICW merekomendasikan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013," kata peneliti dari Divisi Monitoring Kebijakan Publik ICW, Siti Juliantari atau Tari, di kantor ICW, Jakarta, Kamis (28/8).
Tari mengatakan K-13 secara serentak diberlakukan di semua sekolah mulai tahun ajaran 2014/2015, namun pada kenyataannya terlihat dipaksakan. ICW menyinyalir sejumlah persoalan muncul sejak sekitar tiga minggu pelaksanaan K-13 di tahun ajaran 2014/2015.
Dia mencontohkan buku pelajaran siswa belum tersedia seluruhnya terutama di jenjang SD dan SMP. Ketiadaan buku menimbulkan persoalan lainnya, yaitu orangtua dan siswa harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan bahan K-13, baik lewat fotokopi, membeli di toko buku, atau mengunduh dari internet. Padahal, menteri pendidikan dan kebudayaan selalu menekankan bahwa buku K-13 dibagikan gratis kepada siswa karena dibayar memakai dana bantuan operasional sekolah (BOS).
"Pertanyaannya siapa yang akan menanggung biaya yang terlanjur digunakan oleh orangtua murid untuk pengadaan materi pelajaran K-13 tersebut?" kata Tari.
Tari menambahkan buku-buku untuk siswa SMA dan SMK juga tidak sepenuhnya gratis karena pemerintah hanya menyediakan buku untuk sembilan mata pelajaran wajiib. Sedangkan, buku-buku penjurusan atau peminatan ditanggung sendiri oleh siswa atau sekolah.
Dari sisi guru, ujarnya, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan K-13. Sedangkan, guru-guru yang sudah dilatih, paling sedikit hanya mengikuti pelatihan dua hari dan paling lama satu minggu. Dia mengatakan para guru juga mengeluhkan metode penilaian siswa. Sebab, K-13 mewajibkan guru membuat penilaian otentik berupa narasi untuk setiap siswa.
"Penilaian otentik menjadi persoalan bagi guru yang mengajar dengan jumlah siswa sangat banyak seperti yang terjadi di SD atau SMP," ujar Tari.
Sementara itu, Bambang Wisudo dari Sekolah Tanpa Batas mengatakan penghentian K-13 adalah langkah paling tepat. Sebab, K-13 sudah membuat kerugian uang, waktu, dan sumber daya. Menurut Bambang, pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla harus memperjelas konsep pendidikan, sehingga bisa dituangkan lewat revisi kurikulum.
"Saya menyarankan kurikulum diserahkan kepada sekolah saja untuk kembali ke KTSP, yang bukunya sudah ada daripada anak-anak makin tersesat," ujar Bambang.